Libatkan TNI dalam Urusan Keagamaan, Menag Diingatkan Agenda Reformasi TNI
Berita

Libatkan TNI dalam Urusan Keagamaan, Menag Diingatkan Agenda Reformasi TNI

Mengurus peningkatan kerukunan umat beragama tidak termasuk dalam tugas OMSP sebagaimana diatur UU TNI.

Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Pemerintah melalui Kementerian Agama berencana melibatkan TNI AD dalam urusan beragama warga negara. Rencana pelibatan TNI AD ini adalah untuk mengurus peningkatan kerukunan umat beragama hingga ke pelosok daerah di Indonesia. Terhadap rencana ini, sebagian pihak menyampaikan penolakannya. 

Peneliti SETARA Institute, Ikhsan Yosarie, menilai langkah pemerintah ini bertentangan dengan prinsip demokrasi, HAM, dan agenda reformasi sektor keamanan. Tidak hanya itu, Ikhsan juga menyebutkan langkah ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

“Pelibatan TNI dalam mengurus kerukunan beragama adalah suatu pendekatan yang keliru,” ujarnya kepada hukumonline, Senin (6/7).

Menurut Ikhsan, pelibatan TNI dengan pendekatan keamanannya justru berpotensi memunculkan pelanggaran HAM. Pendekatan keamanan dianggap membuka ruang otoritarianisme karena pemerintah akan lebih mengutamakan stabilitas melalui pendekatan represif dibandingkan dialogis.

Ikhsan menilai tidak ada argumen yang kuat dan masuk akal bagi Kementerian Agama untuk melibatkan TNI dalam program kerukunan umat beragama, karena nyatanya peningkatan kerukunan umat beragama selama ini lebih efektif dilakukan dengan cara-cara dialogis dibandingkan dengan pendekatan represif. (Baca: Akhiri Polemik Pelibatan TNI Tangani Terorisme, Ketentuan Ini Perlu Dicabut)

“Pendekatan represif hanya memunculkan kerukunan semu dan akhirnya menjadi bom waktu konflik sosial yang lebih besar sebagaimana di masa Orde Baru,” ujarnya. 

Menurut Ikhsan, paradigma kerukunan umat beragama yang selama ini dipakai Pemerintah tidak disertai dengan upaya pemenuhan kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) khususnya terhadap kelompok minoritas agama atau keyakinan, seperti agama leluhur, kelompok aliran yang berbeda di internal keagamaan, serta penghayat kepercayaan. 

“Hal ini terlihat dalam kebijakan Pemerintah seperti SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah dan penggunaan pasal penodaan agama yang bersifat diskriminatif,” tambahnya.

Karena itu, pendekatan yang menitikberatkan pada aspek kerukunan dalam praktiknya sangat potensial melanggengkan diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama atau keyakinan, yang selama ini sudah kerap terjadi atas kelompok ini.

Senada, peneliti Imparsial, Hussein mengingatkan meski operasi militer selain perang (OMSP) dalam kerangka tugas perbantuan dimungkinkan, tetapi pelaksanaanya diatur secara ketat oleh Pasal 7 Ayat 2 UU TNI. “Mengurus peningkatan kerukunan umat beragama tidak termasuk dalam tugas OMSP sebagaimana diatur UU TNI,” ungkap Hussein.

Hussein menilai aturan main tentang pelaksanaan OMSP dalam kerangka tugas perbantuan belum juga dibentuk oleh pemerintah. Hal ini akan menimbulkan problem akuntabilitas apabila terjadi pelanggaran HAM dalam pelaksanaanya. 

Lebih dari itu, menurut Hussein pelibatan ini berpotensi bertentangan dengan Pasal 7 Ayat 3 UU TNI yang menegaskan OMSP hanya bisa dilakukan melalui keputusan politik negara dan bukan sekadar Memorandum of Understanding (MoU) atau keputusan menteri. 

Rencana pelibatan TNI membantu Kemenag dalam urusan peningkatan kerukunan umat beragama sejatinya juga bertentangan dengan amanat Reformasi 1998 yakni penghapusan Dwifungsi (peran sosial-politik) ABRI. 

Karena itu, menurut Hussein, koalisi Masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan mengingatkan kepada pemerintah agar fokus pada sejumlah agenda reformasi TNI yang belum selesai ketimbang menarik-barik TNI kembali ke dalam peran sosial-politik.

Sejumlah agenda reformasi TNI antara lain, pembentukan aturan main OMSP dalam kerangka tugas perbantuan, reformasi peradilan militer, restrukturisasi Komando Teritorial, pemenuhan kebutuhan alutsista modern, kesejahteraan prajurit dan lain-lain.

Karena itu, Hussein menyebutkan koalisi masyarakat sipil menuntut agar pemerintah membatalkan rencana pelibatan TNI dalam mengurusi kerukunan umat beragama hingga ke pelosok-pelosok daerah di Indonesia. 

Selain itu pemerintah juga diharapkan agar mengganti pendekatan keamanan dengan pendekatan dialogis dengan melibatkan semua komunitas agama, termasuk agama-agama yang selama “tidak diakui”, agama leluhur, dan penghayat kepercayaan. 

Terkahir, pemerintah diminta untuk meninjau kembali dan merumuskan ulang keterlibatan TNI dalam operasi non-perang yang merupakan campur tangan militer dalam kehidupan sipil sebagai amanat reformasi, demokrasi, dan penghapusan dwifungsi ABRI.

Untuk diketahui, Menteri Agama Fachrul Razi menggandeng TNI AD untuk kerja sama program peningkatan kerukunan umat beragama di Indonesia. Kerja sama ini ditandai dengan pertemuan Fachrul dengan Wakaster KSAD Brigjen TNI Sugiyono di Kantor Kemenag, Jakarta, Selasa (30/6).

"Kementerian Agama bersama TNI AD membahas sinergi program peningkatan kerukunan umat beragama," sebut Fachrul dalam keterangan resmi di situs Kemenag RI.

Menurut Fachrul, TNI dalam menjaga keutuhan NKRI menggunakan strategi pertahanan dan militer. Oleh karena itu Kemenag menilai keutuhan NKRI juga bisa dijaga dengan menggunakan pendekatan keagamaan. "Tujuan kita tentunya, peningkatan kerukunan umat beragama," kata Fachrul.

Tags:

Berita Terkait