Lewat WILI, Marieta Mauren Tunjukkan Wajah Baru Perempuan dalam Bidang Hukum
Terbaru

Lewat WILI, Marieta Mauren Tunjukkan Wajah Baru Perempuan dalam Bidang Hukum

Perempuan dapat berkarier dan menjadi seorang pemimpin, tanpa harus melupakan kodratnya sebagai perempuan dan perannya sebagai ibu.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 5 Menit
Pembicara webinar bertajuk 'Casting a Spotlight on Women's Roles in the Community', yang diselenggarakan Kantor Hukum Marieta Mauren pada Jumat (10/11). Foto: istimewa.
Pembicara webinar bertajuk 'Casting a Spotlight on Women's Roles in the Community', yang diselenggarakan Kantor Hukum Marieta Mauren pada Jumat (10/11). Foto: istimewa.

Tidak pernah ada batasan bagi perempuan untuk cemerlang di profesi apa pun. Perempuan dapat berkarier dan menjadi seorang pemimpin, tanpa harus melupakan kodratnya sebagai perempuan dan perannya sebagai ibu. Namun, kadang kala tembok-tembok penghalang justru dibuat oleh perempuan sendiri. Hal ini menjadi kunci dari webinar bertajuk ‘Casting a Spotlight on Women’s Roles in the Community’, yang diselenggarakan Kantor Hukum Marieta Mauren pada Jumat (10/11). Berupaya memotret perjalanan karier dan kontribusi para perempuan di industri hukum untuk masyarakat, webinar ini menghadirkan lima pembicara dari beragam profesi hukum, di antaranya Founding Partner Marieta Mauren, Windri Marieta; Founding Partner Marieta Mauren, Sylvia M. Mauren; Notaris dan Dosen di Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Dr. Arina Novizas Shebubakar, S.H., M.Kn.; Head of Legal, Corporate Secretary & Fraud Control PT AXA Mandiri Financial Services, Gaina Kasia Wela, S.H., QCRO.; dan Jaksa Penuntut di Kejaksaan Negeri Bangli, Michele Moreno, S.H., M. Kn., C.L.A.

 

Sebagai notaris dan dosen di fakultas hukum, Arina Novizas banyak berbicara tentang definisi, praktik ketidakseimbangan gender dalam beragam aspek (lingkungan, keluarga, ekonomi, pekerjaan, dan pemerintahan), hingga konsep hak asasi manusia dalam naskah regulasi. Kendati wacana kesetaraan sudah menguat, tidak dapat dimungkiri, pada beberapa kasus, peran perempuan masih dianggap terbatas pada urusan keluarga. Ini belum termasuk sejumlah faktor ketidakadilan gender yang menyebabkan subordinasi dan menempatkan perempuan pada posisi yang lemah.

 

“Perempuan dapat melakukan apa saja. Dalam berkarier, kita juga ingin bermanfaat bagi sekitar. Toh, semakin perempuan teredukasi, anak-anak sebagai generasi masa depan juga lebih berkembang,” kata Arina.

 

Berkaca dari profesinya sebagai lawyer, Windri Marieta lantas mengumpamakan perempuan sebagai air yang mampu beradaptasi. Di tengah perannya vitalnya sebagai ibu, perempuan juga dapat menduduki posisi strategis, seperti menjadi partner. Namun, itu semua harus diimbangi dengan kemampuannya membagi waktu; juga kebijakan-kebijakan tempat kerja yang mendukung perempuan.

 

“Perempuan bisa, lho, berkarier dan menjadi leader atau apa pun, tanpa harus dia berkompromi dan mengorbankan yang lain, misalnya tidak punya anak atau tidak mengurus anak. Memang banyak stereotipe, tapi itu adalah challenge yang harus kita dobrak. Kita perempuan atau masih berusia muda bukan halangan. Justru yang harus diperlihatkan adalah capability dan rasa percaya diri,” Windri memberikan gambaran.

 

Menguji Tantangan

Hukumonline.com

Para peserta webinar ‘Casting a Spotlight on Women’s Roles in the Community’. Foto: istimewa. 

 

Sylvia Mauren mengingat, Marieta Mauren bermula dari sebuah tulisan iseng yang ditempel di pintu indekos. Semasa kuliah, ia dan teman satu indekos, Windri memang berangan-angan mendirikan sebuah kantor hukum, meski pada waktu itu, tetap ada keraguan mengingat dunia hukum identik dengan laki-laki.

 

Sylvia memulai karier sebagai lawyer di sebuah kantor hukum. Dari sana, ia justru melihat banyak sekali perempuan hebat yang bekerja, menjadi partner, bahkan mendirikan kantornya sendiri. Ketika sudah berkeluarga pun, tidak ada batasan bagi perempuan dalam pekerjaannya sebagai konsultan hukum. 

 

Bagi Sylvia, pemberdayaan perempuan sendiri tidak lantas berarti ingin menggeser laki-laki. Sebaliknya, ia ingin ada kesetaraan sehingga komunikasi dan kerja sama yang terbangun antara laki-laki dan perempuan dapat kohesif. Tidak ada lagi gap atau stigma yang menjadi penghambat.  

 

“Tidak ada limitasi bagi perempuan untuk mencapai atau berkarier di bidang hukum. Memang, awalnya karena dunia litigasi yang tampil adalah laki-laki, kita jadi melihat bidang ini adalah dunia laki-laki. Namun, ternyata tidak demikian. Kadang yang membatasi diri adalah kita sendiri, tetapi setelah memberanikan diri dan menguji batasan itu (tentunya dengan memperhatikan keamanan), there’s no limit,” Sylvia bercerita.

 

Lain Sylvia, lain pula dengan Michele Moreno. Michele mengakui, perjalanannya menjadi jaksa menuntutnya untuk lebih mandiri. Selain sulitnya proses adaptasi, dipandang sebelah mata sudah jadi makanan sehari-hari pada mulanya.

 

“Kita harus punya poin plus. Tidak harus akademis, bisa yang lain. Perdalam pula kemampuan berbahasa. Dengan itu semua, kita akan terlihat dengan sendirinya. Harus cari kualitas berbeda, terus meningkatkan diri, dan percaya diri,” Michele optimis.

 

Sementara itu, menurut Gaina Kasia Wela, berkat perjuangan para perempuan di Indonesia dalam karier, telah ada pergeseran positif soal kesetaraan dan pemberdayaan perempuan. Perempuan tetap dapat bersaing, asalkan mampu menunjukkan dan bertanggung jawab atas kemampuannya. Fondasi yang baik kemudian amat penting dan dapat dibangun sejak awal perkuliahan, misalnya dengan cara mengikuti beragam kegiatan.

 

Adapun di tengah perannya dalam hal mengurus perusahaan, manajemen, dan transformasi bisnis, Gaina pun memberikan tips bagi perempuan untuk selalu melakukan yang terbaik.

 

“Kalau saya, kuncinya harus dapat memosisikan diri sesuai situasi. Harus memahami regulasi, proses, dan prosedur internal, sehingga ketika harus menemukan suatu permasalahan yang memuat banyak kepentingan, kita juga bisa jadi independen dan melihat dari berbagai sisi. Jangan stop belajar atau mudah bilang ‘tidak bisa’. Selalu ada pertama yang sulit, tetapi kedua, ketiga, keempatnya mudah. Setiap hal adalah fase pengalaman yang harus dijalani dan itu akan membentuk rasa percaya diri,” ujar Gaina.

 

Peresmian Women in Legal Industry (WILI)

Sebagai firma hukum yang dipimpin oleh perempuan, Marieta Mauren mengajak para perempuan, khususnya di bidang hukum untuk bersama-sama berkarya dan berkontribusi; tidak hanya pada keluarga tetapi juga lingkungan dan masyarakat. Itu sebabnya, pada momen yang sama, dalam rangka mendukung gerakan pemberdayaan perempuan, kantor hukum ini juga meresmikan Women in Legal Industry (WILI). WILI merupakan komunitas pemberdayaan perempuan di bidang hukum yang nantinya, akan menginisiasi beragam acara seperti capacity building, training, seminar, pemberian beasiswa, hingga mentoring.

 

“Komunitas ini memiliki misi untuk membawa dan menyatukan perempuan-perempuan di industri hukum untuk saling menginspirasi, mengedukasi, mendukung satu sama lain, dan memberikan dampak positif untuk publik. WILI merupakan wadah yang tepat untuk mengejawantahkan visi dan misi membantu para perempuan Indonesia, terutama di profesi legal untuk mencapai kemampuan terbaiknya,” kata Windri.

 

Windri Marieta merupakan advokat pemerhati isu-isu perempuan. Pada 2022, ia menjadi bidder tertinggi syal ‘The Golden Scarf’ karya pelukis perempuan, Prajna Dewantara. The Golden Scarf tercatat dalam rekor MURI sebagai scarf dengan hasil penjualan lelang tertinggi. Uang hasil lelang kemudian digunakan untuk membangun rumah aman (safe house) dan memberikan perlindungan bagi korban atau penyintas kekerasan di Aceh yang akan didirikan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh.

 

Sementara itu, Sylvia M. Mauren banyak aktif mendukung berbagai kegiatan yang fokus pada kemajuan perempuan dan anak. Ia telah beberapa kali menjadi sukarelawan untuk berbagi ilmu kepada perempuan dan anak yang underprivilage di berbagai kawasan, seperti Muara Angke dan Senayan.

 

Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dan Kantor Hukum Marieta Mauren.

Tags:

Berita Terkait