Lima Guru Besar HAN FH UI Sumbang Pemikiran tentang HAM
Utama

Lima Guru Besar HAN FH UI Sumbang Pemikiran tentang HAM

Pembatasan tindakan pemerintah dan penyediaan forum pengadilan untuk menyelesaikan sengketa adalah wujud perlindungan warga negara dari kesewenang-wenangan.

Muhammad Yasin
Bacaan 6 Menit
Kolase lima Guru Besar Bidang Studi HAN Fakultas Hukum UI. Foto kolase: HGW
Kolase lima Guru Besar Bidang Studi HAN Fakultas Hukum UI. Foto kolase: HGW

Lima orang Guru Besar Bidang Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyampaikan buah pikiran tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dalam perspektif keilmuan masing-masing. Maria Farida Indrati menyampaikan sumbangan pemikiran tentang HAM dalam perundang-undangan; Arie Sukanti Hutagalung dalam bidang pertanahan, Anna Erliyana mengenai tindakan Pemerintah yang melindungi HAM; Aloysius Uwiyono tentang perlindungan hak asasi pekerja alih daya; dan Andri G. Wibisana menyinggung kaitan HAM dengan lingkungan hidup.

Sumbangan pemikiran merupakan rangkaian webinar yang diselenggarakan Bidang Studi Hukum Administrasi Negara FH UI bekerjasama dengan Raoul Wallenberg Institue, Kamis dan Jum’at (17-18/12) lalu. Webinar diselenggarakan sebagai bagian dari peringatan Hari Hak Asasi Manusia Internasional yang jatuh pada setiap 10 Desember.

Pengakuan terhadap hak asasi manusia merupakan salah satu ciri negara hukum modern. Sebagai negara hukum (rechtsstaat), Indonesia mengakui hak asasi manusia dalam konstitusi. Setelah amandemen, HAM diatur tersendiri dalam Pasal 28A sampai 28J UUD 1945. Prof. Maria Farida Indrati menjelaskan setelah amandemen, ada 43 hal yang diperintahkan secara tegas untuk diatur dengan Undang-Undang.

Persoalannya, apa yang menjadi materi muatan suatu Undang-Undang? Prof. Maria memperlihatkan dinamika yang terjadi dalam peraturan perundang-undangan. Pada saat UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan berlaku, disebutkan materi muatan Undang-Undang antara lain mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi: hak asasi manusia, hak dan kewajiban warga negara, pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara, wilayah negara dan pembagian wilayah, kewarganegaraan dan kependudukan, dan keuangan negara.

Perubahan terjadi ketika UU No. 12 Tahun 2011 menggantikan UU No. 10 Tahun 2004. Berdasarkan Pasal 10 UU No. 12 Tahun 2011, materi muatan yang harus diatur dengan Undang Undang berisi: pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945; perintah suatu Undang-Undang; pengesahan perjanjian internasional; tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Perumusan ini bukan tanpa masalah. “pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat itu apa? Apakah setiap kebutuhan hukum masyarakat harus dengan Undang-Undang?”. Inilah yang kemudian seolah melegalkan banyak hal diatur dengan Undang-Undang padahal dapat diatur jenis peraturan lain yang lebih rendah, semisal UU Kepramukaan dan UU Kepemudaan.

UUD 1945 menganut pembatasan hak asasi manusia. Pembatasan juga dikenal ketika pejabat atau badan pemerintahan melakukan tindakan. Menurut Prof. Anna Erliyana, pengguaan kekuasaan memerintah bertumpu atas asas legalitas (rechtmatigheid). Pengujian segi legalitas merupakan kontrol yudisial oleh pengadilan terhadap tindakan-tindakan pemerintahan (berstuurshandelingen).

Kepatuhan terhadap asas legalitas dibutuhkan untuk menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). Dengan konsep governance, pencapaian tujuan bernegara bukan sekadar tanggung jawab pemerintah, tetapi juga pemangku kepentingan lainnya. Konsep good dalam good governance mengandung dua pengertian: nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat untuk mencapai tujuan nasional. Ada banyak prinsip dalam tata kepemerintahan yang baik, tetapi yang spesifik meliputi kepatutan, transparansi, partisipasi, efektivitas, akuntabilitas, dan hak asasi manusia.

Jika ada persoalan atau sengketa antara warga negara dengan pejabat pemerintahan yang menerbitkan suatu keputusan yang merugikan, warga negara dapat menggunakan saluran Pengadilan Tata Usaha Negara. Prof. Anna Erliyana menjelaskan, PTUN diciptakan untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan masyarakat, yakni sengketa timbul sebagai akibat adanya tindakan pemerintahan yang dianggap melanggar hak-hak masyarakat. PTUN dibentuk antara lain untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak warga negara yang bersumber dari hak-hak individu. Lingkup tindakan pemerintahan itu telah bertambah luas.

(Baca juga: Aparat Pemerintah Harus Berhati-Hati Bertindak).

Sengketa pertanahan, misalnya, termasuk yang paling sering terjadi. Sengketa tidak hanya antar warga negara karena batas-batas hak milik, tetapi juga gugatan warga negara terhadap pejabat atau badan pemerintahan yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Buktinya dapat dilihat pada Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2018. Laporan ini menunjukkan kasus tanah mendominasi perkara kasasi di lingkungan PTUN (341 perkara), jauh melebihi perkara kepegawaian (103). Gambaran yang serupa dapat dilihat pada tingkat Peninjauan Kembali (PK), 124 perkara pertanahan, disusul 31 perkara kepegawaian. Di lingkungan perdata, sengketa yang berobjek tanah pun sangat beragam. Objek sengketa (929 beban perkara) tanah menempati urutan ketiga perkara perdata terbanyak di lingkungan pengadilan tinggi setelah perbuatan melawan hukum (4.369) dan wanprestasi (1.141).

