Lima Tahun UU Perdagangan, Banyak Tantangan yang Muncul
Berita

Lima Tahun UU Perdagangan, Banyak Tantangan yang Muncul

Penegakan hukum jangan sampai hambat iklim usaha.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Para narasumber diskusi lima tahun UU Perdagangan. Foto: AJI
Para narasumber diskusi lima tahun UU Perdagangan. Foto: AJI

Pada 2019 ini tepat lima tahun UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (UU Perdagangan) berlaku. Setidaknya, sejak saat itu hingga kini, UU tersebut sangat membantu para pemangku kepentingan, termasuk pengambil kebijakan, dalam menjalankan transaksi perdagangan yang sesuai dengan aturan.

Namun seiring perkembangan zaman dan teknologi semakin berkembang,  perdagangan tidak berlaku secara fisik ataupun offline tetapi praktik jual-beli online sudah berkembangan di masyarakat. Kecenderungan ditandai oleh menjamurnya perusahaan e-commerce. Jual-beli online barang kini tidak hanya dilakukan di dalam negeri, tapi sudah melintasi batas-batas negara.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mempengaruhi dunia perdagangan, dan kondisi inilah yang menjadi tantangan serius bagi implementasi UU Perdagangan. "Kalau saya beli shampo di luar negeri, 100 mililiter tahu darimana itu benar-benar 100 mililiter. Bagaimana UU Perdagangan awasi transaksi semacam itu? Bagaimana UU Perdagangan jawab perkembangan itu (jual-beli online)," kata Bayu Krisnamurthi, pakar ekonomi  Institut Pertanian Bogor yang juga eks Wakil Menteri Perdagangan, dalam acara Sarasehan Lima Tahun UU Perdagangan, di Jakarta, Selasa (10/12).

Bayu melihat potensi pergerakan ekonomi Indonesia mempunyai prospek yang cerah. Dari 100 persen transaksi perdagangan, mayoritas atau 50 persen merupakan transaksi dalam negeri. Dilihat dari persentase tersebut, maka sudah seharusnya para stakeholder bisa melakukan improvisasi untuk terus mengoptimalkan hal itu.

(Baca juga: KPK Temukan Masalah Terkait OSS).

Perwakilan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Tutum Rahanta menyatakan UU Perdagangan yang sudah ada sebenarnya sudah cukup baik dan dinamis. Tapi pertanyaannya apakah UU Perdagangan itu sendiri telah mengikuti perkembangan zaman? Tutum memang mengapresiasi terbitnya PP No. 80 Tahun 2019 yang mengatur soal Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Pemerintah meminta pelaku usaha untuk mendorong daya saing produk dalam negeri. Dalam PP tersebut pemerintah mewajibkan pelaku usaha untuk membantu program pemerintah. Pertama, mengutamakan perdagangan barang dan/atau jasa hasil produksi dalam negeri. Kedua, meningkatkan daya saing barang dan/atau jasa hasil produksi dalam negeri. Ketiga, penyelenggara e-commerce (PPMSE) wajib menyediakan fasilitas ruang promosi barang dan/atau jasa hasil produksi dalam negeri.

“Dengan adanya aturan yang baru keluar, Saya kira sudah jauh berjalan peraturan munculnya telat. PP 80 Tahun 2019, apa aturan ini mencakup seluruh pelaku usaha? Belum. Karena aturan yang counter tidak bisa dari satu sisi harus beberapa sisi. Apa keterkaitan perdagangan dengan sektor yang lain, hal demikian harua dibarengi, ada masalah barang masuk dalam negeri tidak mengikuti aturan, ini mengganggu market kita," pungkasnya.

Kembali ke UU Perdagangan, Tutum menyatakan salah satu isinya adalah setiap penjualan atau peredaran barang harus memegang lisensi SNI, jika tidak dikenakan sanksi Rp5 miliar. Namun nyatanya justru mayoritas produk yang beredar merupakan barang impor dan belum diketahui kualitasnya karena belum memegang lisensi SNI.

Sayangnya, kata dia, ada kesan pembiaran. Pemerintah dianggap tidak tegas melakukan penegakan hukum terhadap para pelaku usaha yang melanggar aturan, hal ini tentunya akan berakibat fatal dan membuat pelaku usaha yang patuh aturan berpotensi menyimpang. 

