Lie Detector Tidak Populer Dalam Penanganan Kasus Korupsi
Berita

Lie Detector Tidak Populer Dalam Penanganan Kasus Korupsi

Lie detector jarang digunakan penyidik karena akurasinya diragukan. Lagipula, penyidik mengaku tidak lagi mengejar keterangan tersangka sebagai alat bukti.

Nov/M-3/M-1
Bacaan 2 Menit

 

Kriminolog Universitas Indonesia Adrianus Meliala secara terpisah mengamini apa yang dikemukakan Yose. Penggunaan lie detector memang tidak efektif jika digunakan dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Lebih ke kejahatan kekerasan yang tadi tidak ada saksi lain dan diyakini bahwa pelakunya hanya dia. Kalau dalam konteks korupsi tidak pernah ada situasi seperti itu. Yang ada hanya unsur interpretasi dan rekonstruksi, sehingga tidak ada gunanya membuat uji kebohongan terhadap mereka (tersangka korupsi-red).

 

Hanya perkuat petunjuk

Lie detector itu digunakan hanya untuk mengecek sebuah keterangan. Apakah seseorang, dalam member keterangan, ia berbohong atau tidak. Kalau berbohong, nanti akan terlihat di grafik, ujar Yose. Namun, dalam penggunaannya, tidak bisa hanya mengandalkan hasil akhir (grafik-red). Si psikolog juga harus bisa menganalisa gelagat dan psikologis orang yang dites, berhubung akurasi alat ini diragukan. Bukan hanya untuk korupsi, tapi juga untuk tindak pidana lain, sehingga penyidik hanya menggunakannya untuk memperkuat petunjuk. Bukan sebagai alat bukti, tegasnya.

 

Yusti Probowati Rahayu, Ketua Asosiasi Psikolog Forensik Indonesia, membenarkan jika hasil dari lie detector itu memang sangat rentan kebenarannya. Karena melihat detak jantung, denyut nadi, serta perubahan fisik. Apabila ia mengatakan sesuatu yang benar, detak jantung dan denyut nadi akan berjalan secara normal. Namun, apabila ia berbohong, maka akan ada perubahan fisik dari detak jantung atau denyut nadi.

 

Perubahan fisik itu bisa saja berubah tergantung keadaan di sekitarnya, tukas Yusti. Misalnya, apabila orang tersebut sedang tidak fit secara psikologi, mungkin karena tekanan di sekitarnya, sehingga ia berdebar-debar. Lagipula, menurut Akademisi Universitas Surabaya ini, ada beberapa pendapat yang menyatakan hasil dari lie detector bisa dimanipulasi dengan cara membuat kondisi tegang bagi orang yang akan diujikan kebohongan.

 

Adrianus mengemukakan beberapa kendala yang mengganggu akurasi alat uji kebohongan. Jika yang bersangkutan berada dalam kondisi nervous (gugup), stress, lelah, atau sakit. Selain itu, kondisi dimana sebetulnya yang bersangkutan juga sudah amat terlatih menghadapi uji kebohongan, sehingga mampu meng-handle pertanyaan-pertanyaan yang menjebak. Dengan begitu, hasil dari alat uji kebohongan ini bisa saja menampilkan suatu pola yang tidak menunjukkan kalau orang tersebut berbohong.

 

Hakim beda pandangan

Dengan kerentanan yang seperti ini, wajar saja jika hasil dari lie detector tidak dapat dijadikan alat bukti di persidangan. Adrianus mencermati, kalangan hakim Indonesia memiliki pandangan yang berbeda terhadap keterangan hasil tes uji kebohongan. Alasannya, karena Pasal 184 KUHAP memang tidak mengkategorikannya sebagai alat bukti. Kalaupun lie detector ini digunakan, tentunya penyidikan sudah dalam kondisi terdesak. Sudah kekurangan alat bukti dan tinggal bersandar pada keterangan tersangka, imbuh Adrianus.

 

Masalahnya, walau dalam kondisi terdesak pun tetap saja hasil dari lie detector tetap tidak diakui sebagai alat bukti, melainkan hanya sebagai sarana interogasi. Yusti menjelaskan, lie detector ini digunakan agar yang bersangkutan akan merasa terbebani dengan adanya alat tersebut. Mungkin diharapkan, agar yang bersangkutan mengatakan kebenaran karena takut lie detector ini akan mengetahui apabila ia berbohong.

 

Namun, ada satu kondisi dimana hasil dari lie detector ini dapat digunakan sebagai alat bukti. Apabila hasil lie detector itu diungkapkan ahli psikolog dalam konteks persidangan karena dapat dijadikan sebagai keterangan ahli. Jadi, yang menjadi alat bukti itu keterangan atas analisa hasil lie detector, dan bukan hasil lie detector itu sendiri, pungkas Yusti.

Tags: