Hal ini mencuat dalam workshop "Strategi Perubahan Menuju Pengelolaan Anggaran Pengadilan yang Mandiri, Transparan, dan Akuntabel" yang diselenggaran oleh Mahkamah Agung (MA) dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) di Jakarta.
Direktur Hukum dan Peradilan MA, Soeparno menyatakan bahwa dana pihak ketiga terdiri dari panjar biaya perkara tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi, biaya permohonan Peninjauan Kembali (PK), dan biaya somasi.
Juga panjar biaya eksekusi, uang konsinyasi atau uang titipan pihak ketiga, uang jaminan penangguhan penahanan dan hak-hak kepaniteraan yang disetorkan ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP), seperti uang leges, pencatatan redaksi, legaslisasi dan lain-lain. Tidak terkecuali, putusan penetapan pengadilan, pencatatan banding, kasasi, PK, dan pendaftaran surat kuasa.
Uang pihak ketiga
Menurut Soeparno, selain hak kepaniteraan yang disetorkan sebagai PNBP, seperti diatur dalam PP No 26 tahun 1999, dana pihak ketiga yang lain, seperti disebut di atas, bukan merupakan uang negara.
Karena itu, uang pihak ketiga ini tidak dapat diperiksa oleh Irjen dan BPK. Uang pihak ketiga ini hanya dapat diperiksa oleh ketua pengadilan sebagai atasan langsung, pengadilan tinggi, dan MA.
Karena dana itu tidak ada dalam anggaran dan tidak dapat diaudit, LeIP dalam penelitiannya mengenai pengelolaan keuangan lembaga peradilan, merekomendasikan agar uang perkara pengadilan harus dimasukkan dalam laporan kerja tahunan setiap unit pengadilan. Saat ini, MA telah membuat laporan tahunan. Namun, yang dibikin hanya neraca akhirnya dan tidak ada perincian atau keterangan lebih lanjut.
LeIP juga merekomendasikan agar uang pihak ketiga itu diaudit oleh pihak lain, selain internal MA. Ada dua alternatif, yaitu pihak MA memperbolehkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit uang perkara di pengadilan termasuk MA. Atau, MA menunjuk auditor independen untuk melakukan audit. Saat ini, audit dilakukan oleh MA dan hakim pengawas pengadilan tinggi.