Lima Catatan Kritis untuk RUU Cipta Kerja Sektor Minerba
Berita

Lima Catatan Kritis untuk RUU Cipta Kerja Sektor Minerba

Jatam menilai substansi RUU Cipta Kerja sektor minerba ini bertentangan dengan Pasal 33 UUD Tahun 1945 dan lebih buruk daripada UU No. 4 Tahun 2009. Hal ini harus menjadi perhatian pembentuk UU.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pembahasan RUU. HGW
Ilustrasi pembahasan RUU. HGW

Upaya pemerintah menyederhanakan/memangkas regulasi perizinan untuk kemudahan berusaha melalui RUU Cipta kerja menyasar banyak sektor, salah satunya sektor sumber daya mineral dan batubara (minerba). RUU Cipta Kerja mengubah/menghapus beberapa ketentuan dalam UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).

 

Koordinator Jatam Merah Johansyah menilai RUU Cipta Kerja melemahkan posisi negara di hadapan korporasi dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya minerba. Setidaknya, Jatam menyoroti lima hal dalam RUU Cipta Kerja patut menjadi perhatian pembentuk UU dalam pembahasan.   

 

Pertama, penguasaan tambang minerba semakin elitis dan oligarkis karena mekanisme perizinan ditarik ke pemerintah pusat. Ketentuan ini menjauhkan partisipasi rakyat, mengingat salah satu fungsi otonomi pemerintah daerah (pemda) yakni mendekatkan kekuasaan kepada rakyat di daerahnya. Ditariknya kewenangan itu membuat pemda tidak bisa melakukan pengawasan dan pembinaan tehadap pelaku usaha bidang minerba yang beroperasi di wilayahnya.

 

Merah mengingatkan pemda merupakan bagian dari pemerintah pusat dan wujud kedaulatan negara di daerah. Sentralisasi perizinan di sektor minerba ini memotong hak pemda dan masyarakat di daerah, sehingga bertentangan dengan mandat Pasal 33 UUD Tahun 1945 yang intinya, mengamanatkan perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

 

“RUU Cipta Kerja membuat kedaulatan negara hanya (milik) pemerintah pusat. Padahal, daerah juga memiliki kedaulatan dan bagian dari pemerintahan. Sentralisasi ini membuat kedaulatan dan partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan semakin jauh karena seluruh kewenangan ada di pemerintah pusat,” kata Merah di Jakarta, Selasa (25/2/2020). Baca Juga: Lima Catatan Kritis untuk RUU Cipta Kerja Sektor Agraria

 

Kedua, RUU Cipta Kerja menabrak nasionalisme di sektor SDA, antara lain penghapusan batas luasan izin lahan konsesi dan jangka waktu maksimal sampai seumur tambang. Ketentuan ini termaktub dalam perubahan Pasal 83 UU No.4 Tahun 2009. Menurut Merah, aturan itu paling menguntungkan pelaku usaha yang mengantongi kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pertambangan batu bara (PKP2B).

 

Selain itu, dalam RUU Cipta Kerja menambah pasal baru untuk UU No.4 Tahun 2009 yaitu Pasal 169A yang memberi insentif bagi pelaku usaha pemegang KK dan PKP2B yang habis masa berlakunya bisa langsung mendapat perpanjangan tanpa mengembalikan konsesi ke negara dan tanpa mengkuti lelang.

 

Bagi Merah ketentuan tersebut melemahkan posisi negara karena mekanisme yang digunakan masa “kontrak,” bukan izin. Padahal, mandat Pasal 33 UUD Tahun 1945 sudah jelas dimana bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. “Aturan itu seolah memposisikan negara tunduk pada kepentingan korporasi,” kritiknya.

 

Ketiga, RUU Cipta Kerja tidak memperhatikan persoalan konservasi bahan tambang atau tambang berkelanjutan. Merah menilai RUU Cipta Kerja mengubah ketentuan UU No.4 Tahun 2009 terkait wilayah pencadangan negara (WPN). Menurut Merah, penghapusan batas wilayah tambang dan masa operasi bisa seumur tambang mengancam aturan WPN karena semua lokasi bisa ditambang.

 

Pemerintah seharusnya mengatur ketentuan yang memperkuat kawasan konservasi atau pencadangan negara, sehingga sumber daya alam yang ada tidak dikeruk habis, tapi bisa digunakan untuk generasi selanjutnya. “Pertambangan akan dilakukan tanpa batas, ini mengembalikan pengelolaan pertambangan kepada prinsip ‘jual murah keruk habis’. Ketentuan minerba dalam RUU Cipta Kerja lebih buruk daripada UU No.4 Tahun 2009,” ungkap Merah.

 

Keempat, Indonesia tidak beralih dari penggunaan energi kotor ke ramah lingkungan. Bagi Merah, Indonesia akan tetap bergantung pada batubara karena banyak insentif yang diberikan pemerintah. Misalnya, memberikan pengenaan royalti sebesar 0 persen bagi pelaku usaha yang mampu meningkatkan nilai tambah batubara. Ini dapat dilihat pada perubahan Pasal 128 UU No.4 Tahun 2009 dalam RUU Cipta Kerja menjadi Pasal 128A.

 

Merah menilai Pasal 128A RUU Cipta Kerja Kerja akan menyulitkan pemerintah mencapai target pembangunan rendah karbon sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen lewat dukungan internasional. “Ini makin menjauhkan komitmen Indonesia untuk melepaskan diri dari energi fosil dan batubara,” tegasnya.

 

Kelima, Merah juga melihat RUU Cipta Kerja tidak memberi ruang atau hak veto bagi rakyat. Padahal, masyarakat seperti masyarakat hukum adat punya hak untuk mengatakan “tidak” pada izin usaha tambang di wilayahnya. Potensi kriminalisasi terhadap masyarakat yang menolak tambang juga masih ada sekalipun RUU Cipta Kerja menghapus Pasal 162 UU No.4 Tahun 2009.

 

“Peluang kriminalisasi masih besar, karena Pasal 162 itu diganti Pasal 138A RUU Cipta Kerja. Bisa saja nanti masyarakat dikriminalisasi dengan alasan menolak pembangunan dan sebagainya.”

 

Dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (24/2/2020) kemarin, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Sektor Minerba, Irwandy Arif mengatakan masyarakat tidak perlu khawatir dengan ketentuan yang diatur dalam RUU Cipta Kerja. Jika ada pasal yang dirasa kurang tepat, masyarakat dapat menyampaikannya secara langsung dalam pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR.

 

Mengenai Pasal UU No.4 Tahun 2009 yang terdampak RUU Cipta Kerja, Irwandy menjelaskan peraturan lebih rinci akan diatur dalam peraturan teknis seperti Peraturan Presiden dan Peraturan Pemerintah. Baca Juga: RUU Cipta Kerja Atur Izin Produksi Seumur Tambang, Pemerintah: Jangan Khawatir!

 

Begitu pula ketentuan yang mengatur kegiatan operasi produksi pertambangan bisa sampai seumur tambang, Irwandy mengatakan tidak perlu khawatir karena insentif itu hanya diberikan jika pelaku usaha yang bersangkutan bisa memenuhi syarat yang ditentukan. “Jadi jangan khawatir mengenai operasi produksi seumur tambang, kalau perusahaan tidak bisa menjalankan kewajiban dengan baik, tidak melakukan praktik pertambangan yang baik, dan tidak melakukan reklamasi dan pasca tambang maka izin tidak diberikan lagi,” ujarnya.

 

Irwandy juga membeberkan sejumlah pasal UU No.4 Tahun 2009 yang diubah melalui RUU Cipta Kerja seperti Pasal 36 yang mengatur kegiatan usaha pertambangan dan kegiatan pertambangan terdiri dari 2 tahap yaitu eksplorasi dan operasi produksi. Pelaku usaha yang memenuhi perizinan berusaha dapat melakukan sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan itu.

 

Sebagaimana diatur Pasal 128A RUU Cipta Kerja, pelaku usaha pertambangan juga dapat mendapat insentif berupa pengenaan royalti 0 persen jika mampu melakukan peningkatan nilai tambah batubara. “Hilirisasi batubara itu sulit, maka kita dorong dengan menerapkan insentif,” katanya.

Tags:

Berita Terkait