Legenda Audio “Harman” Gugat Pengusaha Indonesia
Berita

Legenda Audio “Harman” Gugat Pengusaha Indonesia

Pengusaha Indonesia mendaftar lebih dulu. Permohonan pendaftaran Harman telah diproses selama enam tahun.

HRS
Bacaan 2 Menit
Legenda Audio “Harman” Gugat Pengusaha Indonesia
Hukumonline

Sebuah perusahaan yang berkedudukan di Stanford, Amerika Serikat menggugat pengusaha Indonesia. Adalah Harman International Industries yang menggugat Djohan Lily di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Harman International menggugat lantaran Djohan Lily menggunakan merek yang sangat mirip dengan merek milik perusahaanasal Amerika Serikat itu. Merek yang diperebutkan adalah dbx. Menurut Harman International, merek dbx milik penggugat adalah sebuah merek yang telah dikenal masyarakat di dunia.

Keterkenalan ini terbukti dengan telah digunakannya produk audio merek dbx di 25 juta mobil di seluruh dunia. Pencapaian ini dapat terjadi karena kerja keras perusahaan dalam mempromosikan produk-produk perusahaan selama lebih dari 40 tahun. Sehingga, nilai penjualan perusahaan mencapai AS$4,3 miliar pada akhir 2012.

Keterkenalan juga ditunjukkan dengan mesin pencari google. Ada 13 juta kata yang ditemukan untuk kata dbx dan kata tersebut merujuk ke produk merek penggugat. Lebih lagi, kualitas produk ini juga diakui di mata internasional. Terbukti dari berbagai penghargaan yang diterima perusahaan, salah satunya dari majalah ProSoundNetwork.com sebagai Best of Show Awards for Personal Monitor Controller 2013.

Seiring perkembangan, perusahaan yang didirikan Sidney Harman, seorang legenda audio, ini berkeinginan untuk mengajukan permohonan pendaftaran merek dbx di Indonesia. Permohonan pendaftaran telah dimohonkan sejak 7 November 2007 lalu. Akan tetapi, perusahaan baru mengetahui ada merek ‘dBX’milik Djohan Lily yang telah terdaftar lebih dulu di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual pada 5 Januari 2006.

Perusahaan yang telah didirikan sejak 1971 ini sangat keberatan dengan pendaftaran tersebut. Menurutnya, Djohan Lily memiliki iktikad tidak baik ketika mendaftarkan merek dBX. Iktikad buruk itu tercermin dari kemiripan kedua merek yang terletak pada persamaan unsur esensial, persamaan bunyi, dan persamaan jenis barang.

Unsur esensial milik penggugat adalah d-b-x. Begitu juga dengan merek milik Djohan Lily. Kedua merek ini terdaftar di kelas barang yang sama, yaitu kelas 9. Sehingga, kemiripan ini dapat menyesatkan konsumen.

Lebih lagi, dbx adalah sebuah kata yang tidak memiliki arti dan tidak terdapat dalam kamus bahasa Indonesia. “Sehingga, dapat ditengarai kalau tergugat memiliki iktikad tidak baik,” tulis kuasa hukum Harman International, Adolf M.Pangaribuan dalam berkas gugatannya.

Menanggapi gugatan perusahaan asal Amerika Serikat ini, Erna R Kisworo menolak tegas dituding ingin mendompleng keterkenalan merek dbx milik Harman International. Berpegang dengan prinsip first to file, Erna mengatakan merek dBX milik Djohan Lily telah terdaftar lebih dulu daripada milik Harman International.

Saat pendaftaran tersebut, Djohan Lily juga sama sekali tidak mengetahui keeksisan merek milik penggugat. Tampikan ini diperkuat dengan makna dBX milik kliennya. Merek tersebut memiliki arti dari singkatan nama tergugat dan istri tergugat, yaitu Djohan Lily dan Brigitta, sedangkan X adalah singkatan dari Ekstrim. Selain itu, dB merupakan lambang internasional untuk satuan pengukuran intensitas suara, yaitu desibel.

“Mensomir penggugat untuk membuktikan bahwa tergugat mengetahui merek penggugat dan membonceng merek penggugat,” tulis kuasa hukum Djohan Lily, Erna R Kisworo dalam jawabannya.

Lebih lagi, jenis barang kedua merek itu berbeda. Barang di kelas barang 9 milik tergugat untuk melindungi barang-barang di antaranya seperti pesawat-pesawat, tape recorder, laser video, walkman, dan disket. Sedangkan merek milik penggugat adalah untuk barang-barang pengolah digital multiband, sistem pengendali pengeras suara, dan pemutar audio dan video.

Erna juga menolak dikatakan merek milik kliennya memiliki persamaan pada pokoknya karena ada perbedaan dalam penulisan. Merek milik penggugat ditulis dalam huruf kecil semua sedangkan merek milik Djohan Lily ditulis  dengan 1 huruf kecil dan 2 huruf kapital. Juga, beda dalam pengucapan. Untuk merek penggugat, pengucapannya adalah di-bi-ex karena penggugat menggunakan bahasa Inggris sedangkan pengucapan merek milik kliennya adalah de-be-ex sesuai dengan bahasa Indonesia.

Erna juga tidak langsung mengakui merek penggugat adalah merek terkenal. Tidak bisa terdaftarnya di banyak negara langsung diklaim sebagai merek terkenal. Patokan untuk mengetahui pengetahuan masyarakat haruslah melalui survei dari lembaga yang mandiri. Kalau tidak, klaim terkenal atau tidaknya suatu merek menjadi penilaian yang subjektif.

Ketika para wartawan hendak mengkonfirmasi gugatan ini, para kuasa hukum tidak mau berkomentar, Kamis (18/10).

Tags:

Berita Terkait