Lemahnya Bukti, Gugatan Sengketa Pileg Banyak Ditolak
Berita

Lemahnya Bukti, Gugatan Sengketa Pileg Banyak Ditolak

Hadapi Pilpres, MK ingatkan penyelenggara pemilu terkait wilayah kecurangan pemilu.

ASH
Bacaan 2 Menit
Ketua MK Hamdan Zoelva. Foto: RES
Ketua MK Hamdan Zoelva. Foto: RES
Salah satu sebab ditolaknya sebagian besar permohonan perselisihan hasil pemilu legislatif lantaran umumnya alat bukti yang diajukan lemah. Selain itu, ketidaksiapan partai politik dan calon anggota DPD dalam menyusun strategi pembuktian disinyalir menjadi faktor ditolak permohonannya.   

“Kita melihat tidak banyak perkara yang dikabulkan MK, ini semata-mata karena soal pembuktian. Para pihak sulit mengajukan bukti-bukti yang benar-benar valid,” kata Hamdan dalam jumpa pers di Gedung MK, Selasa (1/7).

Hamdan mengatakan MK mengadili perkara berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan dengan menilai bukti dokumen yang diajukan dan saksi-saksi yang didengar. “Tetapi karena para pihak sulit mengajukan bukti yang benar-benar absah, MK banyak menolak perkara dan hanya 23 perkara yang dikabulkan atau sekitar 2,3 persen dari 903 perkara yang masuk,” kata Hamdan.

Dia menyadari keluhan sejumlah kuasa hukum pemohon yang mempersoalkan pembatasan pengajuan saksi yang hanya 3 orang. Pihaknya juga sudah menghitung secara keseluruhan alokasi waktu penyelesaian sengketa hasil pileg termasuk pembatasan maksimal 3 saksi.

“Kalau saksi dibebaskan tidak MK akan mampu menyelesaikan sengketa pileg dalam waktu 30 hari kerja dengan 900-an perkara. Ini saja sudah mentok. Kita mengucapkan putusan saja 3 hari penuh, bahkan hingga pukul 02.30 WIB. Banyaknya perkara yang diajukan dan waktu yg hanya 30 hari kami hrs mengambil putusan itu,” katanya.

“Dari putusan 23 perkara yang dikabulkan, 13 perkara diperintahkan penghitungan suara ulang dan 10 perkara berupa penetapan perolehan suara yang benar. Jadi totalnya 23 perkara di 15 provinsi. MK juga sangat terbantu oleh banyaknya rekomdasi Bawaslu atau Panwaslu yang meminta untuk penghitungan suara ulang di temnpat-tempat yang ditemukan ada masalah, ini ada banyak sekali.”

Misalnya, putusan penetapan perolehan suara yang diajukan Partai Golkar untuk kursi DPRA Provinsi Aceh pada dapil Aceh 9, PPP untuk kursi DPRA Provinsi Aceh pada dapil Aceh 5, PAN untuk kursi DPRK Kabupaten Aceh Barat pada dapil Aceh Barat 3, PBB untuk kursi DPRK Kabupaten Aceh Barat  Daya pada dapil Aceh Barat Daya 1, PAN untuk kursi DPRD Kabupaten Pesawaran pada dapil Pesawaran 5 di Provinsi Lampung.

Putusan perintah penghitungan ulang, seperti perkara yang diajukan PKS, Partai Demokrat dan Partai Nasdem untuk kursi DPR RI pada dapil Maluku Utara 1 di Provinsi Maluku Utara; PPP untuk kursi DPR RI pada dapil Sumatera Selatatan 1 di Provinsi Sumatera Selatan; PDIP untuk kursi DPRD Provinsi pada dapil Sulawesi Tenggara  1 di Provinsi Sulawesi Tenggara; perseorangan calon anggota DPD atas nama La Ode Salimin pada dapil Kota Tual di Provinsi Maluku.

Sebelumnya, Koordinator Kuasa Hukum KPU, Ali Nurdin menilai sejauh ini prinsip pembuktian yang dilakukan MK sudah berada dalam track yang benar. “Kalau bukti-bukti yang diajukan tidak relevan pasti akan ditolak, permohonan pemohon tidak menguraikan dengan jelas kesalahan perhitungan termohon tidak dapat diterima,” kata Ali Nurdin di Gedung MK, Senin (30/6) kemarin.

Soal adanya kebijakan pembatasan saksi, Ali memahami kebijakan MK mengingat keterbatasan waktu yang diberikan hanya 30 hari harus sudah diputuskan. Meski begitu, dia melihat MK cukup jeli bukan semata memperhatikan pada bukti saksi, tetapi juga melihat alat bukti lain. “Pokok sengketa kan hanya pada perolehan suara yang intinya ada di formulir C-1, ketika ada keberatan pemohon, maka harus dikonfirmasi ke formulir C-1. Kalau C-1 tidak relevan ya tidak bisa.”  

Rawan pelanggaran
Hamdan mengungkapkan berdasarkan catatan MK ada beberapa area yang rawan terjadinya pelanggaran pemilu yaitu tingkat desa/kelurahan dan kecamatan. Berdasarkan hasil sidang perkara di MK, peluang kecurangan paling banyak terjadi saat tingkat pengitungan suara di tingkat desa kelurahan dan kecamatan.

“Ini perlu menjadi perhatian khusus bagi penyelenggara pemilu untuk memperbaiki mekanisme kerjanya dalam rangka menghadapi Pilpres 9 Juli yang akan datang,” ujarnya mengingatkan.  

MK sendiri mengakui selain persoalan penyelenggara, pemilu legislatif itu termasuk pemilu yang sangat rumit. Fakta menunjukkan ternyata kesalahan itu tidak melulu disebabkan karena kesengajaan, tetapi seringkali karena kesalahan manusiawi. Seperti, kesalahan menjumlah angka, salah menemparkan angka juga banyak.

“Kenapa? ternyata menyalin angka dari formulir yang ada di C-1 plano (rekap ukuran besar) ke dalam form resmi C-1 KPU itu tidak mudah. Setidaknya, butuh waktu 2 jam. Itu juga problem tersendiri jadinya gugatanya banyak ditolak. Ada juga kesalahan yang disengaja menambahkan atau mengurangi suara,” ungkapnya.
Tags:

Berita Terkait