Mahkamah Konstitusi (MK) masih menangani permohonan pengujian materil terhadap Pasal 169 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur persyaratan calon Presiden dan calon Wakil Presiden (Capres-Cawapres). Antara lain perkara No.102/PUU-XXI/2023, dan 104/PUU-XXI/2023. Dalam pembacaan putusan perkara 102/PUU-XXI/2023, mahkamah mengurai berbagai pertimbangan hukumnya.
Hakim konstitusi Daniel Yusmic P Foekh, mengatakan pemohon mempersoalkan pemaknaan Pasal 169 huruf d UU 7/2017 yakni frasa “tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya.” Pemohon menilai frasa itu tidak mengatur jelas dan rinci mengenai tindak pidana berat lainnya yang ada dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Frasa itu dianggap pemohon menimbulkan kekaburan norma sehingga menyebabkan tidak terpenuhinya asas kepastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 7A, 28D ayat (1), 28G ayat (1) dan ayat (2), serta pasal 28l ayat (1), (4), dan (5) UUD 1945.
Yusmic mengatakan petitum pemohon yang menghendaki perluasan makna Pasal 169 huruf d UU 7/2017 membuat redudansi pada ketentuan tersebut yang berdampak pada adanya pengulangan makna yang cenderung ada keragu-raguan. Bahkan mempersempit norma dasar yang secara natural terdapat dalam pasal tersebut.
“Frasa ‘tindak pidana berat lainnya’ dalam norma Pasal 169 huruf d UU 7/2017 telah mencakup makna yang sangat luas yakni semua jenis tindak pidana termasuk pidana yang dimaksudkan pemohon,” katanya membacakan pertimbangan putusan No.102/PUU-XXI/2023 di Gedung MK, Senin (23/10/2023).
Baca juga:
- Kehilangan Objek, 3 Permohonan Syarat Usia Capres-Cawapres Kandas di MK
- MK Buka 2 Pintu Masuk Syarat Usia Capres-Cawapres Pemilu 2024
- Prof Saldi Isra Beberkan Misteri Putusan Syarat Usia Capres-Cawapres
- Hakim Konstitusi Arief Hidayat: 3 Kosmologi Negatif Pengujian Syarat Usia Capres-Cawapres
Keinginan pemohon memperluas pemaknaan Pasal 169 huruf d UU 7/2017 menurut Yusmic melemahkan kepastian hukum yang sudah ada dan melekat pada norma yang bersangkutan. Apalagi dalih pemohon tanpa memberikan penegasan apakah jenis tindak pidana berat yang dimasukan dalam ketentuan itu cukup dengan anggapan, asumsi, dugaan, telah ada penyelidikan, penyidikan atau bahkan ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Akibatnya akan menambah kerumitan ketika norma itu diterapkan.