Lima Fokus Pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Berita

Lima Fokus Pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Mulai bentuk kekerasan seksual, sistem pembuktian yang memperhatikan korban, pelayanan terpadu dan terintegrasi, pengakuan dan jaminan hak korban, hingga perubahan kultur masyarakat memandang kekerasan seksual.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

“Pasal-pasal dalam RUU PKS ini harus mencerminkan keberpihakan pada korban dengan memberi kemudahan bagi aparat untuk menjerat pelaku dan tidak membuat korban yang  (dibebani) harus membuktikan,” kata Ratna dalam jumpa pers di kantor LBH Jakarta, Rabu (6/2/2019). Baca Juga: Kabar Pro Zina Hoaks, RUU Kekerasan Seksual Perkuat Perlindungan Korban

 

Ketiga, mengatur penanganan hukum terpadu dan terintegrasi dengan semua layanan bagi korban. Bagi Ratna, korban membutuhkan penanganan cepat dan terpadu untuk pemulihan kondisi fisik, psikologis, dan pemenuhan akses keadilan pada saat yang sama. Oleh karena itu, layanan medis, psikologis, bantuan hukum, dan proses penyidikan oleh aparat perlu dilakukan di satu tempat.

 

Keempat, mengakui dan mengutamakan hak-hak korban dan menekankan kewajiban negara untuk memenuhi hak-hak korban. Ratna menegaskan korban kekerasan seksual perlu mendapat hak prosedural sebagai saksi/korban. Kemudian akses terhadap keadilan seperti mendapat pendamping dan bantuan hukum, memberi keterangan secara bebas tanpa tekanan, kerahasiaan identitas, mendapat penerjemah, dan informasi mengenai perkembangan kasus.

 

Tak hanya itu, kata Ratna, korban harus mendapat perlindungan keamanan, bebas dari ancaman dan intimidasi atau kekerasan berulang dari pelaku serta stigma masyarakat. “Mendapatkan bantuan medis, rehabilitasi psikologis, dan psikososial,” tegasnya.

 

Kelima, RUU ini semestinya menekankan perubahan kultur masyarakat memandang kekerasan seksual. Upaya ini bisa dilakukan dengan membangun kesadaran masyarakat untuk mencegah kekerasan seksual melalui pendidikan, kebudayaan, sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini penting mengingat dalam beberapa kasus korban kekerasan seksual dan keluarganya tidak mendapat dukungan lingkungan sekitar, malah mendapat stigma negatif dan disalahkan. Korban dan keluarganya dianggap membawa aib masyarakat dan diusir.

 

Aktivis Gusdurian, Inayah Wahid, menjelaskan korban kekerasan seksual tidak hanya mengalami dampak berupa kerugian ekonomi, tapi juga sosial. Mereka rentan kembali menjadi korban, diancam, mengalami trauma yang berkepanjangan karena tidak mendapat rehabilitasi. Hak atas keadilan penting bukan hanya untuk korban, tapi juga masyarakat agar pelaku tidak berkeliaran bebas, sehingga tidak menjadi ancaman bagi masyarakat.

 

Karena itu, putri bungsu Presiden Keempat RI ini mendesak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan agar memberi efek jera terhadap pelaku dan mencegah terjadinya kekerasan seksual. “Fokus utama RUU ini perlindungan dan pemenuhan hak korban kekerasan seksual,” pintanya.

 

Pengacara publik LBH Jakarta, Andi Komara mengingatkan agar RUU ini juga tak luput mengatasi persoalan kekerasan seksual di dunia maya. Mengacu data Komnas Perempuan, Andi mengatakan jumlah kasus kekerasan seksual di jagat daring pada tahun 2017 ada lebih dari 60 kasus. Bentuk kekerasan ini antara lain pelecehan secara daring, peretasan, dan ancaman penyebaran data pribadi. “RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini juga diharapkan bakal ada peraturan turunannya untuk mengatasi persoalan ini,” katanya.

Tags:

Berita Terkait