LPS Gamang Dalam Selamatkan Bank Gagal
Utama

LPS Gamang Dalam Selamatkan Bank Gagal

Penyelematan bank gagal bisa menjadi bumerang bagi LPS.

FATHAN QORIB
Bacaan 2 Menit

Pasal 2 huruf g dijelaskan bahwa keuangan negara yang dimaksud adalah kekayaan negara atau daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak-hak lain termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara atau perusahaan daerah.

Sedangkan dalam UU Pemberantasan Korupsi lebih ditegaskan lagi bahwa keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena beradadalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat, lembaga negara baik di tingkat pusat maupun daerah, BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian negara.

“Saya sarankan hal-hal yang tidak harmonis seperti ini seyogyanya diharmoniskan demi kepentingan bangsa dan negara,” kata Nindyo.

Salah satu saran yang diutarakan Nindyo adalah direvisinya UU Pemberantasan Korupsi. Menurutnya, dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang sudah diratifikasi oleh Indonesia tak ada satu klausul yang menyebutkan mengenai kekayaan negara yang dipisahkan. Menurutnya, persoalan kegamangan ini tak hanya dialami oleh LPS semata, melainkan sejumlah lembaga lain yang asetnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

Ia mengatakan, meski ada asas lex specialis derogat legi generalis atau aturan hukum yang lebih khusus mengenyampingkan aturan hukum yang lebih umum, ataupun asas lex superior derogat legi inferior atau hukum yang lebih tinggi tingkatannya didahulukan keberlakuannya daripada hukum yang lebih rendah, namun kekayaan yang dipisahkan dalam sebuah badan hukum merupakan doktrin.

“Doktrin adalah salah satu sumber hukum, jika tidak diterapkan tidak akan jadi hukum. Jadi semacam kegamangan, bisa saja hasilnya tidak sampai dengan uang yang dikeluarkan. Keputusan yang penuh risiko,” kata Nindyo.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, mengatakan dengan keputusan Kepala Eksekutif LPS saja, penjualan Bank Mutiara tahun keenam dengan harga optimal sudah sesuai UU. Namun, lantaran ada nuansa politis dalam persoalan Bank Mutiara ini, diperlukan pengakuan dari sejumlah pihak, seperti Jaksa Agung, Menteri Keuangan dan bahkan Presiden sendiri yang menyatakan divestasi telah sesuai peraturan.

Persetujuan seperti ini, kata Hikmahanto, berguna agar ke depan tak ada persoalan hukum lagi. “Ini lantaran masalahnya berbeda dengan yang biasa, ada anomalinya mau gak mau harus dilakukan seperti itu. Kepala eksekutif (LPS) minta persetujuan dari mereka (Presiden, Jaksa Agung dan Menkeu) untuk meminta semacam sign off, oke dengan harga sekian paling optimal dan tidak lagi dipermasalahkan,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait