LSM Minta Moratorium Seleksi Hakim Ad Hoc Tipikor
Berita

LSM Minta Moratorium Seleksi Hakim Ad Hoc Tipikor

Kualitas para hakim ad hoc tak memuaskan.

ASH
Bacaan 2 Menit
Anggota Badan Pekerja ICW Emerson Yuntho (kiri) menyerahkan hasil investigasi kepada Ketua Kamar Pidana MA Artidjo Alkostar (kanan). Foto: SGP
Anggota Badan Pekerja ICW Emerson Yuntho (kiri) menyerahkan hasil investigasi kepada Ketua Kamar Pidana MA Artidjo Alkostar (kanan). Foto: SGP

Sejumlah LSM yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Peradilan menyambangi MA untuk menyerahkan hasil penelusuran rekam jejak 40 calon hakim ad hoc tipikor yang telah dinyatakan lulus seleksi administrasi dan tes tertulis. Koalisi menyerahkan hasil investigasi itu kepada Ketua Kamar Pidana, Artidjo AlKostar di ruang kerjanya.

Koalisi menilai dari 40 calon yang diloloskan panitia seleksi sebagian besar bermasalah dari sisi persyaratan administrasi dan integritas. Misalnya, ada beberapa calon masih berafiliasi dengan parpol, pengalamannya di bidang hukum kurang dari 15 tahun, pendidikan diragukan, jobseeker (pencari kerja), dan pernah terlibat dalam kasus korupsi.

“Banyak calon yang diloloskan berasal dari parpol atau berafiliasi dengan parpol, padahal UU-nya tidak membolehkan,” ujar Tama S Langkun, anggota koalisi dari ICW usai menemui Artidjo di Gedung MA, Selasa (20/8).

Anggota koalisi lainnya, Koordinator MaPPI FHUI Dio Ashar Wicaksana mengungkapkan beberapa calon hakim ad hoc tipikor yang diloloskan pernah menjadi kuasa hukum koruptor, dalam kasus korupsi pernah disebut-sebut dalam surat dakwaan, atau pernah menjadi kuasa hukum parpol.       

Dio Ashar mengungkapkan Hakim Agung Artidjo Al-Kostar menerima dengan baik hasil penelusuran koalisi ini. “Kata Artidjo, hasil penelusuran ini akan mempelajari dan bahan pertimbangan untuk panitia seleksi,” kata Dio Ashar.         

Alasan Ketidaklayakan Calon Hakim Ad Hoc Tipikor

No

Alasan

Jumlah

Persentase

1

Tidak memiliki track record yang jelas di bidang hukum atau pemberantasan korupsi

22

55 %

2

Punya afiliasi dengan parpol (anggota, fungsionaris, pernah mencalonkan dalam pemilu atau pemilukada, menjadi kuasa hukum dalam sangketa pemilu atau pemilukada)

7

17.5 %

3

Pernah terlibat dalam kasus korupsi (menjadi kuasa hukum atau dipanggil ke persidangan)

4

10 %

4

Jobseeker (umur sudah hampir masuk masa pensiun, pernah mengikuti seleksi lebih dari 1 lembaga negara yang berbeda)

3

7.5 %

5

Pengalaman di bidang hukum di bawah 15 tahun

2

5 %

6

Gelar pendidikan diragukan (dicurigai membeli gelar dan ijazah)

2

5 %

Sumber : rilis koalisi


Karena itu, Koalisi meminta MA melakukan moratorium atau penundaan terhadap pelaksanaan seleksi calon hakim ad hoc tahun ini. Sebab, belajar dari hasil seleksi calon hakim ad hoc sebelumnya kualitasnya dipertanyakan. Misalnya, kasus suap yang melibatkan Hakim Ad Hoc Pengadilan Tipikor Semarang Kartini Juliana Marpaung yang divonis 8 tahun penjara. Kasus ini melibatkan hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Pontianak, Heru Kisbandono.

“Kita berharap ada moratorium seleksi, melihat kasus-kasus yang pernah terjadi. Seharusnya MA harus melakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap hasil seleksi hakim ad hoc tipikor yang sudah berjalan,” kata Tama.

Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur sangat mengapresiasi hasil investigasi yang dihasilkan Koalisi Pemantau Peradilan. “Hasilnya akan menjadi pertimbangan panitia seleksi nantinya (saat pengumuman terakhir),” kata Ridwan.

Makanya, kata Ridwan, itulah pentingnya mengumumkan nama-nama peserta calon hakim ad hoc untuk menggali rekam jejak peserta sebagai salah satu tahapan seleksi.   

Sebagaimana diketahui, dari 40 nama yang dinyatakan lolos seleksi administrasi dan tertulis didominasi kalangan advokat berjumlah 24 orang. Sisanya, 8 orang berprofesi sebagai dosen, 4 PNS, 3 calon dari unsur militer, dan 1 purnawirawan Polri.

Persyaratan calon hakim ad hoc diatur dalam Pasal 12 huruf a – k UU No.46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor. Antara lain, berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain dan berpengalaman di bidang hukum sekurang-kurangnya selama 15 tahun. Kemudian, berumur sekurang-kurangnya 40 tahun pada saat proses pemilihan. Tidak pernah dipidana karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dan tidak menjadi pengurus dan anggota partai politik.

Tags:

Berita Terkait