LSM: Permintaan Ganti Kerugian Menunjukkan Kesiapan KLHK dalam Pembuktian
Berita

LSM: Permintaan Ganti Kerugian Menunjukkan Kesiapan KLHK dalam Pembuktian

Kuasa Hukum PT. NSP menyatakan besarnya jumlah permintaan ganti rugi dan pemulihan tidak memiliki dasar.

HAG
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggugat PT. National Sago Prima (NSP) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pada resume gugatannya, KLHK tidak hanya meminta agar PT. NSP memberikan pemulihan atas kerusakan hutan, tapi juga meminta ganti kerugian.

Tidak tanggung-tanggung, KLHK meminta kepada majelis hakim agar tergugat membayar ganti rugi kerusakan ekologis sebesar Rp319 miliar dan melakukan pemulihan hutan yang telah terbakar seluas ±3000 ha dengan biaya sebesar Rp753 miliar.

Raynaldo Sembiring, Peneliti ICEL (Indonesia Center for Environmental Law) menanggapi gugatan perdata tersebut hal penting yang harus dilakukan pemerintah. Menurutnya, KLHK memiliki kepentingan hukum untuk melindungi fungsi lingkungan hidup, sehingga apabila ada perusahaan yang mencemari atau merusak, artinya ada pelanggaran terhadap kepentingan hukum KLHK.

“Sederhananya kepentingan hukum KLHK adalah melindungi fungsi lingkungan hidup sebagaimana yang diamanatkan undang-undang. Kalau kemudian perusahaan mencemari atau merusak, artinya ada pelanggaran terhadap kepentingan hukum KLHK,” kata Reyanaldo.

Namun, sambung Reynaldo, hak gugat pemerintah berbeda dengan legal standing (hak gugat LSM). Menurutnya, LSM menggugat sebagai wali lingkungan yang menuntut polluter untuk bertanggung jawab tehadap lingkungan. “Kalau hak gugat pemerintah murni karena kepentingan hukum yang dilanggar,” ujarnya.

Reynaldo mengatakan, pengalaman pemerintah cukup banyak dalam memenangkan gugatan dengan nominal ganti kerugian yang besar, seperti dalam kasus PT. Kalista Alam. Dalam kasus tersebut sudah dinyatakan BHT (Berkekuatan Hukum Tetap) dan total ganti kerugian sekitar Rp300 miliar.

“Besarnya ganti kerugian menunjukan kesiapan mereka dalam pembuktian dan berstrategi di persidangan. Hanya saja mereka sepertinya perlu memilih lawyer yang baik,” ujarnya.

Selain itu, pendekatan hukum lingkungan saat ini tidak lagi ultimum remedium. Tetapi dapat berjalan paralel baik penegakan hukum administrasi, perdata, dan pidana. “Dalam kasus lingkungan hidup hampir pasti selalu berdampak besar, ketiganya harus dijalankan. Selain karena tujuan masing-masing berbeda, menggunakan ketiga penegakan hukum tersebut dapat mendorong pelaku usaha agar lebih taat,” tambahnya.

Untuk diketahui pada sidang pertama, Selasa (17/11), KLHK diwakili oleh Pengacara dari Kantor Hukum Patra M. Zen dan Partners. Sedangkan PT. NSP diwakili oleh advokat dari kantor Hukum Lubis Ganie Surowidjojo. Kedua belah pihak mengaku tidak akan menutup pintu mediasi dan melihat sejauh mana mediasi tersebut berjalan. Mediasi tersebut akan dipimpin oleh Hakim Cepi Iskandar.

Namun Kuasa Hukum PT. NSP, Rofiq Sungkar, mengatakan bahwa besarnya jumlah permintaan ganti rugi dan pemulihan tersebut tidak memiliki dasar. “Angkanya luar biasa fantastis tapi tidak ada dasar,” ujarnya.

Menanggapi hal tersebut Patra M. Zen menjelaskan bahwa angka tersebut berdasarkan hitungan ahli yang diminta untuk melihat kerugian negara dan juga angka untuk melakukan pemulihan.

“Angka kita nggak buat-buat. Angka kita susun berdasarkan ahli yang ditunjuk oleh menteri. Kerusakan tanah, ada rumusnya, kerusakan lingkungan, yang menghitung ahli yang ditunjuk. Karena kalau kita berbicara lingkungan maka kita bicara sekarang sampai dengan masa depan,” jelas Patra.

Tags:

Berita Terkait