LSM Temukan Celah Korupsi Dalam Penyelenggaraan Haji
Berita

LSM Temukan Celah Korupsi Dalam Penyelenggaraan Haji

Mulai dari pengelolaan uang setoran awal jamaah haji sampai nilai tukar mata uang.

ADY
Bacaan 2 Menit
LSM Temukan Celah Korupsi Dalam Penyelenggaraan Haji
Hukumonline

Sementara, dalam merancang penyelenggaraan haji, ICW mendesak agar pemerintah melibatkan masyarakat. Pasalnya, jika pembahasan penyelenggaraan haji antara Kemenag dan Komisi 8 dilakukan secara tertutup, Firdaus menilai hal itu rawan digunakan untuk kongkalikong. Ujungnya, dana haji akan digunakan untuk kepentingan partai politik. Mengingat, KPK sempat menerbitkan rekomendasi agar Kemenag memperbaiki penyelanggaraan haji, namun tak kunjung dijalankan, Firdaus mengatakan aparat penegak hukum harus mengambil langkah penindakan. 

IndonesiaCorruption Watch (ICW) menilai penyelenggaraan haji yang digelar pemerintah lewat Kementerian Agama (Kemenag) tidak transparan. Pasalnya, pembahasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) antara Kemenag dan Komisi VIII DPR selama ini cenderung tertutup.

Koordinator Korupsi Politik ICW, Ade Irwan, mencatat setidaknya ada dua masalah dalam penyelenggaraan haji. Pertama, pelayanan yang diberikan kepada jamaah haji. Kedua, pengelolaan dana jamaah haji seperti setoran awal jamaah haji, pengadaan barang dan jasa serta valuta asing.

Ade menyebut ICW sejak 2008 sudah melaporkan berbagai indikasi korupsi penyelenggaraan haji itu ke lembaga terkait seperti KPK. Namun, sampai saat ini belum direspon secara baik. "Mudah-mudahan segera ditindaklanjuti," katanya dalam jumpa pers di kantor ICW Jakarta, Rabu (16/1).

Pada kesempatan yang sama Koordinator Monitoring dan Analisis Anggaran ICW, Firdaus Ilyas, mengatakan mengacu peraturan yang ada, seperti UU No. 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, negara bertanggungjawab untuk menyelenggarakannya. Bahkan dalam peraturan itu biaya operasional panitia penyelenggara haji dan petugas operasionalnya dibebankan pada anggaran negara.

Namun, praktiknya, Firdaus melihat ada ketidakjelasan mana komponen yang ditanggung negara dan calon jamaah haji. Padahal, calon jamaah haji wajib menyetor sejumlah biaya yang sangat besar.

Untuk haji reguler, sejak 2004, biaya yang harus dibayar tiap calon jamaah haji berjumlah Rp20 juta dan tahun 2010 meningkat menjadi Rp25 juta. Kemudian, calon jamaah haji menyetorkan uang itu ke rekening atas nama Menag di sejumlah bank yang ditunjuk pemerintah.

Setelah menyetor, calon jamaah haji mendapat nomer antrian untuk pemberangkatan. ICW mencatat sampai 15 Januari 2013 jumlah calon jamaah haji reguler yang sudah melunasi setoran awal sebanyak 2,2 Juta orang dengan jumlah setoran lebih dari Rp53 triliun.

Namun, terbatasnya jumlah kuota yang diperoleh Indonesia untuk memberangkatkan jamaah haji, yaitu 194 ribu orang/tahun maka calon jamaah haji harus mengantri. Dari seluruh Indonesia, tiap calon jamaah haji rata-rata harus mengantri selama 12 tahun untuk menunggu giliran diberangkatkan.

Sayangnya, banyaknya dana yang dihimpun itu tak dikelola dengan baik. Sehingga Firdaus menilai jamaah haji dirugikan. Dia mengingatkan, sebelumnya beberap lembaga negara sudah mengkritik penyelenggaraan haji yang digelar pemerintah. Misalnya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keungan (PPATK), menemukan ada sejumlah transaksi senilai lebih dari Rp200 miliar yang mencurigakan. Hal serupa dilakukan KPK dan menerbitkan beberapa rekomendasi, salah satunya meminta agar ada kejelasan mengenai komponen biaya apa saja yang ditanggung jamaah haji.

Dari berbagai biaya yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan haji, Firdaus menyebut ada dua komponen yang menyedot biaya besar. Yaitu transportasi dan akomodasi jamaah haji. Namun, berdasarkan laporan keuangan Kemenag atas pelaksanaan penyelenggaraan haji ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), disebut realisasi pengeluaran tahun 2005-2011 sebesar AS$4,7 miliar.

Namun, dari perhitungan ICW, pengeluaran pemerintah atas penyelenggaraan haji pada periode tersebut hanya AS$4,3 miliar. Mengacu hal itu, Firdaus menghitung ada selisih sebesar AS$ 436 juta.

Adanya selisih itu menurut Firdaus menyebabkan biaya penyelenggaraan haji menjadi mahal. Tak hanya itu, Firdaus mengatakan mahalnya biaya haji juga disebabkan oleh adanya komponen biaya di luar kepentingan haji yang dimasukan dalam biaya yang ditanggung calon jamaah haji. Misalnya, untuk membeli standar ISO dalam penyelenggaraan haji dan membayar honor.

Berdasarkan data BPK atas pengelolaan tabungan haji pada 31 Desember 2009, ICW mencatat ada ketidakjelasan dalam pengelolan tabungan haji. Misalnya, pada rekening atas nama Menag yang digunakan untuk menyimpan dana setoran awal jamaah haji di beberapa bank milik BUMN, ditemukan 189 transaksi penarikan dana senilai Rp. 298 Triliun yang tidak jelas peruntukannya. Serta terdapat penarikan dana sebesar Rp 2,1 Miliar yang tak sesuai prosedur penggunaan hasil optimalisasi dana setoran awal.

Menurut Firdaus lemahnya pengawasan pengelolaan dana setoran awal jamaah haji oleh BPS dan Kemenag membuka peluang penyalahgunaan setoran awal untuk kepentingn yang tak terkait dengan pembiayan haji. Adanya penarikan dana tersebut menurut Firdaus mengakibatkan penerimaan jasa deposito tabungan haji, tak optimal. Di samping itu, Firdaus melihat tidak ada batas pemisah yang jelas antara pokok tabungan dengan bunga yang diperoleh.

Kejanggalaan lainnya, Firdaus melanjutkan, kenapa bunga yang diperoleh dari pengelolaan dana tersebut jumlahnya tergolong kecil. Padahal, uang yang ditabungkan atau didepositokan jumlahnya tak sedikit. Bahkan, pada Maret 2009 ICW menemukan dari nilai setoran awal dana haji yang ditabung sebesar Rp15 triliun, bunga yang diperoleh hanya 0,472 persen.

Padahal, dengan dana yang besar, Kemenag punya posisi yang kuat untuk bernegoisasi dengan pihak bank agar bunga yang dihasilkan dari pengelolaan dana itu lebih tinggi. "Kenapa produktifitasnya (bunganya,-red) rendah," ujarnya.

Lebih lanjut, Firdaus menyoroti pertukaran mata uang yang digunakan dalam penyelenggaraan haji. Berdasarkan Perpres No.51 Tahun 2011 tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji tahun 2011 menegaskan bahwa pembayaran penyelenggaraan haji oleh calon jamaah haji dilakukan dengan mata uang dollar Amerika Serikat atau rupiah sesuai kurs jual Bank Indonesia yang berlaku sama pada hari dan tanggal pembayaran. Sejalan dengan itu Kemenag mengumumkan batas waktu pelunasan pembaayaran itu tanggal 15-26 Aagustus 2011.

Namun, berdasarkan laporan keuangan Kemenag atas penyelenggaraan haji 2011 yang diaudit BPK, menyebutkan dari 199.848 jamah haji jumlah penerimaan yang masuk sebesar Rp6,07 triliun. Setelah membandingkan dengan kurs jual Bank Indonesia pada 15 Agustus-9 September 2011, Firdaus menghitung, dengan kurs jual Rp8.600 maka penerimaan yang diterima harusnya Rp6,13 triliun. "Terdapat dugaan kerugian jamaah haji sebesar Rp59 miliar di tahun 2011," ungkapnya.

Sebagai upaya untuk membenahi persoalan tersebut Firdaus mengatakan ICW sudah melaporkannya ke lembaga negara terkait, seperti KPK dan PPATK. Selain itu, ICW merekomendasikan agar pemerintah membentuk badan penyelenggaran haji yang terpisah dari Kemenag. Di samping itu, Firdaus menekankan agar lembaga tersebut dalam menjalankan fungsinya, dilakukan secara independen.

Misalnya, ada lembaga yang berfungsi mengawasi, menyelenggarakan dan mengevaluasi penyelenggaraan haji. Pasalnya, selama ini, Kemenag memiliki kewenangan yang sangat besar dalam menyelenggarakan haji. "Dia (Kemenag,-red) yang membuat aturan, dia yang menjalankan, dia yang mengawasi," katanya.

Sementara, dalam merancang penyelenggaraan haji, ICW mendesak agar pemerintah melibatkan masyarakat. Pasalnya, jika pembahasan penyelenggaraan haji antara Kemenag dan Komisi 8 dilakukan secara tertutup, Firdaus menilai hal itu rawan digunakan untuk kongkalikong. Ujungnya, dana haji akan digunakan untuk kepentingan partai politik. Mengingat, KPK sempat menerbitkan rekomendasi agar Kemenag memperbaiki penyelanggaraan haji, namun tak kunjung dijalankan, Firdaus mengatakan aparat penegak hukum harus mengambil langkah penindakan. 

Tags: