Lembaga Antikorupsi di Era Orde Baru
Senjakala Lembaga Antikorupsi di Indonesia

Lembaga Antikorupsi di Era Orde Baru

UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi lahir pada era Orde Baru. Rekomendasi lembaga yang dibentuk bergantung pada political will pemegang kekuasaan.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Surat diplomatik bersifat rahasia bertajuk ‘Indonesia After Soekarno’ bertarikh 22 Mei 1967, mengungkap tentang janji Soeharto untuk menangani korupsi yang diduga merajalela di era presiden sebelumnya. Penangkapan 15 menteri tak semata-mata atas dugaan keterlibatan mereka dalam peristiwa Gerakan 30 September, tetapi juga karena kehidupan sebagian dari pejabat bermewah-mewah. Peradilan atas eks Gubernur Indonesia, Jusuf Muda Dalam, mengungkap sisi kelam keuangan negara dan praktik korupsi di pemerintahan.

 

Untuk mencegah dugaan korupsi itu, pada awalnya ada upaya yang menjanjikan. Selaku Menteri Panglima Angkatan Darat dan Wakil Perdana Menteri Bidang Pertahanan dan Keamanan, Soeharto membentuk Tim Pengawasan Keuangan Negara (Pekuneg) pada 30 April 1966. Dipimpin Mayjend Suryo, Tim ini menaruh perhatian pada pencegahan korupsi.

 

Dilantik sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia pada Maret 1967, Soeharto harus mengatasi krisis ekonomi, politik, dan pemulihan keamanan. Korupsi juga menjadi salah satu yang menjadi perhatiannya seperti tertuang dalam pidato kenegaraannya pada 16 Agustus 1967. Soeharto mengkritik Orde Lama yang dia sebut tidak mampu memberantas korupsi. Sebagai tindak lanjut pidato itu, Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 228 Tahun 1967. Ketua TPK adalah Jaksa Agung. Penasehatnya Menteri Kehakiman, Kapolri, dan semua Kepala Staf Angkatan.

 

Penunjukan Jaksa Agung tak lepas dari perubahan kebijakan setelah lahirnya UU No. 15 Tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. Dalam peraturan ini, Jaksa Agung adalah bagian dari eksekutif. Ini berbeda dari periode 1945-1959 yang menempatkan Jaksa Agung pada Mahkamah Agung.

 

Ekspektasi masyarakat terhadap pemberantasan korupsi di era Orde Baru tak lepas dari pesimisme terhadap efektivitas UU No. 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Yudi Kristiana, seorang jaksa yang pernah bertugas di KPK, menuliskan dalam bukunya, Independensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi (2006), alasan-alasan tidak efektifnya UU Darurat dimaksud. Pertama, tidak adanya kesebandingan antara jumlah kasus yang ditemukan masyarakat dan jumlah yang diselesaikan melalui pengadilan. Kedua, perkara yang sampai ke pengadilan umumnya hanya berskala kecil, baik pelaku maupun jumlahnya. Sementara dugaan korupsi para pejabat cenderung tidak jelas ujung pangkal penanganannya. Ketiga, dugaan korupsi yang dilakukan pejabat pemerintah dan kejaksaan sangat bergantung pada political will Pemerintah.

 

Maka, ketika Presiden Soeharto menjanjikan pemberantasan korupsi, legislatif memberikan dukungan besar. Hasilnya antara lain pembentukan UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun sebelum Undang-Undang ini lahir Soeharto lebih dahulu membentuk TPK yang bertugas membantu pemerintah untuk memberantas korupsi secepat-cepatnya dan setertib-tertibnya. Tim ini berwenang melakukan tindakan preventif (seperti memberikan saran atas tindakan administratif), dan represif (seperti membawa tersangka ke pengadilan).

 

Baca:

 

Dari TPK ke Komisi Empat

Koran Merdeka edisi 4 Januari 1970 memuat berita ‘keberhasilan’ yang dicapai TPK setelah dua tahun berdiri. Tim berhasil menyelesaikan 177 kasus korupsi, dan 144 di antaranya sudah dilimpahkan ke pengadilan. Sisanya, 37 kasus sedang dalam proses. Kasus yang berhasil diungkap antara lain dugaan korupsi senilai Rp4,8 miliar yang dilakukan Siswadji, Deputi Kapolri, beserta beberapa perwira Polri yang bertugas di bagian keuangan; dugaan korupsi di Bulog yang menyerat nama Budiadji, dan kasus korupsi senilai 14 miliar yang melibatkan Endang Widjaja, petinggi PT Jawa Building.

 

Namun kerja Tim yang dipimpin Jaksa Agung Sugih Arto (1966-1973) ini juga relatif tak bertaji ketika berhadapan dengan penyelenggara negara tingkat atas. Selain karena sibuk mengurus tugas lain Kejaksaan, Jaksa Agung adalah bawahan presiden. Dukungan politik untuk memeriksa korupsi pejabat negara lebih tinggi sulit diperoleh Tim. Apalagi jika sudah menyangkut petinggi militer yang menduduki jabatan di perusahaan-perusahaan pelat merah seperti di Pertamina.

 

Akhirnya, Presiden Soeharto membentuk Komisi Empat pada penghujung Januari 1970. Namun patut dicatat bahwa meskipun ada tim dan Komisi, Soeharto pada dasarnya tetap membiarkan adanya Operasi Penertiban (Opstib), bahkan mampu menunjukkan taringnya pada 1977 ketika Presiden Soeharto menerbitkan Inpres No. 9 Tahun 1977 tentang Operasi Tertib. Isi Inpres ini mengafirmasi keinginan untuk memberantas korupsi, setidaknya demikian yang bisa ditangkap dari semangat Inpres. Buku ‘Politik Hukum Pemberantasan Korupsi Tiga Zaman (2010), yang diterbitkan Masyarakat Transparansi Indonesia, menyebutkan Opstib yang diaktifkan kembali oleh Soeharto melalui Keppres No. 228 Tahun 1967 akhirnya menjadi lembaga yang sangat berkuas.

 

Sementara, Komisi Empat dibentuk melalui Keppres No. 12 Tahun 1970. Wilopo (1908-1981) menjadi Ketua Komisi, dibantu IJ Kasimo (1900-1986), Prof. Johannes, Anwar Tjokroaminoto. Sesuai Keppres No. 13 Tahun 1970, mantan Wakil Presiden M. Hatta menjadi penasehat. Tugas Hatta adalah memberikan pertimbangan kepada presiden hal-hal yang berhubungan dengan pemberantasan korupsi; dan memberikan saran-saran kepada Komisi Empat untuk kelancaran tugas.

 

Sesuai dasar pembentukannya, Komisi Empat diberikan dua tugas utama. Pertama, mengadakan penelitian dan penilaian atas kebijakan dan hasil-hasil yang telah dicapai  dalam pemberantasan korupsi. Kedua, memberikan pertimbangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan yang masih diperlukan dalam pemberantasan korupsi.

 

Komisi ini memang memberikan saran kepada Presiden, tetapi tidak punya kewenangan untuk melakukan penindakan terhadap pelaku korupsi. Bahkan usulan Komisi Empat kepada Presiden juga tak ditindaklanjuti. Yang terjadi kemudian adalah pembubaran Komisi Empat pada Juli 1970, melalui Keppres No. 50 Tahun 1970. Ini berarti Komisi Empat hanya berumur sekitar tujuh bulan.

 

Apa sebenarnya rekomendasi Komisi Empat? Apakah menyerempet penguasa tinggi sehingga Komisi ini dibubarkan? Rekomendasinya dapat dilihat pada Pidato Kenegaraan Presiden pada 16 Agustus 1970. Perihal sebab-sebab korupsi, Komisi Empat menyampaikan beberapa hal. Korupsi mungkin terjadi karena gaji yang rendah sehingga tidak mencukupi; ada penyalahgunaan kesempatan dan menyalahgunakan kekuasaan untuk tujuan memperkaya diri; dan meningkatnya kegiatan ekonomi pembangunan sehingga banyak proyek yang dapat dikorupsi.

 

Dalam bidang penindakan, Komisi Empat menyarankan setidaknya tiga hal: penuntut umum diminta sigap memberantas korupsi; penyempurnaan Tim Pemberantasan Korupsi; dan memprioritaskan penanganan beberapa kasus korupsi seperti perkara CV Waringin, PT Mantrust, korupsi di Telkom, Kementerian Agama, dan perkara korupsi Coopa, sebuah perusahaan pemasok pupuk untuk program Bimas Gotong Royong. Secara khusus, Komisi Empat juga meminta pemerintah menaruh perhatian pada kasus Pertamina, ketidakberesan administrasi yang menyebabkan kerugtian negara di Bulog dan masalah perkayuan.

 

Rekomendasi Komisi Empat untuk pencegahan tak jauh beda dengan apa yang sampai kini terus digalakkan. Misalnya, penyempurnaan struktur dan prosedur administrasi negara, atau yang kini dikenal reformasi birokrasi; penyempurnaan dan pengawasan atas pengadaan barang/jasa; larangan menerima retur komisi; inventarisasi kekayaan negara yang kini disebut penataan asset; dan memperkuat pengawasan.

 

Disertasi Vishnu Jowono yang kemudian dibukukan, menguraikan kemungkinan penyebab Komisi Empat dibubarkan. Rekomendasi Komisi sudah lebih dahulu dibocorkan media, sehingga dianggap mempermalukan Presiden Soeharto. Padahal, laporan Komisi Empat dianggap sebagai laporan berkualitas tinggi terkait tata kelola pemerintahan dan pemberantasan korupsi. Presiden diduga enggan mendukung rekomendasi Komisi Empat.

 

Baca:

 

Meskipun demikian, pengesahan UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi patut dicatat sebagai salah satu keberhasilan era Orde Baru. Berisi 37 pasal, Undang-Undang ini disahkan dan diundangkan pada 29 Maret 1971. Undang-Undang baru ini juga mencabut UU No. 24 Prp Tahun 1960. Jika sebelumnya korupsi lebih dikaitkan dengan pelanggaran lain, dalam UU No. 3 Tahun 1971 korupsi tegas dikualifikasi sebagai kejahatan. Penjelasan Pasal 1 menyebutkan tindak pidana korupsi pada umumnya memuat aktivitas manifestasi dari perbuatan korupsi. Dalam arti luas, aktivitas itu mempergunakan kekuasaan atau pengaruh yang melekat pada seorang pagawai negeri atau kedudukan istimewa seseorang dalam jabatan umum yang tidak patut atau menguntungkan diri atau orang yang menyuap.

 

Upaya pemberantasan korupsi melalui Pekuneg dan TPK bersifat selektif, hanya menyasar kasus korupsi yang terjadi pada era Orde Lama. Itu tampak ketika mahasiswa dan akademisi dari Universitas Indonesia membentuk Komite Anti-Korupsi. Mereka menjadi bagian dan kelanjutan dari Gugus Tugas UI yang melakukan studi pada 1968 untuk menyederhanakan birokrasi demi mengurangi korupsi. Civitas akademika menjadi makin kritis terhadap Presiden Soeharto. Pertemuan mahasiswa dengan Soeharto tak banyak membuahkan hasil. Keinginan mahasiswa agar pemerintah membersihkan diri dan lingkungannya ter terwujud, sehingga menjelang Pemilu 1971 muncul gerakan Golongan Putih (Golput). Mahasiswa juga meneriakkan dugaan korupsi dalam pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. Gerakan mahasiswa diberangus lewat Opstib.

 

Andi Hamzah, seorang ahli hukum pidana, mencatat dalam bukunya, Korupsi di Indonesia: Masalah dan Pemecahannya (1986), sebenarnya ada beberapa perkara korupsi yang ditangani selama periode 1971-1981. Antara lain perkara Robby Tjahjadi, Abu Kiswo, Letjen Siswadji, Budiadji, Liem Keng Eng, dan Endang Widjaja. Adapula kasus korupsi hakim JZL di Pengadilan Negeri Surabaya, dan hakim HG di PN Jakarta Pusat.

 

Tuntutan pemberantasan korupsi terus bergema. Pada 1982, Presiden Soeharto kembali menghidupkan Tim Pemberantasan Korupsi. Nama tim sama dengan yang dibentuk pada awal-awal kekuasaannya. Tim ini beranggotakan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara JB Sumarlin, Pangkopkamtib Soedomo, Ketua Mahkamah Agung Mudjono (1981-1984), Menteri Kehakiman Ali Said, Jaksa Agung Ismail Saleh (1981-1984), dan Kapolri Awaluddin Djamin. Namun kiprah TPK jilid dua ini tak jelas, sama tidak jelasnya dengan dasar hukum pembentukannya.

 

Beberapa upaya pemberantasan korupsi dilakukan melalui Opstib. Tetapi karena inner circle tak pernah dibersihkan, korupsi terus menggerogoti kekuasaan. Pada 1998, gerakan massif mahasiswa tak lagi bisa dibendung. Soeharto menyatakan mundur setelah 32 tahun berkuasa. Peralihan inilah yang kemudian melahirkan era reformasi. Tuntutan mahasiswa bukan hanya meminta Soeharto turun dari jabatannya, tetapi juga meminta ada proses peradilan terhadap presiden kedua itu beserta keluarganya sebagaimana dituangkan dalam Ketetapan Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR).

 

Baharuddin Lopa, kelak menjadi Jaksa Agung, pernah menulis sebuah artikel di harian Kompas edisi 21 Juli 1997. “Saya perlu tekankan ini, sebab betapapun sempurnanya peraturan, kalau niat untuk korup tetap ada di hati yang memiliki peluang untuk melakukan perbuatan tidak terpuji tersebut, korupsi akan tetap terjadi”.

Tags:

Berita Terkait