"Dengan adanya penegakan hukum yang lemah mereka cenderung ikut-ikutan, ini sangat tidak baik. Orang-orang yang selama ini ikut aturan, dan ada pelanggaran tapi tidak ditindak, cenderung mereka akan menyimpang. Hal lain, kita ingin keadilan betul-betul bagi siapapun pelaku usahanya membuat pasar kita," tuturnya. 

Hukum jangan hambat usaha

Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Kemaritiman Kemenko Perekonomian Edi Prio Pambudi mengatakan ada banyak transformasi perdagangan dari tahun ke tahun semenjak UU Perdagangan berlaku pada 2014 lalu. Oleh karena itu mau tidak mau sistem yang ada harus terintegrasikan. 

Ia mencontohkan jika awalnya perdagangan hanya sekadar bentuk fisik, kali ini sudah berbentuk kripto. Dengan beragamnya bentuk perdagangan termasuk maraknya e-commerce, pemerintah memanfaatkan hal itu karena melihat bisa memberikan keuntungan bagi ekonomi nasional.

"Saya kembalikan lagi bagaimana kalau kita tolak (transformasi perdagangan), kita tolak sekarang, kita tahu mereka umurnya masih muda-muda sampai bapak-bapak ini pensiun mereka masih bisa peluang untuk meloloskan. Sehingga kita harus bisa mengambil manfaat dari itu. Tugas kita pemerintah mengarahkan mereka bisa berikan benefit daripada ciptakan cost," ujarnya. 

(Baca juga: Aspek Legal dan Pajak atas Perusahaan Digital Ekonomi).

Edi juga menjelaskan dari hasil informasi yang diperoleh dari tim omnibus law, Indonesia cenderung lebih kepada penerapan hukum pidana bila ada suatu pelanggaran sehingga membuat para pelaku usaha menjadi takut untuk berusaha. Dan hal itu tentunya menimbulkan efek negatif bagi iklim usaha di Indonesia. 

"Penegakan hukum memang sudah seharusnya menimbulkan efek jera tetapi tidak harus dalam bentuk pidana sebab  belum menjadi efek jera. Ia mencontohkan pada kasus pajak yang seseorang telah masuk proses penyidikan tetapi diberi kesempatan untuk membayar pajaknya ditambah dengan denda maka ia terbebas dari hukuman pidana. 

"Ada pertimbangan dari rekan omnibus law mana yang lebih tepat dikenakan sanksi administrasi dibandingkan pidana. Saya ambil contoh perpajakan, kalau sudah ditetapkan proses penyidikan, dia masih diberi hak untuk memenuhi hutang pajaknya ditambah sanksi empat kali lipat, kalau dia bayar sanksi pidana hilang setidaknya dia masih bisa berusaha," jelasnya. 

Dengan begitu maka menurutnya para pelaku usaha akan memikirkan kembali jika ingin melanggar hukum. "Yang jelas jangan sampai penegakan hukum tadi menjadi hambatan usaha," tuturnya. 

Ia pun kembali menegaskan hal tersebut jika penegakan hukum jangan sampai menghambat iklim usaha di Indonesia. "Itu jawaban saya, mungkin tidak tepat sekali tapi paling tidak kita memberikan satu bayangan hukum perlu tapi jangan juga hukum itu yang tadi menghambat iklim usaha menjadi lebih sehat," imbuhnya.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Padjadjaran Huala Adolf berpendapat ada tiga sistem hukum negara yang masing-masing membuat aturan terkait ekonomi: sistem hukum yang mengandalkan nasionalisme; sistem hukum ekonomi terbuka; dan sistem hukum ekonomi tertutup seperti negara-negara berfaham sosialis.

Menurut dua, Indonesia termasuk negara yang menerapkan kebijakan ekonomi sesuai kepentingan nasional. Masalahnya sekarang dalam UU Perdagangan tidak diatur keharusan Indonesia meratifikasi kesepakatan WTO karena sistem ekonomi cenderung ke aturan nasional. Celakanya, banyak lembaga pemerintahan membuat aturan sendiri, yang tidak sinkron dengan aturan lembaga lain. Jalan keluarnya adalah Omnibus Law, yang berfungsi mengatasi tumpang tindih dan inkonsistensi peraturan. "Omnibus Law itu penting, jelas, asas akuntable. Selama ini aturan belum akuntable banyak dikeluhkan pelaku usaha," pungkasnya. 

Tags:

Berita Terkait