Lima Bentuk Implementasi Putusan MK 2003-2018
Berita

Lima Bentuk Implementasi Putusan MK 2003-2018

Putusan MK dalam Implementasi Legislasi; Kebijakan Pemerintah; Seleksi Jabatan Publik; Proses Peradilan; dan Putusan MK Non-Implementatif.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Sejak dibentuk, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima, mengadili dan memutus permohonan pengujian undang-undang (PUU). Selama periode 2003-2018 tercatat ada 123 jenis UU yang permohonannya telah dikabulkan MK. Dari jumlah itu, terbanyak MK mengabulkan jenis PUU Pemilu, baik pemilu legislatif, pilpres ataupun pilkada dengan jumlah 36 putusan. Diikuti PUU Pemerintah Daerah terdapat 14 putusan; PUU Ketenagakerjaan terdapat 11 putusan; KUHAP terdapat 11 putusan.  

 

Selain itu, PUU MD3 terdapat 9 putusan; UU MK terdapat 8 putusan; PUU Advokat terdapat 5 putusan; PUU Sistem Pendidikan Nasional terdapat 5 putusan; PUU terkait Partai Politik; KUHP; Kehutanan; Mineral dan Batubara; Pajak Daerah dan Restribusi daerah; masing-masing jumlahnya ada 4 empat putusan.

 

Sebagian besar ketentuan norma atau pasal dalam UU tersebut baik utuh maupun bagian, ayat, huruf, atau kata dan kalimat telah dinyatakan inkonstitusional dan tidak berlaku lagi. Jumlahnya kurang lebih ada 234 ketentuan pasal (50 persen) yang dibatalkan. Sedangkan 196 pasal (41 persen) yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan sebanyak 42 pasal (9 persen) dinyatakan konstitusional bersyarat.

 

Direktur Eksekutif Indonesian Legal Roundtable (ILR), Firmansyah Arifin mengatakan putusan MK yang dikabulkan sebagian telah diimplementasikan; sebagian kecil putusan lain belum diketahui tindak lanjutnya. Dari implementasi putusan yang sudah diketahui tersebut diantaranya terdapat putusan yang Non-Implementatif (belum diimplementasikan). 

 

“Putusan yang sudah implementatif, artinya putusan MK yang sudah ditindaklanjuti baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun dalam bentuk lain,” kata Firmasyah saat paparan hasil penelitian putusan MK ini oleh ILR, di kantornya, belum lama ini. (Baca Juga: Ragam Implementasi dan Kepatuhan Putusan MK)

 

Dalam penelitian ILR ini, dari 123 jenis putusan yang dikabulkakn itu, 86 persen putusan sudah diketahui implementasinya. Ada lima bentuk implementasi putusan MK dari 2003-2018 yakni Putusan MK dalam Implementasi Legislasi; Kebijakan Pemerintah; Seleksi Jabatan Publik; Proses Peradilan; dan Putusan MK nonimplementasi.

 

Pertama, Implementasi Putusan MK dalam Proses Legislasi. Firmansyah mengatakan ada 45 putusan MK (19 persen) yang ditindaklanjuti dengan merevisi UU atau membuat dan menggantinya dengan UU baru. Sayangnya, tindak lanjut pembahasan setiap RUU pembentuk UU seringkali tidak jelas target penyelesaiannya tergantung kehendak politik DPR dan pemerintah. Saat ini, ada dua UU yang sudah diminta MK untuk diubah dalam waktu 3 tahun yakni UU Perkawinan dan UU Pajak Daerah dan Restribusi Daerah.

 

Menindaklanjuti dan mengakomodir putusan MK, RUU yang masih dalam proses legislasi DPR yakni RUU Minyak dan Gas Bumi; RUU Mineral dan Batubara; RUU Masyarakat Adat; RUU Sumber Daya Air; RUU Perbankan; RUU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (KPKPU); RUU Advokat; RUU KUHP; RUU KUHAP; RUU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; RUU Perkoperasian; RUU Penyadapan; RUU Pertanahan; RUU MK; RUU Praktik Kefarmasian dan RUU Perjanjian Internasional.

 

Namun, ada putusan MK yang tidak ditindaklanjuti. Misalnya, ketentuan yang sudah dibatalkan MK, tidak dihapus atau diubah, tetapi justru dibiarkan tetap ada dalam UU yang baru. Ini terjadi dalam Putusan MK No. 98/PUU-VII/2009 terkait UU No 42 Tahun 2008 tentang Pilpres, khususnya terkait dengan larangan pengumuman hasil hitung cepat (quick count) pada masa tenang hingga waktu pencoblosan saat pemilu.

 

“Larangan dan ancaman pidana ini telah dibatalkan, namun muncul kembali dalam Pasal 449 ayat (2) dan Pasal 509 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Ketentuan ini kembali diajukan pengujiannya pada tahun 2019. Selain itu, aturan ambang batas perolehan suara partai politik peserta pemilu dalam Putusan No. 52/PUU-X/2012 namun dihidupkan kembali dalam Pasal 173 ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu,” tuturnya.

 

Padahal, dalam pertimbangan putusan MK No. 105/PUU-XIV/2016 disebutkan “Sebagai institusi yang diberikan wewenang konstitusional oleh konstitusi untuk menguji UU terhadap UUD 1945 langkah yang paling mungkin dilakukan Mahkamah merespon dan sekaligus mengantisipasi segala macam pengabaian terhadap norma-norma atau bagian-bagian tertentu suatu UU yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 tetapi dihidupkan kembali dalam revisi UU atau dalam UU yang baru, maka bagi Mahkamah hal demikian akan menjadi bukti yang tidak terbantahkan untuk menyatakan norma UU yang bersangkutan bertentangan dengan UUD 1945.”

 

Kedua, Implementasi Putusan MK Dalam Kebijakan Pemerintah. Firmansyah mengatakan ada 27 putusan MK (11 persen) yang ditindaklanjuti dalam bentuk Peraturan Menteri (Permen). Ditemukan pula tindak lanjut putusan MK itu dalam bentuk peraturan pemerintah sebanyak 20 (8 persen), 7 (3 persen) dalam bentuk Peraturan Presiden dan selebihnya dalam bentuk surat edaran.

 

Seperti 1. Putusan MK 005/PUU-I/2003 tentang PUU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terkait sanksi administratif berupa pencabutan izin penyiaran. Ditindaklanjuti dengan PP Nomor  51 Tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas.

 

2. Putusan MK No. 54/PUU-VI/2008 tentang UU No. 39 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 1995 Tentang Cukai Terkait dengan alokasi cukai hasil tembakau untuk provinsi. Ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 197/PMK.07/2009 Tentang Dasar Pembagian Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau Kepada Provinsi Penghasil Cukai dan/atau Provinsi Penghasil Tembakau.

 

3. Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 tentang UU 23/2006 tentang administrasi kependudukan sebagaimana telah diubah dengan UU 24/2013 tentang Administrasi Kependudukan. Ditindaklanjuti putusan tentang Hak dan Status Penghayat Kepercayaan di KTP dan KK ditindaklanjuti dengan Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Nomor 471.14/ 10666/ Dukcapil tentang penerbitan Kartu Keluarga Bagi Penghayat kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa tanggal 25 Juni 2018.

 

“Meskipun pemerintah mengeluarkan kebijakan sebagai tindak lanjut dari Putusan MK, bukan berarti seluruh kebijakannya patuh dan sejalan dengan Putusan MK. Di Putusan MK No. 66/PUU-XI/2013 yang menyatakan Ibu kota Kabupaten Maybrat berkedudukan di Ayamaru, tetapi Menteri Dalam Negeri memutus ibukota Kab Maybrat kembali ke Kumurkek,” kata Firmansyah mencontohkan.

 

Apabila kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan putusan MK, kata Firmansyah, MK pernah mengingatkan pemerintah ketika Presiden SBY mengeluarkan Perpres No. 55 tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri. “Ketua MK melalui suratnya mengingatkan Presiden bahwa salah satu dasar hukum yang digunakan sebagai konsideran pembentukan Perpres No. 55 Tahun 2005, ialah peraturan yang tidak berlaku lagi karena sudah dibatalkan melalui putusan No. 002/PUU-I/2003 adalah peraturan yang tidak berlaku lagi. Perpres tersebut kemudian dicabut dan diganti menjadi Perpres No. 9 Tahun 2006,” kata dia.

 

Ketiga, Implementasi Putusan dalam Seleksi Jabatan Publik. Firmasyah mengatakan putusan MK banyak pula yang berkaitan dengan pengisian atau seleksi pejabat publik di lembaga-lembaga negara. Putusan MK yang mempengaruhi pengisian jabatan publik di lembaga politik misalnya, Putusan MK No. 011-017/PUU-I/2003 yang membatalkan larangan eks pengurus/anggota PKI menjadi anggota legislatif; Putusan MK No. 5/PUU-V/2007 dan Putusan MK No. 35/PUU-VIII/2010 yang membuka jalan bagi calon perseorangan untuk menjadi kepala daerah tidak melalui jalur partai politik. Dan putusan MK MK No. 22-24/PUU-VI/2008 yang menentukan anggota legislatif ditentukan berdasarkan perolehan suara terbanyak, tidak lagi berdasarkan nomor urut yang sudah ditetapkan.

 

“Putusan penting yang terus digunakan hingga Pemilu 2019 ini, sejatinya menegaskan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana telah diamanahkan konstitusi,” tuturnya.

 

Selain itu, putusan lain terkait dengan syarat-syarat pengisian jabatan politik antara lain, Putusan No. 4/PUU-VII/2009 perihal boleh tidaknya mantan narapidana menjadi calon legislatif atau menjadi kepala daerah (Putusan No. 42/PUU-XIII/2015; 71/PUU-XIV/2016); Putusan No. 20/PUU-XI/2013; dan putusan No. 53/PUU-XV/2017 tentang keterwakilan perempuan 30 persen yang harus diutamakan partai dalam daftar calon legislatif.

 

Serta, Putusan MK No. 60/PUU-XIII/2015 dan No 54/PUU-XIV/2016 terkait dengan syarat dukungan calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah. Dan juga, Putusan No 88/PUU-XIV/2016 yang membuka peluang perempuan bisa menjadi gubernur/wakil gubernur DI Yogyakarta, serta putusan No. 30/PUU-XVI/2018 yang melarang pengurus partai politik menjadi anggota DPD.

 

Sedangkan, putusan MK yang terkait dengan pengisian dan seleksi jabatan di lembaga-lembaga nonpolitik, tidak hanya berhubungan dengan mekanisme atau proses seleksi tetapi juga terkait dengan isu masalah syarat-syarat, penentuan jumlah pejabat/komisioner juga masa periode jabatannya. Setidaknya ada 16 putusan MK terkait dengan hal ini.

 

Misalnya, putusan MK No. 133/PUU-VII/2009 terkait aturan dengan pemberhentian pimpinan KPK. Putusan MK menyatakan pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan secara tetap setelah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, bukan saat masih menjadi terdakwa. Putusan MK No. 10/PUU-XV/2017 tentang penegasan larangan rangkap jabatan pengurus IDI dalam Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Putusan MK No. 38/PUU-XVI/2018 tentang Penegasan jumlah anggota KPU provinsi/kabupaten/kota masing-masing berjumlah 5 orang.      

 

Menurutnya, jika dilihat lebih dalam, MK sudah “mengubah” desain seleksi pejabat publik yang berkaitan dengan syarat menjadi anggota DPR, DPD, dan DPRD; tafsir masa jabatan kepala daerah; masa jabatan Jaksa agung; syarat menjadi penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, dan DKPP); masa jabatan Komisioner KPK; masa jabatan anggota BPK; proses seleksi hakim agung, seleksi komisioner Komisi Yudisial; proses seleksi komisioner Komisi Informasi; syarat menjadi hakim agung, masa jabatan hakim ad hoc, rangkap jabatan pengurus IDI dan Konsili Kedokteran Indonesia, dan seleksi anggota KPUD dan Panwaslu.

 

Keempat, Implementasi Putusan dalam Proses Peradilan. Firmasyah mengatakan implementasi putusan MK banyak juga ditemukan dalam proses peradilan yang tertuang dalam bentuk Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) hingga Peraturan Mahkamah Agung (PERMA). Misalnya, Putusan MK No. 65/PUU-IX/2011 tentang Peninjauan Kembali terhadap putusan praperadilan. Ditindaklanjuti PERMA Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan PraPeradilan.  Putusan MK No. 03/PUU-XIV/2016 tentang format putusan pengadilan. Ditindaklanjuti dengan PERMA Nomor 9 Tahun 2017 tentang Format (Template) Dan Pedoman Penulisan Putusan/ Penetapan Mahkamah Agung.

 

Dia melanjutkan implementasi putusan MK dalam praktik peradilan, banyak ditemukan dalam putusan-putusan badan peradilan. Terutama terkait penanganan kasus-kasus kongkrit yang diadili dan diputus pengadilan baik tingkat pertama, banding, kasasi hingga peninjauan kembali (PK). Dalam hal ini, putusan PUU MK dijadikan sebagai bahan pembelaan atau mengajukan upaya hukum guna mendapatkan keadilan. Akhirnya mempengaruhi pertimbangan-pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.

 

Kelima, Putusan MK yang Non-Implementatif. Firmasyah mengatakan putusan yang nonimplementatif, artinya putusan tersebut belum ditindaklanjuti atau tidak bisa dilaksanakan. Putusan yang belum ditindaklanjuti dapat dikatakan putusan yang semestinya bisa ditindaklanjuti dengan berbagai bentuk kebijakan namun dibiarkan menggantung, tidak jelas dan tidak diketahui bagaimana tindak lanjutnya. “Terdapat 17 putusan atau 7 persen PUU MK yang bernasib tidak diimpmentasikan,” kata dia.

 

Misalnya, putusan MK No. 006/PUU-IV/2006 yang membatalkan keseluruhan UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Hingga kini tidak ada kejelasan bagaimana respon pemerintah untuk membuat dan menggantinya dengan UU KKR yang baru. Dan, juga Putusan No. 4/PUU-X/2012 yang membatalkan pembatasan dan ancaman pidana penggunaan lambang negara yang diatur dalam UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

 

Meskipun telah dibatalkan, lanjutnya, penggunaan lambang negara masih berlaku PP No. 43 Tahun 1958 yang didalamnya mengatur soal sanksi pidana. “Padahal, sudah semestinya dibuat PP yang baru, sekaligus menindaklanjuti putusan ini. Terlebih UU No. 24 Tahun 2009 juga mengamanatkan penerapan bahasa, lambang negara dan lagu kebangsaan diatur dalam lebih lanjut dalam PP yang dibuat 2 tahun setelah UU disahkan,” ujarnya.  

 

Menurutnya, putusan MK yang tidak dilaksanakan (non executable), disebabkan karena beberapa faktor antara lain adanya penolakan; didiamkan tidak ditindaklanjuti; ketidakmampuan untuk menindaklanjuti sesuai putusan MK; putusan MK multitafsir: ditafsirkan berbeda dengan putusan MK; independensi lembaga; kurangnya sosialisasi putusan MK.

Tags:

Berita Terkait