Prof. Arie Sukanti Hutagalung menguraikan pengadaan tanah merupakan upaya pemenuhan hak-hak asasi manusia sebagai kebutuhan dasar. Pembatasan-pembatasan kewenangan negara dalam pengadaan tanah dalam pembangunan demi kepentingan umum, sebagaimana diatur dalam UU No. 2 Tahun 2012, dan pelibatan lembaga peradilan untuk menyelesaikan sengketa tanah, dimaksud untuk melindungi hak asasi pemilik tanah dari kesewenang-wenangan negara. Hukum tanah nasional memberikan keseimbangan pemenuhan kebutuhan dasar warga negara dan perlindungan hak asasi pemilik tanah. Keseimbangan itu dapat dilihat lebih jauh pada fungsi sosial tanah yang disebut dalam Pasal 6 UUPA.

Prof. Arie Sukanti mengkritik penerapan konsinyasi, yakni menitipkan uang pengganti harga tanah di pengadilan. Penetapan secara sepihak harga tanah oleh Panitia Pengadaan Tanah pada hakikatnya mengabaikan prinsip musyawarah yang mengharuskan adanya kesepakatan (permufakatan). Secara konseptual, ada juga kesalahan pemahaman terhadap istilah konsinyasi, apalagi jika dihubungkan dengan Pasal 1404-1405 KUH Perdata.

Pemahaman parsial atau kesalahan pemahaman terhadap suatu konsep hukum dapat berakibat fatal. Misalnya, konsep hubungan kerja dalam konteks UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pasal 1 angka 15 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan Perjanjian Kerja yang mempunyai  unsur pekerjaan, perintah, dan upah. Menurut Prof. Aloysius Uwiyono, pengertian ‘hubungan kerja’ ini tak berubah dalam UU Cipta Kerja. Cuma, ‘hubungan kerja’ perlu dipahami secara sistematika. “Hubungan kerja dalam Pasal 66 ayat (1) UU Cipta Kerja harus ditafsirkan secara sistematika, bukan secara gramatikal karena mengaburkan pengertian hubungan kerja, karena hubungan hukum antara pekerja/buruh dengan pengusaha alih daya tidak memenuhi unsur-unsur upah, pekerjaan dan perintah,” paparnya dalam webinar yang sama.

Pekerjaan alih daya, yang lazim dikenal sebagai outsourcing, berpotensi melanggar hak asasi manusia. Pelanggaran hak asasi terhadap pekerja alih daya terjadi melakui proses ‘tender’ atau ‘jual beli’ tenaga kerja dari perusahaan alih daya kepada perusahaan pengguna (user). Cara ini dapat dimaknai seolah-olah tenaga kerja dijual kepada perusahaan user. Hasil pekerjaan yang dilakukan pekerja di bawah pimpinan perusahaan user menjadi milik perusahaan user sendiri. Legalitasnya didukung oleh Pasal 66 UU No. 13 Tahun 2003 yang telah dicabut dan dihidupkan kembali oleh Pasal 66 UU Cipta Kerja. Pengaturan outsourcing yang tidak melanggar hak asasi pekerja adalah alih daya ‘pekerjaan’. Jadi yang diserahkan adalah ‘pekerjaan’ melalui tender kepada perusahaan pemborong melalui perjanjian pemborongan atau Perjanjian Penyedia Jasa Pekerja. Di sini, hubungan kerja antara perusahaan pe,borong dengan pekerja jelas. Hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa dan pekerja juga tak masalah. Cuma, hubungan semacam ini, yang diatur dalam Pasal 64 dan Pasal 65 UU No. 13 Tahun 2003 sudah dicabut UU Cipta Kerja.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, MR Andri Gunawan Wibisana mengaitkan HAM dengan isu lingkungan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kerusakan lingkungan menjadi lebih buruk ketika terjadi di negara yang penghormatan HAM-nya buruk. Dalam hal ini, hak untuk berserikat, akses terhadap keadilan dan informasi, dan kebebasan menyatakan pendapat menjadi aspek krusial dalam perwujudan perlindungan lingkungan. Kerusakan lingkungan hidup dapat dianggap sebagai pelanggaran HAM. Pelanggaran ini biasanya diikuti pelanggaran HAM lainnya.

Prof. Andri menjelaskan hubungan antara perlindungan lingkungan dan HAM dalam dua sisi. Di satu sisi, perlindungan lingkungan dapat dianggap sebagai alat mewujudkan perlindungan HAM. Penurunan kualitas lingkungan memberikan kontribusi besar bagi penutunan kualitas hidup dan kesehatan manusia. Dengan kata lain dapat disebut perbuatan yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan lingkungan sebagai suatu pelanggaran HAM, khususnya hak hidup dan hak atas kesehatan. Di sisi lain, perlindungan hukum terhadap HAM Dapat menjadi cara efektif untuk mewujudkan perlindungan lingkungan. Perlindungan lingkungan dimasukkan sebagai bagian dari HAM yang tidak dapat dihilangkan.

Pasal 65 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) menegaskan setiap irang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Bahkan UU secara khusus memberikan perlindungan kepada orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, yakni kekebalan dari tuntutan pidana dan gugatan secara perdata. Ini ditegaskan dalam Pasal 66 UU PPLH.

Tags:

Berita Terkait