Lindungi Perusahaan Pers, Hak Publisher Perlu Diatur dalam UU Hak Cipta
Terbaru

Lindungi Perusahaan Pers, Hak Publisher Perlu Diatur dalam UU Hak Cipta

Problematikanya terdapat pada hak publisher lewat konten-konten berita media di Indonesia yang disebarkan di platform digital. Di mana platform-platform digital ini, seperti Google, Facebook dan lain sebagainya melakukan monetisasi dan mendapatkan keuntungan ekonomi atas konten-konten milik pers lewat display iklan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
FHUII bersama Hukumonline menggelar International Seminar An Interface Between Copyrights and Journalism in the Digital Transformation Era, Kamis (27/7). Foto: HOL
FHUII bersama Hukumonline menggelar International Seminar An Interface Between Copyrights and Journalism in the Digital Transformation Era, Kamis (27/7). Foto: HOL

Digitalisasi di sektor pers memang memiliki keunggulan di beberapa hal. Misalnya mempermudah konsumen menikmati berita dengan bermodal smartphone dan internet. Sementara di sisi perusahaan pers, pemberitaan yang dikemas secara online memberikan efisiensi dari sisi biaya jika dibandingkan dengan media konvensional yang mengandalkan kertas.

Pun demikian, nyatanya digitalisasi itu tak selamanya membawa kebaikan. Saat ini isu yang berkembang di kalangan pers adalah publisher right, yakni bentuk pertanggungjawaban dari platform digital seperti Google, Facebook dan sejenisnya untuk memberikan nilai ekonomi atas konten-konten pers lokal dan nasional.

Misalnya saja Google. Aplikasi Google yang kerap disebut dengan kamus berjalan tersebut mungkin hampir terpasang di sebagian besar gawai masyarakat dunia. Mesin pencari asal Amerika Serikat itu memasang berbagai macam berita lokal dan nasional pada laman utama. Sehingga pada saat mengklik logo berwarna-warni itu, pengguna langsung disajikan beragam berita dari berbagai media.

Baca Juga:

Untuk menikmati bacaan itu, masyarakat memang tidak dipungut biaya. Tapi persoalannya tidak sesederhana itu. Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FHUII) Prof. Budi Agus Riswandi, ada kenikmatan ekonomi yang diperoleh Google saat menyebarkan berita pada laman platform miliknya.

“Ini jadi isu hangat beberapa waktu lalu. Mengapa Dewan Pers mengusulkan untuk membentuk Perpres mengenai hak publisher? Karena perkembangan teknologi ini tidak serta merta menguntungkan bagi pers, sebaliknya, merugikan perusahaan pers,” kata Prof. Budi dalam International Seminar ”An Interface Between Copyrights and Journalism in the Digital Transformation Era”, Kamis (27/7).

Prof. Budi menyebut bahwa perkembangan teknologi informasi yang berkembang pesat nyatanya turut mendistorsi perusahaan pers. Meski ada sisi positif yang dirasakan perusahaan pers dengan pemberitaan model online, namun sisi negatifnya justru berdampak pada perkembangan industri pers Indonesia itu sendiri.

Problematikanya terdapat pada hak publisher pada konten-konten berita media di Indonesia yang disebarkan oleh platform digital. Di mana platform-platform digital ini, seperti Google, Facebook dan lain sebagainya, melakukan monetisasi dan mendapatkan keuntungan ekonomi atas konten-konten milik pers lewat display iklan.

“Akibatnya, orang-orang berfikir dari pada display iklan di perusahaan pers, lebih baik di platform besar tadi seperti Google, Facebook. Ini akan jadi masalah bagi keberlanjutan perusahaan pers dan berdampak pada pers yang berkualitas,” tambah Prof. Budi.

Maka untuk melindungi hak perusahaan pers, Prof. Budi sepakat jika UU Hak Cipta mengatur tentang hak publisher. Karena menurutnya, merevisi UU Hak Cipta perlu dilakukan untuk meminimalisir dampak buruk dari kemajuan informasi bagi dunia pers Indonesia. Sehingga untuk kedepannya, perusahaan non pers tidak diperbolehkan membagikan konten-konten pers tanpa seizin pemilik berita.

“Bagaimana ini seharusnya diatur seperti halnya lembaga penyiaran yang sudah kuat. Seperti Youtube, konten-konten RCTI, Indosiar, misalnya yang di display di sana harus bayar kepada RCTI dan Indosiar. Jika hak publisher dimasukkan ke dalam UU Hak Cipta, pasti ada partisipasi lebih dari masyarakat. Dan isi aturan harus detail, tidak sederhana. Jadi ada hal-hal seperti, kapan konten berita boleh digunakan, dan ini harus diatur dengan baik lewat UU Hak Cipta,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait