LSM Beberkan Sejumlah Masalah Dalam RUU P2H
Berita

LSM Beberkan Sejumlah Masalah Dalam RUU P2H

DPR disarankan untuk mendahulukan revisi UU Kehutanan.

RFQ
Bacaan 2 Menit
LSM Beberkan Sejumlah Masalah Dalam RUU P2H
Hukumonline

Sejumlah LSM meminta DPR menghentikan pembahasan RUU Pemberantasan Perusakan Hutan (P2H). RUU yang rencananya disahkan pada April mendatang ini dinilai sarat dengan masalah, baik itu dari segi substansi maupun proses pembahasannya. Perkumpulan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) menyatakan pembahasan RUU P2H tidak transparan.

“Kami meminta hentikan pembahasan RUU P2H,” ujar Koordinator Program Pembaruan Hukum dan Resolusi Konflik HuMa, Siti Rakhma Mary di Jakarta, Jumat (22/3).

Dikatakan Rakhma, penerapan RUU P2H jika nanti resmi menjadi undang-undang, akan berdampak pada masyarakat  hukum adat dan masyarakat lokal.Dia bahkan khawatir RUU P2H ini akan mengkriminalisasi masyarakat hukum adat. Tidak hanya itu, menurut Rakhma, aparat yang berwenang juga akan kesulitan karena substansi RUU P2H tidak jelas.

Kedua hal yang disoroti Rakhma terkait dengan rumusan Pasal 1 butir 5 dan 6. Butir 5 berbunyi Penggunaan kawasan hutan secara tidak sah adalah kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam kawasan hutan untuk perkebunan dan/atau  pertambangan tanpa izin Menteri.

Lalu,Butir 6 berbunyi Terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih,dan yang  bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang melakukan perladangan tradisional”.

Menurut Rakhma, definisi kata “terorganisasi” tidak jelas sehingga dikhawatirkan dapat berujung pada kriminalisasi masyarakat hukum adat. Frasa “peladangan tradisional” juga dinilai tidak jelas sehingga berpotensi menyulitkan aparat yang berwenang.

Lebih lanjut, Rakhma mengkritik lingkup definisi pembalakan liar yang diatur dalam RUU P2H. Dia berpendapat, pembalakan liar seharusnya tidak hanya didefinsikan “penebang kayu tanpa izin”, tetapi juga mencakup “pemanfaatan kayu hasil hutan di luar kawasan izin dan dalam radius tertentu dari kawasan yang dilindungi”.

Hal lain yang dipersoalkan Rakhma adalah ketentuan lelang barang bukti. Menurutnya, RUU P2H seolah-olah memberi celah terjadinya pencucian barang sita kayu dari hasil tindak pidana. “Bukan tidak mungkin barang bukti berupa kayu dapat diperoleh kembali oleh perusahaan dengan harga murah.”

Terakhir, Rakhma menyoroti ketentuan pidana yang tertuang dalam RUU P2H. Dia menyayangkan tidak adanya ancaman pidana terhadap pelaku usaha perkebunan dan pertambangan yang tidak mengantongi izin yang sah. Seharusnya, kata dia, ancaman pidana juga perlu diterapkan untuk pejabat yang mengetahui adanya aksi pembalakan liar, tetapi membiarkan begitu saja.

Anggota Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho mempersoalkan pasal yang mengamanatkan pembentukan sebuah badan khusus yang bertugas melakukan pemberantasan pembalakan liar. Ia khawatir badan itu akan lebih sering menindak masyarakat hukum adat yang hanya mengambil kayu untuk kepentingan sehari-hari, ketimbang korporasi yang melakukan perusakan hutan.

Badan khusus ini, kata Emerson, juga dapat membatasi ruang gerak KPK dalam mengusut kasus korupsi kehutanan. “Ini perlu kita waspadai, jangan-jangan semangatnya bukan memberantas mafia hutan, tapi melindungi mafia hutan. Kita minta RUU ini dihentikan karena prosesnya terkesan tertutup dan tidak substansif,” ujarnya.

Peneliti Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dede Shineba melihat ada kesan DPR terlalu memaksakan penyusunan RUU P2H. Menurut Dede, DPR seharusnya mendahulukan pembahasan revisi UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Beberapa materi yang perlu dimasukkan dalam revisi itu antara lain pengukuhan kawasan hutan, ancaman pidana untuk korporasi dan pejabat yang memberikan izin, dan hak  masyarakat hukum adat.

Tags:

Berita Terkait