Lima Materi Pokok dalam Revisi UU MK
Berita

Lima Materi Pokok dalam Revisi UU MK

Upaya pembenahan kelembagaan dan hukum acara di MK.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Pembahasan terhadap revisi kedua UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi  (MK) mulai dilakukan antara DPR dan pemerintah. RUU MK telah masuk dalam daftar Prolegnas prioritas 2018 dengan nomor urut 20. Ada sejumlah substansi penting dalam revisi RUU MK ini sebagai bagian untuk mendapat masukan berbagai pemangku kepentingan. Komisi III DPR sendiri sudah melakukan kunjungan kerja spesifik ke beberapa daerah.

 

Wakil Ketua Komisi III DPR, Desmon Junaedi Mahesa mengatakan MK sebagai lembaga penjaga konstitusi (The Guardian of The Constitusion) dalam rentang waktu 15 tahun melaksanakan kewenangannya mengalami dinamika yang tentu mengalami perubahan dan membutuhkan penguatan kelembagaan.

 

“Terdapat beberapa hal yang perlu disempurnakan melalui revisi kedua UU MK, khususnya terkait tugas dan fungsi MK,” ujarnya kepada Hukumonline, Kamis (20/9/2018).

 

Komisi yang dipimpinnya mulai menyerap masukan dan aspirasi seputar materi muatan RUU MK ini di berbagai daerah. Seperti, Kalimantan Selatan menjadi salah satu dari sekian daerah yang bakal disambangi untuk menyerap berbagai pemangku kepentingan. Mulai Polda, Kanwil Kementerian Hukum dan HAM, akademisi, dan praktisi hukum universitas setempat.

 

Menurut Desmon, ada beberapa hal materi pokok dalam RUU MK ini. Pertama, mengenai pelaksanaan tugas dan kewenangan MK. Kedua, mengenai hakim konstitusi mulai syarat pengangkatan, pemberhentian, dan masa jabatan hakim MK. Ketiga, kode etik hakim konstitusi dan dewan etik hakim konstitusi. Keempat, hukum acara di MK. Kelima, pengaturan mengenai kepaniteraan dan sekretariat jenderal MK.

 

Dalam praktiknya, kata dia, ternyata belum terdapat ketentuan perundang-undangan yang spesifik mengatur hukum acara dan tata beracara sidang di MK. Beberapa prosedur beracara sidang di MK yang selama ini diatur peraturan MK perlu diatur kembali dalam materi muatan RUU MK ini.

 

Misalnya, terkait dengan persidangan dan rapat permusyawaratan hakim, putusan, dan pelaksanaan putusan MK dalam sidang pengujian UU, sengketa kewenangan antar lembaga negara, perselisihan hasil pemilihan umum atau pilkada.

 

“Perlu juga adanya perubahan kelembagaan MK sebagai jawaban atas segala permasalahan yang muncul. Utamanya menyangkut transparansi, rekrutmen hakim, persyaratan calon hakim, dan pengawasan terhadap etika, perilaku dan independensi hakim konstitusi,” ujarnya.

 

Wakil Ketua Komisi III DPR lain, Erma Suryani Ranik mengatakan materi perubahan kedua terhadap UU 24/2003 amat luas. Meski pemerintah menjadi pihak pengusul inisitiaf RUU ini, menurutnya DPR merasa perlu kajian mendalam terkait berbagai permasalahan dalam UU MK sebelumnya.

 

Bagi politisi Partai Demokrat itu kajian sebuah kebijakan perlu dilakukan. Tujuannya agar dapat mengetahui mekanisme atau pola penyelenggaraan sistem peradilan yang baik sesuai ketentuan standar internasional serta situasi dan kondisi di Indonesia.

 

Bagi Erma, kemerdekaan/independensi hakim konstitusi menjadi bagian penting yang dijamin melalui revisi UU MK ini. Meski konstitusi sudah mengatur bahwa MK sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman yang merdeka berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.

 

“Tetapi, kemerdekaan kekuasaan kehakiman tetap perlu diatur dalam UU guna mencegah terjadinya tirani yudikatif dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan yang demokratis,” dalihnya.

 

Bagi Desmon, sasaran terpenting dalam materi RUU MK ini antara lain upaya meningkatkan kepercayaan masyarakat dan menghilangkan persepsi judicial corruption terhadap peradilan konstitusi. Karena itu, penting pengaturan untuk menjaga integritas dan independensi hakim dari berbagai tekanan/intervensi serta mengawasi etika dan perilaku para hakim konstitusi.

 

Dia menambahkan RUU tersebut menjadi bagian upaya pemerintah dalam meningkatkan dan menciptakan peradilan yang transparan, serta memperkuat penegakan dan supremasi hukum di Indonesia. “Intinya, upaya pembenahan (penguatan) kelembagaan dan hukum acara di MK,” katanya.

Tags:

Berita Terkait