Liberalisasi Perdagangan Tak Mendukung Swasembada Pangan
Berita

Liberalisasi Perdagangan Tak Mendukung Swasembada Pangan

Kebijakan WTO masih mengizinkan untuk memberlakukan bea masuk dan tarif produk pangan maksimal 40 persen.

FNH
Bacaan 2 Menit

Guna menghindari munculnya kartel pangan di lapangan, selain menerapkan pengenaan bea masuk terhadap impor bahan pangan, pemerintah harus  memperbanyak jumlah importir. Tujuannya adalah untuk membuat pasar menjadi bersaing dan tidak hanya dikuasai oleh satu atau dua orang saja.

Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Ketua Bidang Pengkajian, Munrokim Misanam, menuturkan seharusnya produk holtikultura dikenakan bea masuk dan tarif. Pengenaan bea masuk dan tariff ini penting mengingat holtikultura masuk dalam kategori highly sensitive. Lagi-lagi, liberalisasi perdagangan menjadi penghalang dalam menyelamatkan produk dalam negeri.

“Ada penghalangnya antara lain ACFTA, AEC, UU KPPU dan keterlibatan aparat yang kurang di lapangan dalam menindak pelaku kartel,” katanya.

Ekonom Senior Insitute for Development of Economic Finance (INDEF), Bustanul Arifin, menilai aturan ACFTA tak mutlak harus dilakukan oleh pemerintah. Apalagi, jika produk impor tersebut bukanlah produk asli negara yang mengimpor. “ACFTA tidak mutlak karena masih ada aturan rule of original country. Kalau produk itu bukan asli dar negara pengimpor, boleh dikenakan bea masuk,” katanya.

Kekhawatiran pemerintah selama ini, lanjutnya, jika pemerintah menerapkan bea masuk kepada produk holtikultura seperti bawang, China akan mengimpor ke negara Singapura untuk kemudian diteruskan ke Indonesia. padadal logikanya, lanjut Bustanul, produk impor tersebut tetap akan dikenai bea masuk karena bukanlah produk asli Singapura. Hanya saja, pemerintah harus bekerja keras untuk memperbaiki sistem pangan dalam negeri sehingga tak tergantung pada impor.

Jika memungkinkan, Bustanul berharap Kementerian Pertanian dapat mengeluarkan kebijakan impor holtikulturan yang sama layaknya impor beras dengan menggunakan mekanisme -1+2. Artinya, impor tidak boleh dilakukan satu bulan sebelum panen dan dua bulan setelah panen. Kebijakan ini, lanjutnya, dinilai adil dan tidak merugikan petani.

Bustanul pesimis atas usulan Sutrisno karena sudah pernah memberikan masukan senada kepada Pemerintah dan DPR. Sayang, tak mendapat sambutan yang baik. “Agak susah kalau itu karena saya sudah pernah berikan usulan ini namun banyak alasan karena ini mekanismenya masuk APBN dan harus dianggarkan dulu. Ya saya bisa apalagi kalau mereka sudah bilang begitu,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait