Logika Hukum Asas Praduga Tak Bersalah: Reaksi Atas Paradigma Individualistik oleh Romli Atmasasmita *)
Kolom

Logika Hukum Asas Praduga Tak Bersalah: Reaksi Atas Paradigma Individualistik oleh Romli Atmasasmita *)

Praduga tersebut selanjutnya berhenti ketika pengadilan memutuskan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan dan dihukum pidana sementara waktu dan atau pidana denda. Mengapa demikian?

Bacaan 2 Menit

 

Tafsir hukum  atas Asas Praduga tak bersalah 

Hak seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya (praduga tak bersalah) sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun sisi materiel. Karena hak ini tidak termasuk ”non-derogable rights” seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut (non-retroaktif). Bahkan UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak memuat hak, praduga tak bersalah ; asas ini hanya dimuat dalam Pasal 8 UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan di dalam Penjelasan Umum UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP. 

 

Rumusan kalimat dalam Pasal 8 UU Kekuasaan Kehakiman (2004) dan Penjelasan Umum KUHAP, adalah: ”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

 

Rumusan kalimat di atas, berbeda maknanya secara signifikan dengan rumusan asas praduga tak bersalah di dalam Pasal 14 paragraf 2 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik (1966), yang dirumuskan dengan kalimat singkat: ”Everyone charged with criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law”.

 

Kovenan tersebut tidak hanya menegaskan, harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan berdasarkan undang-undang; bahkan, tidak menegaskan juga masalah putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, sebagai batas toleransi seseorang dapat dinyatakan bersalah. Pembuktian kesalahan seseorang berdasarkan berdasarkan sistem hukum Common Law sering ditegaskan dengan bunyi kalimat, proven guilty beyond reasonable doubt”, yang berarti, ”(Dinyatakan) Bersalah berdasarkan bukti-bukti yang sangat kuat atau tidak dapat diragukan sama sekali”; bandingkan dengan rumusan kalimat,” (Dinyatakan) Bersalah atas dasar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

 

Untuk mencegah tafsir hukum yang berbeda-beda di atas, tampaknya solusi realistik telah diberikan oleh Kovenan, yaitu dengan merinci luas lingkup atas tafsir hukum  ”hak untuk dianggap tidak bersalah”, yang meliputi delapan hak, yaitu hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan, hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya dan berkomunikasi dengan penasehat hukum; hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda; hak untuk diadili yang dihadiri oleh yang bersangkutan; hak untuk didampingi penasehat hukum jika yang bersangkutan tidak mampu; hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan yang bersangkutan; hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan; hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatannya.

 

Sejalan dengan Kovenan tersebut, asas praduga tak bersalah harus diartikan, selama terhadap seorang tersangka/terdakwa diberikan secara penuh hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam konvenan tersebut, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah telah selesai dipenuhi. Putusan pengadilan yang menyatakan seorang terdakwa bersalah yang didasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan majelis hakim (akan kesalahan terdakwa), harus diartikan sebagai akhir dari perlindungan hukum atas hak terdakwa untuk dianggap tidak bersalah. 

 

Perkembangan tafsir di Belanda dan Perancis

Di dalam menyikapi asas praduga tak bersalah dan prinsip ”due process of law”,  paradigma yang menjiwai  penyusunan KUHAPerancis (UU tahun 2000, tertanggal 31 Mei) ternyata lebih progresif dari KUHAP Belanda (UU tahun 1996, tertanggal 7 Oktober), dan KUHAP Indonesia (UU Nomor 8 tahun 1981). HAP Perancis telah memperkuat hak-hak tersangka/terdakwa dan hak-hak korban sekaligus.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait