Lima Provinsi yang Tak Ramah Bagi Pers
Berita

Lima Provinsi yang Tak Ramah Bagi Pers

Ancaman dan kekerasan terhadap kebebasan pers di daerah itu terbilang tinggi.

ADY
Bacaan 2 Menit
Lima Provinsi yang Tak Ramah Bagi Pers
Hukumonline

Dari penelitian yang dilakukan Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Southeast Asian Press Alliance (SEAPA) terhadap 33 provinsi di Indonesia tahun 2012 terdapat 5 provinsi yang tingkat kebebasan persnya rendah. Yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Jawa Timur dan DKI Jakarta.

Direktur Eksekutif ISAI, Irawan Saptono menuturkan, dalam melakukan penelitian itu tim mengadopsi instrumen yang digunakan sebuah lembaga penelitian kebebasan pers internasional asal Perancis, Reporter Sans Frontieres (RSF).

Namun, Irawan menjelaskan untuk memaksimalkan hasil penelitian, instrumen RSF itu dimodifikasi agar sesuai dengan kondisi Indonesia. Pasalnya, ada indikator yang ada di Indonesia namun tidak dikenal di negara lain seperti amplop dan alokasi anggaran untuk organisasi media dalam APBD. Sehingga penelitian tersebut menggunakan delapan komponen dan 35 indikator yang dimanfaatkan untuk melakukan pengumpulan data faktual.

Setelah itu dibentuk panel yang terdiri dari ISAI, AJI dan SEAPA untuk menghitung berapa nilai untuk sebuah provinsi berdasarkan indikator penelitian. Usai mengumpulkan seluruh data, dihasilkan total nilai untuk sebuah provinsi. Bagi provinsi yang nilainya rendah berarti kebebasan pers di daerah yang bersangkutan tergolong bagus.

Irawan menjelaskan, dalam mengumpulkan data, tim terjun ke 10 provinsi. Untuk provinsi lainnya, data dihimpun dari catatan-catatan yang dimiliki cabang AJI di tiap provinsi serta media massa. Walau begitu, Irawan mensinyalir ada data faktual di lapangan yang luput dari perhatian. Tapi, setidaknya data yang ada saat ini dapat menggambarkan kondisi kebebasan pers di Indonesia selama 2012.

Tak ketinggalan Irawan melihat setiap metodologi yang digunakan dalam penelitian tak seratus persen sempurna karena ada saja hal yang kurang. Misalnya, semua provinsi yang diteliti diposisikan sama dan tidak membedakan kepadatan penduduknya. Sehingga, lima provinsi yang kebebasan persnya rendah kebetulan penduduknya tergolong padat. Menurutnya, itulah salah satu kelemahan yang ada dalam metodologi penelitian yang digunakan RSF.

Hal serupa juga ditemui ketika Singapura disebut sebagai negara yang tingkat kebebasan persnya lebih tinggi dari Indonesia. Tapi hal itu mungkin saja terjadi jika pada tahun yang sama jumlah jurnalis yang tewas dalam tugas di Indonesia lebih banyak ketimbang Singapura. Pasalnya, tewasnya seorang jurnalis menjadi catatan utama dalam mengukur kebebasan pers. Oleh karenanya kebebasan pers di Singapura dapat digolongkan baik. Walau tak menutup kemungkinan di lain hal terkait kebebasan pers Indonesia lebih baik. Selaras dengan itu, untuk meminimalisir kelemahan yang ada dalam metodologi, digunakanlah pengumpulan data faktual.

Celah metodologi menurut Irawan juga ditemui dalam meneliti kebebasan pers di Thailand. Pasalnya, negara tersebut masuk dalam kategori yang kebebasan persnya terjamin, sehingga karya jurnalistik yang mengkritik pemerintahan dapat beredar luas. Namun, hal tersebut tak berlaku ketika yang disasar adalah raja Thailand beserta keluarganya karena si jurnalis yang mengkritik bisa dipenjara puluhan tahun.

Meskipun masih ada celah dalam metodologi, tapi Irawan yakin hasil penelitian tersebut bakal bermanfaat untuk melakukan advokasi dalam rangka menjaga kebebasan pers di Indonesia. “Apapun hasilnya, penting untuk advokasi,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, (14/5).

Ancaman dan kekerasan
Pada kesempatan yang sama Direktur Program ISAI, Wiratmo Probo, menjelaskan hasil penelitian tersebut dapat digunakan untuk membandingkan tingkat kebebasan pers di tiap provinsi berdasarkan delapan komponen. Pertama, ancaman dan kekerasan terhadap jurnalis yang melaksanakan tugas. Misalnya, terjadi dua kasus pembunuhan terhadap jurnalis di Aceh dan Sulawesi Utara. Untuk serangan fisik dari 33 provinsi ditemukan 47 kasus dan tertinggi di Jawa Timur. Intimidasi dan ancaman 46 kasus. Serta satu kasus penculikan di Sumatera Utara.

Kedua, ancaman kekerasan terhadap redaksi media. Seperti demonstrasi dan pengerahan massa terdapat satu kasus di Bogor, Jawa Barat. Intimidasi atau teror ada satu kasus di DKI Jakarta. Tindak kekerasan di kantor redaksi terjadi dua kasus di Jawa Barat dan Kalimantan Timur. Serta pengerusakan kantor redaksi ditemukan satu kasus di Kepulauan Riau. Ketiga, soal penjeratan media lewat pengadilan, terhimpun dua kasus di Jakarta dan Bali. Dimana perusahaan media dituntut secara perdata untuk membayar nominal di luar kemampuan media yang bersangkutan.

Keempat, menghambat akses informasi, seperti penghalangan yang dilakukan pejabat publik atau kelompok masyarakat agar jurnalis yang bertugas tak menulis berita tertentu. Biasanya terjadi di daerah konflik, dimana jurnalis dibatasi aksesnya untuk masuk dan kasus terbanyak ada di Jawa Timur. Kelima, kebijakan sensor yang diterbitkan Pemda lewat peraturan daerah (Perda). Terjadi di Sumatera Utara dan Papua Barat, masing-masing satu kasus.

Keenam, mengontrol jurnalis dengan cara mengalokasikan anggaran dari APBD. Anggaran untuk wartawan itu disinyalir untuk mempengaruhi independensi jurnalis dalam menulis. Wiratmo menyebut kasus itu terjadi merata di seluruh provinsi, terjadi 33 kasus. Dari delapan komponen penelitian itu, tim kesulitan mencari data yang bersingungan dengan komponen ketujuh dan delapan. Yaitu tentang tekanan pihak eksternal dan internal. Seperti meliput kegiatan yang berkaitan dengan pemilik media dan swa sensor atau tidak memberitakan suatu peristiwa. “Sangat sulit menemukan fakta karena jarang ada jurnalis yang mau bercerita soal itu,”ucapnya.

Sementara Direktur Eksekutif SEAPA, Gayathry Venkiteswaran, mengaku senang bisa bekerjasama dengan organisasi masyarakat sipil di Indonesia untuk melakukan penelitian tersebut. Pasalnya, penilaian kebebasan pers di tiap negara Asia Tenggara selama ini dirasa minim. Padahal, negara dari wilayah regional lain sering menerbitkan penilaian serupa.

Menurut Gayathry, hasil pemeringkatan kebebasan pers di tiap daerah di Indonesia dapat digunakan untuk melihat bagaimana gambaran kebebasan pers di Asia Tenggara. Serta berguna sebagai bahan laporan ke PBB terkait persoalan kebebasan pers yang ada di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. “Untuk dijadikan laporan kepada UN (PBB,-red),”pungkasnya.

Tags: