‘High risk, high return’, semakin tinggi risiko yang diambil dalam suatu bisnis maka semakin tinggi pula keuntungan yang mungkin akan didapatkan suatu perusahaan. Hanya saja, terlalu gegabah mengambil risiko tinggi atau sekadar tidak teliti dalam menakar risiko hingga berbuntut perusahaan merugi maka tak menutup kemungkinan direksi, komisaris beserta jajarannya diseret untuk mempertanggungjawabkan setiap keputusan berisiko tersebut, baik dalam bentuk gugatan pertanggungjawaban secara perdata bahkan hingga tuntutan pidana.
Bahkan disebutkan dalam Pasal 97 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bahwa anggota Direksi bertanggungjawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan bilamana bersalah atau lalai menjalankan tugas pengurusan dengan iktikad baik (good faith) serta penuh tanggungjawab. Lebih memberatkan lagi, dalam Pasal 155 UU a quo, pertanggungjawaban Direksi/Komisaris atas kesalahan dan kelalaiannya tak mengurangi pertanggungjawabannya di bidang Pidana.
Sebaliknya, direksi yang tak berani ambil risiko juga dapat menghambat perkembangan perusahaan. Dilemanya, keengganan Direksi dalam mengambil keputusan pun juga bisa dianggap sebagai ‘suatu keputusan’. Tak ingin serba salah dalam pengambilan keputusan? Nyatanya, UU PT telah mengadopsi konsep Business Judgment Rule (BJR) yang bisa dijadikan golden parachute (parasut emas) bagi Direksi/Komisaris.
Justifikasi parameter legal soal BJR, dapat dilihat pada Pasal 97 ayat (5) dan Pasal 114 ayat (5) UU PT yang mengatur batasan-batasan tertentu soal kapan direksi dan komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas risiko keputusan atau tindakan pengawasan yang telah mereka ambil.
Khusus untuk Perusahaan Terbuka (Tbk), OJK juga mengabsorpsi konsep BJR melalui POJK No. 33/POJK.04/2014 tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik. Dalam Pasal 13 ayat (2) POJK a quo juga diatur bahwa Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian Emiten atau Perusahaan Publik jika mampu membuktikan hal-hal berikut:
|
Tidak jauh berbeda dengan muatan prinsip BJR yang diatur Indonesia, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, dalam Workshop Hukumonline tentang Business Judgment Rule: Penerapan Perlindungan Hukum terhadap Organ Perusahaan dalam Aktivitas Bisnis Perusahaan), Rabu (12/12), menyebut karakteristik BJR di beberapa Negara meliputi terpenuhinya dasar iktikad baik (good faith), pengambilan keputusan telah memperhatikan kepentingan perusahaan (fiduciary duty), berdasarkan pengetahuan/data yang memadai (informed basis), tidak dilakukan untuk berhambur-hambur (duty of care) dan tidak didasarkan pada kepentingan pribadi (loyalty).