Loloskan Capim KPK Bermasalah, Integritas Pansel dan Presiden Jokowi Dipertanyakan
Utama

Loloskan Capim KPK Bermasalah, Integritas Pansel dan Presiden Jokowi Dipertanyakan

Presiden memiliki kewenangan menyeleksi Capim dan Cadewas KPK. Namun sayangnya, proses seleksi tersebut ditengarai dengan kepentingan politis. Untuk itu Presiden Jokowi diminta tidak memaksakan pemilihan Capim dan Cadewas KPK rampung sebelum masa jabatan berakhir pada Oktober nanti.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Media Briefing bertajuk “Darurat Demokrasi KPK dalam Cengkeraman?”, Rabu (11/9). Foto: FNH
Media Briefing bertajuk “Darurat Demokrasi KPK dalam Cengkeraman?”, Rabu (11/9). Foto: FNH

Panitia Seleksi Calon Pimpinan (Capim) dan Calon Dewan Pengawas (Cadewas) Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) resmi mengumumkan 20 nama cadewas yang lolos profile assessment. 20 nama yang diumumkan melalui website kpk.go.id dan www.setneg.go.id. tersebut disaring dari 40 capim dan 40 cadewas KPK yang telah mengikuti profile assessment pada 28-29 Agustus 2024 lalu.

Adapun 20 nama yang dinyatakan lolos adalah Achmed Sukendro (Kepala Program Studi Magister Damai dan Resolusi Konflik Universitas Pertahanan RI); Benny Jozua Mamoto (Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional); Bobby Hamzar Rafinus (Wakil Ketua Ombudsman RI). 

Kemudian Chisca Mirawati (Pengacara); Elly Fariani (Inspektur Jenderal Kominfo); Gatot Darmasto (Deputi Kepala BPKP Bidang Pengawasan Penyelenggaraan Keuangan Daerah); Gusrizal (Wakil Direktur Utama Pupuk Indonesia dan mertua komika Kiky Saputri); Hamdi Hassyarbaini (Direktur Pengawasan dan Kepatuhan Transaksi Bursa Efek Indonesia 2015-2018); Hamidah Abdurrachman (Guru Besar Bidang Ilmu Hukum di Universitas Pancasakti Tegal/Caleg DPRD Provinsi Jateng XII PKS); dan Heru Kreshna Reza (akademisi Universitas Esa Unggul).

Baca Juga:

Lalu ada Iskandar Mz (eks Penyidik dari Direktorat Tindak Pidana Korupsi Markas Besar Polri); Kaspudin Nor (Komisi Kejaksaan periode 2011-2016); Liberti Sitinjak (mantan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Selatan); Maria Margareta Rini Purwandari (Dewan Pengawas RRI); Miwarzi (Kepala Bidang Pemberantasan BNN Provinsi Aceh). 

Padma Dewi Liman (Mantan Hakim ad-hoc Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Makassar); Panutan Sakti Sulendra Kusuma (mantan Deputi III KSP bidang Perekonomian); Sri Hadiati Wara Kustriani (Komisioner Pokja Pengawasan Bidang Penerapan Sistem Merit Wilayah I); Sumpeno (Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Jakarta); dan Wisnu Baroto (Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan).

Pengumuman 20 nama tersebut mendapatkan sorotan dari berbagai pihak, salah satunya dari Ketua Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani. Berdasarkan catatan yang dihimpun PBHI, Pansel Capim dan Cadewas KPK masih meloloskan calon-calon yang memiliki track record yang tidak bersih. Bahkan dari satu Capim yang lolos dan merupakan mantan hakim, pernah memvonis bebas seorang koruptor dan melarang jurnalis untuk meliput sidang korupsi e-KTP.

“Johanis Tanak, bagian pembusukan KPK saat ini. Harusnya yang dipilih bukan Johanis Tanak. Petarung anti korupsi justru tidak lolos,” kata Julius dalam Media Briefing bertajuk “Darurat Demokrasi KPK dalam Cengkeraman?”, Rabu (11/9).

Dengan diloloskannya calon-calon yang memiliki latar belakang bermasalah, menjadi bukti bahwa Pansel masih menjadi bagian dari musuh pemberantasan korupsi. Untuk itu dia meminta masyarakat untuk terus bersuara dan memantau kerja-kerja pansel yang bertentangan dengan semangat anti korupsi. PBHI secara tegas juga akan merilis nama-nama Capim dan Cadewas yang bermasalah agar diketahui oleh publik.

Akademisi Feri Amsari juga turut mempertanyakan peran Pansel dalam menyaring nama-nama Capim dan Cadewas KPK. 20 nama yang diumumkan Pansel lolos seleksi justru mengikis rasa percaya masyarakat terhadap integritas Pansel.

“Problematika dilihat dari Pansel. Bagaimana kita bisa percaya Pansel bisa bekerja dengan baik? Karena Pansel sendiri tidak meyakinkan untuk menyeleksi orang-orang baik. Kenapa yang punya track record bagus tidak dipilih? Tidak ada keterbukaan dalam memilih orang. Itu fakta kejanggalan seleksi,” ucapnya pada acara yang sama.

Feri juga menyoroti peran Presiden Jokowi dalam proses pemilihan Capim dan Cadewas KPK. Presiden, lanjutnya, memiliki kewenangan menyeleksi Capim dan Cadewas KPK. Namun sayangnya, proses seleksi tersebut dicederai dengan kepentingan politis. Jika nama-nama Capim dan Cadewas yang tidak bersih terpilih kembali pada periode 2024-2029, maka hal tersebut akan memicu masalah di internal KPK, seperti yang terjadi pada Firli Bahuri.

Untuk itu, dia menyarankan Presiden Jokowi untuk tidak memaksakan pemilihan Capim dan Cadewas KPK rampung sebelum masa jabatan berakhir pada Oktober nanti, dan menyerahkan proses seleksi kepada Presiden terpilih sebagai bentuk sikap negarawan. Jika tetap memaksakan, maka akan timbul kecurigaan bahwa konflik kepentingan Presiden Jokowi untuk mengamankan kasus yang tengah menyorot Kaesang Pangarep.

“Mari awasi terus, kalau Jokowi melakukan berbagai cara untuk menyelamatkan anaknya dari KPK, maka bukan tidak mungkin dia akan menyelipkan orang-orang di dalamnya,” tegasnya.

Sementara itu Ketua IM57+Institute, Praswad Nugraha, menyebut bahwa Pansel hanyalah sekadar panitia yang melakukan seleksi Capim dan Cadewas KPK. Tugas Pansel hanya seputar administrasi karena kewenangan memilih Capim dan Cadewas KPK berada di tangan Presiden Jokowi.

“Dalam setiap tahapan Presiden yang pilih. Pansel hanya mengurus administrasi. Jadi prosesnya Pansel, tapi tugasnya panitia,” ujar Praswad.

Praswad mengaku bingung setelah melihat 20 nama Capim dan Cadewas KPK yang dinyatakan lolos oleh Pansel, karena nama-nama yang punya integritas dalam pemberantasan korupsi justru gugur satu per satu. Dia pun mempertanyakan integritas Pansel dan juga Presiden Jokowi.

“Bingung, yang diinginkan Pansel dan Presiden Jokowi itu apa? UU diubah sehingga usia dibawah 50 tahun tidak bisa ikut daftar. Dalam UU No 30 Tahun 2002, itu Presiden yang pilih (Capim KPK), bukan pansel. Mas Danang nggak lolos, Airin gak lolos, puluhan aktivis anti korupsi dari total 168 yang mendaftar, itu gugur,” ucapnya heran.

Praswad pun mengaku dirinya sudah tak optimis terhadap Capim dan Cadewas KPK saat ini. Namun dirinya masih menaruh sedikit harapan agar Mahkamah Konstitusi (MK) bisa mengabulkan judicial review terhadap syarat usia pencalonan Capim KPK menjadi ke aturan semula, yakni 40 tahun. Dengan demikian, kesempatan untuk mengajukan Capim KPK masih terbuka.

“Memang tidak berharap banget, tapi kami akan terus konsisten dengan teman-teman masyarakat sipil yang lain bareng-bareng untuk mengkritisi ini,” jelasnya.

Pegiat Demokrasi, Wanda Hamidah, mengingatkan Presiden Jokowi untuk memilih calon-calon pemimpin KPK yang berintegritas. Dengan demikian, rakyat akan tetap optimis dan bergairah untuk melakukan kerja-kerja yang positif.

“Saya masih memelihara 1 persen optimisme. Kita heartbroken karena lembaga yang dibangun dari darah rakyat kemudian dinistakan di dua dekade pemerintahan Jokowi. Menyakitkan sekali, bukan dilemahkan tetapi dinistakan. Ada 1 persen harapan, 1 persen harapan  Jokowi memilih capim yang punya integritas sehingga rakyat optimis dan bergairah untuk kerja hal-hal positif,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait