LSM Mengais Legal Standing Praperadilan ke MK
Berita

LSM Mengais Legal Standing Praperadilan ke MK

Majelis panel menyarankan pemohon memberi contoh kasus putusan praperadilan.

ASH
Bacaan 2 Menit
LSM Mengais Legal Standing Praperadilan ke MK. Foto: Sgp
LSM Mengais Legal Standing Praperadilan ke MK. Foto: Sgp

Majelis Panel Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana permohonan pengujian Pasal 80 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur permohohonan praperadilan. Pemohonnya adalah Boyamin dan dan Supriyadi yang meminta MK menafsirkan frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam pasal itu.

“Kita minta Pasal 80 KUHAP dinyatakan bersyarat yakni sepanjang dimaknai ‘pihak ketiga yang berkepentingan’ adalah setiap warga negara, masyarakat luas yang diwakili oleh LSM atau organisasi kemasyarakatan (ormas),” kata Boyamin dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang dipimpin Hamdan Zoelva di Gedung MK, Senin (15/10). 

Pasal 80 KUHAP menyebutkan permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.   

Boyamin menegaskan pengertian pihak ketiga yang berkepentingan harus ditafsirkan secara luas, tidak terbatas hanya saksi korban atau pelapor, tetapi meliputi masyarakat luas yang diwakili LSM. Sebab, mengacu UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diatur mekanisme peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi serta penegakan hukum secara umum. 

“Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi dalam bentuk pengajuan praperadilan apabila aparat penegak hukum patut diduga melakukan penyimpangan dan kesalahan dalam bertugas,” kata Boyamin.

Menurutnya, penafsiran hakim praperadilan terhadap Pasal 80 KUHAP khususnya frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” hanya sebatas saksi korban langsung, tidak termasuk warga negara dan masyarakat luas. Hal ini akan mengakibatkan proses pencegahan dan pemberantasan korupsi akan berjalan tidak seimbang sehingga menghilangkan prinsip keadilan yang dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

“Jadi, sangat layak dan proporsional apabila penyelesaian tindak pidana memberi hak kepada masyarakat umum yang diwakili LSM atau ormas untuk mengajukan permohonan praperadilan atas penghentian penyidikan atau penuntutan. Ini sebagai bentuk kontrol terhadap aparat penegak hukum yang bertindak sewenang-wenang,” kata pria yang juga Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) ini.             

Dia mengakui permohonan ini hampir sama dengan permohonan yang diajukan Mantan Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad yang juga menguji Pasal 80 KUHAP terkait frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” yang dinilai multitafsir. “Permohonan ini hampir sama dengan permohonan Fadel Muhammad, kalau nanti mau digabung dengan permohonan Fadel untuk kewenangan majelis,” katanya.    

Menanggapi permohonan, Hamdan menilai belum menemukan konstruksi yurudis yang jelas terkait pertentangan pasal yang diuji dengan UUD 1945. “Dimana pertentangannya dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945? Coba uraikan pertentangannya secara lebih konkret,” saran Hamdan.

Dia juga menyarankan agar permohonan disertai dengan contoh putusan praperadilan yang dinyatakan ditolak terkait pihak ketiga yang berkepentingan ini. Hal ini untuk membuktikan pihak yang tidak berkepentingan secara langsung dianggap tidak memiliki kapasitas mengajukan permohonan praperadilan oleh hakim, sehingga permohonan ditolak. “Dalam putusan apa dan nomor perkara berapa yang diuraikan secara ringkas,” sarannya.

Sebagai catatan, MAKI, organisasi dimana pemohon bernaung, seringkali mengajukan permohonan praperadilan atas sebuah kasus pidana. Namun, permohonan mereka kerap kandas karena dianggap tidak memiliki legal standing, bahkan sebagai pihak ketiga. 

Tags: