Lewat RUU Keamanan Laut, Patroli Keamanan Laut Perlu Dioptimalkan
Berita

Lewat RUU Keamanan Laut, Patroli Keamanan Laut Perlu Dioptimalkan

Komisi I DPR berencana untuk menggulirkan kembali pembahasan RUU Keamanan Laut.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Reformasi di sektor pertahanan dan keamanan yang bergulir sejak reformasi dinilai telah berada di jalur yang benar. Namun demikian, masih banyak hal yang perlu dibenahi dan proses reformasi di bidang pertahanan dan keamanan ini harus terus berjalan. Demikian pernyataan anggota Komisi I DPR dari fraksi Partai Golkar, Jerry Sambuaga, dalam acara diskusi di Jakarta, Kamis (27/6/2019).

 

Jerry menyebut salah satu bidang yang perlu disasar dalam reformasi sektor pertahanan dan keamanan ini yakni mengkaji ulang keberadaan Komando Teritorial (Koter). Baginya, struktur koter yang ada saat ini tidak tepat karena mengikuti struktur pemerintahan sipil. Untuk itu, penghapusan koter perlu dilakukan agar pertahanan Indonesia lebih fokus pada mengamankan perbatasan di laut.

 

Dia menerangkan laut merupakan wilayah Indonesia yang paling luas dibandingkan daratan. Ironisnya, patroli yang menjaga perbatasan di laut Indonesia sangat minim. “Ketika koter dihapus, maka anggarannya bisa dialokasikan untuk mengoptimalkan pengamanan patroli di laut,” tegasnya. Baca Juga: Alasan DPD Usulkan Revisi UU Pelayaran

 

Jerry mengatakan Komisi I DPR terus berupaya menuntaskan RUU Keamanan Laut. Seperti diketahui, RUU Keamanan Laut masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2015-2019 sebagai RUU inisiatif DPR. Melalui regulasi ini, Jerry berharap setiap pulau besar di Indonesia punya pangkalan pertahanan laut, sehingga dapat memperkuat penjagaan di wilayah perbatasan laut Indonesia.

 

Dia mengaku Komisi I sempat membahas RUU Keamanan Laut ini bersama Bakamla RI. Ke depan, Komisi I DPR berencana untuk menggulirkan kembali pembahasan RUU tersebut. “Komisi I mendukung reformasi sektor pertahanan dan keamanan, terutama untuk keamanan laut,” kata dia.

 

Koordinator Peneliti Imparsial, Ardi Manto menilai reformasi sektor pertahanan dan keamanan sangat penting untuk mewujudkan TNI dan Polri yang profesional. Dalam beberapa tahun terakhir, Ardi khawatir militer kembali dalam tata pemerintahan sipil atau kembalinya dwi fungsi TNI. Ada kecenderungan elit sipil termasuk partai politik menarik militer dalam pemerintahan.

 

Berbekal MoU dengan sejumlah kementerian dan lembaga, Ardi melihat TNI melakukan tugas-tugas yang seharusnya dilakukan institusi sipil. Misalnya, militer membantu Kementerian Pertanian mencetak sawah dan mendistribusikan pupuk untuk mengejar target swasembada pangan.

 

Melansir temuan Ombudsman, Ardi menyebut lebih dari separuh sawah yang dicetak TNI itu tidak dapat ditanam padi. MoU yang dijalin itu menurut Ardi tidak sesuai dengan tugas dan fungsi TNI yang fokusnya menjaga pertahanan dan keamanan Indonesia dari ancaman dari luar, asing.

 

Ardi menjelaskan reformasi pertahanan dan keamanan, khususnya militer merupakan mandat TAP MPR No.VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri; TAP MPR No.VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri; dan UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI. Menurut Ardi, reformasi sektor pertahanan dan keamanan belum tuntas, misalnya sampai saat ini pemerintah dan DPR belum merevisi UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

 

“Restrukturisasi koter juga mandat TAP MPR No.VI dan VII Tahun 2000. Koter digunakan pemerintahan orde baru untuk mengintai rakyatnya sendiri dan memberi ruang militer secara sosial dan politik dalam tata pemerintahan sipil. Masyarakat membutuhkan TNI yang profesional,” lanjutnya.  

 

Tak hanya itu, dia menilai UU No.31 Tahun 1997 menempatkan militer sebagai warga negara kelas VVIP dalam sistem peradilan pidana. Melalui regulasi itu, aparat militer yang melakukan tindak pidana (umum) tidak dibawa ke pengadilan pidana (pengadilan umum), tapi peradilan militer. Hal ini menyebabkan terjadinya impunitas (kekebalan) terhadap anggota TNI yang melakukan pelanggaran hukum pidana. Selain itu, Ardi menilai peradilan militer selama ini minim akuntabilitas dan transparansi.

 

Untuk diketahui, pada Maret 2015 lalu, sejumlah aktivis dari organisasi masyarakat sipil pernah menyesalkan dan mempertanyakan tidak adanya revisi UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dalam Prolegnas 2015-2019. Padahal revisi itu selalu tercantum pada Prolegnas sebelumnya. Revisi UU Peradilan Militer adalah bagian dari reformasi sektor keamanan.

Tags:

Berita Terkait