Lima Alasan Perpres Komisi Penyandang Disabilitas Perlu Direvisi
Berita

Lima Alasan Perpres Komisi Penyandang Disabilitas Perlu Direvisi

Secara umum, pembentukan Peraturan Presiden (Perpres) No.68 Tahun 2020 tentang Komisi Penyandang Disabilitas (KND) dinilai tidak sesuai mandat UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Penyandang disabilitas. Foto: RES
Penyandang disabilitas. Foto: RES

Setelah 4 tahun UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas terbit, akhirnya pemerintah menerbitkan Perpres No. 68 Tahun 2020 tentang Komisi Penyandang Disabilitas (KND). Pembentukan Komisi Penyandang Disabilitas ini merupakan mandat Pasal 134 UU No.8 Tahun 2016. “Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja serta keanggotaan KND diatur dengan Peraturan Presiden,” demikian kutipan bunyi Pasal 134 UU No.8 Tahun 2016.

Pasal 131 UU No.8 Tahun 2016 menyebut dalam rangka pelaksanaan penghormatan pelindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas dibentuk KND sebagai lembaga nonstruktural yang bersifat independen. Ketentuan selanjutnya mengatur hasil pemantauan, evaluasi, dan advokasi yang dilakukan KND dilaporkan kepada Presiden.

Terbitnya peraturan pelaksana UU No.8 Tahun 2016 sangat ditunggu kalangan difabel, tapi sayangnya Perpres No.68 Tahun 2020 ini belum sesuai harapan. Organisasi penyandang disabilitas dari 34 provinsi telah menggagas petisi 23 Juni yang intinya mendesak Presiden Jokowi segera merevisi Perpres No.68 Tahun 2020.  

Direktur Jaringan dan Advokasi PSHK Fajri Nursyamsi mengatakan Perpres No.68 Tahun 2020 tidak mencerminakan konsep yang tepat sesuai amanat pembentukan KND sebagaimana amanat UU No.8 Tahun 2016. Dia menyebut sedikitnya 161 organisasi penyandang disabilitas dari 34 provinsi telah menerbitkan petisi yang mendesak Presiden Jokowi merevisi Perpres No.78 Tahun 2020. Setidaknya ada 5 alasan yang mendasari tuntutan tersebut.

Pertama, KND yang dibentuk melalui Perpres No.68 Tahun 2020 menunjukan adanya kemunduran implementasi UU No.8 Tahun 2016 terutama dalam upaya memposisikan disabilitas sebagai isu HAM. Pemerintah dinilai belum memahami disabilitas sebagai bagian dari isu HAM karena KND dilekatkan secara kelembagaan kepada Kementerian Sosial yang tidak memiliki urusan di bidang HAM. Berdasarkan Perpres No. 46 Tahun 2015, urusan Kementerian Sosial terbatas kepada rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, dan penanganan fakir miskin.

Kedua, KND dibentuk sebagai lembaga yang tidak independen dan rawan konflik kepentingan karena komisi ini berada dalam unit di bawah Kementerian Sosial. Hal ini menyebabkan KND terbatas dalam menjalankan tugas, terutama terkait kinerja Kementerian Sosial yang selama ini banyak dikritik organisasi penyandang disabilitas.

“Karena masih melihat disabilitas dari pendekatan belas kasih (charity based). KND juga berpotensi terjerat dalam konflik kepentingan dengan Kementerian Sosial, yang pekerjaannya akan sering sekali menjadi sasaran evaluasi, pemantauan, dan advokasi sebagai tugas KND,” kata Fajri ketika dikonfirmasi, Rabu (24/6/2020). (Baca Juga: Ini Syarat dan Tata Cara Pemberian Penghargaan bagi Penyandang Disabilitas)

Ketiga, kelembagaan KND membatasi representasi penyandang disabilitas. Pemerintah dinilai keliru menafsirkan KND merupakan bagian dari koordinasi yang diemban Kementerian Sosial sebagaimana Pasal 129 UU No.8 Tahun 2016. Padahal, KND telah diatur khusus pada Bab VI UU No.8 Tahun 2016 dimana kelembagaan KND bersifat independen dan nonstruktural serta memiliki tugas sendiri.

KND ini bekerja di luar pemerintah untuk melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja pemerintah dalam melaksanakan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Kemudian anggaran KND harusnya langsung dari APBN bukan anggaran Kementerian Sosial.

Keempat, mekanisme kerja KND minim pelibatan organisasi penyandang disabilitas. Pengisian anggota KND dinilai tidak memberi kesempatan penuh bagi penyandang disabilitas karena membatasi peluang dengan menetapkan jatah anggota KND dari penyandang disabilitas sebanyak 4 dari total 7 orang. Padahal, Pasal 33 ayat (3) UN CRPD adalah mengutamakan keterlibatan penyandang disabilitas dalam pelaksanaan pengawasan pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam suatu negara.

Kelima, proses pembentukan KND tidak transparan dan partisipatif, sehingga tidak merepresentasikan aspirasi dari masyarakat penyandang disabilitas di Indonesia. Pemilihan panitia seleksi dan penunjukan anggota KND untuk kali pertama tidak melibatkan organisasi penyandang disabilitas. Ini dikhawatirkan mengganggu independensi dan keberpihakan terhadap penyandang disabilitas.

Tak ketinggalan Fajri menyebut pembentukan Perpres No.68 Tahun 2020 dilakukan secara tertutup dan minim partisipasi penyandang disabilitas sebagai pemangku kepentingan utama. Pembentukan beleid ini juga tidak melalui uji publik terhadap masyarakat difabel, ini bertentangan dengan Pasal 4 UN CRPD dimana ketentuan tersebut mewajibkan pemerintah berkonsultasi secara erat dan intensif dengan masyarakat penyandang disabilitas dalam membuat peraturan terkait kepentingan penyandang disabilitas.

“Melalui petisi ini organisasi penyandang disabilitas berharap Presiden RI, Joko Widodo, dapat merealisasikan keinginan masyarakat penyandang disabilitas untuk melakukan revisi terbatas terhadap Perpres 68 Tahun 2020 tentang KND,” kata Fajri.

Fajri menjelaskan usulan perubahan yang disampaikan oleh organisasi penyandang disabilitas Seluruh Indonesia ini terdiri dari 5 ketentuan baru dan 4 ketentuan revisi. Jumlah itu sedikit dibandingkan keseluruhan ketentuan yang mencapai 67 ketentuan yang tercakup dalam 31 pasal.

Selain itu, Fajri menyebut organisasi penyandang disabilitas mendesak Presiden Jokowi menginstruksikan Menteri terkait untuk menunda pelaksanaan Perpres 68 Tahun 2020, terutama dalam memilih anggota KND untuk pertama kalinya. Penundaan itu penting sebagai bagian dari penghormatan terhadap hak penyandang disabilitas untuk ikut serta secara aktif dan bermakna dalam pembentukan atau perubahan kebijakan atau regulasi yang terkait langsung dengan penyandang disabilitas.

Menurut Fajri perwakilan organisasi penyandang disabilitas siap jika Presiden Jokowi meminta penjelasan lebih mendalam terhadap aspirasi kalangan disabilitas. Ini penting guna mempercepat proses perubahan terhadap Perpres No.68 Tahun 2020. Pemenuhan aspirasi ini dapat dilihat sebagai bukti pemerintah serius melaksanakan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas di Indonesia demi mencapai Indonesia inklusif tahun 2030.

Tags:

Berita Terkait