Legaltech Sebuah Solusi Pembentukan Hukum yang Lebih Adaptif
Terbaru

Legaltech Sebuah Solusi Pembentukan Hukum yang Lebih Adaptif

Legaltech bisa menghindari berbagai masalah perancangan undang-undang terutama untuk menjamin harmonisasi. Menghasilkan teori baru yang melihat legaltech sebagai teori dan cabang keilmuan hukum.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 3 Menit

Disertasi Rahmat mengulas mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia belum progresif mengarah pada pemanfaatan legaltech. Secara normatif, UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak mengatur secara normatif pemanfaatan legaltech. Padahal, legaltech bisa menghindari berbagai masalah perancangan undang-undang terutama untuk menjamin harmonisasi.

Rahmat merujuk contoh kasus perancangan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah puluhan undang-undang dengan ribuan pasal. Meski berhasil disahkan dengan terobosan metode omnibus law, banyak keluhan atas prosedur pembuatan yang meragukan. Mahkamah Konstitusi (MK) bahkan mengakui ada masalah (cacat) formil dalam perancangannya, sehingga dinyatakan tidak konstitusional.

Penelitian disertasi ini menemukan teknologi hukum dalam perancangan peraturan perundang-undangan bisa dengan menciptakan aplikasi e-legal drafting. Program kecerdasan buatan ini bisa diisi informasi digital segala asas, prinsip, doktrin, filsafat hukum, teori hukum, serta metode sinkronisasi dan harmonisasi hukum seperti metode omnibus law.

“Teknologi hukum diharapkan bisa menjadi satu loncatan jauh untuk mencapai konsep ideal harmonisasi semua regulasi,” kata Rahmat.

Legaltech Sebagai Cabang Keilmuan Hukum

Secara konseptual, Rahmat juga menyusun satu teori yang diadaptasi dari teori hukum siber yang disebut Lex Informatica. Teori kontemporer itu menyatakan keberadaan seperangkat aturan untuk arus informasi yang berlaku akibat teknologi dan jaringan komunikasi. Artinya, kegiatan di dunia siber yang dipenuhi penerapan teknologi menghasilkan hukum tersendiri. Asas, kebiasaan, dan norma yang mengatur ruang siber lebih dipengaruhi oleh teknologi tanpa mengenal batas yurisdiksi. Lex Informatica mengasumsikan aturan-aturan yang dibentuk oleh penerapan teknologi bisa menjadi solusi masalah pembentukan regulasi.

Teori itu lalu diadaptasi Rahmat untuk menyusun teori legaltech/teknologi hukum versinya sendiri. Konseptualisasi teori teknologi hukum oleh Rahmat ialah legaltech/teknologi hukum sebagai cabang keilmuan hukum. Isinya mempelajari perkembangan teknologi yang dapat atau telah mengubah kaidah, asas dan/atau prinsip-prinsip hukum serta penggunaannya untuk pembangunan sistem hukum dalam mencapai tujuan hukum. Bisa dikatakan teori teknologi hukum ini adalah kebaruan yang dihasilkan disertasi Rahmat.

Teori ini melihat legaltech/teknologi hukum tidak sebatas sebagai produk teknologi terkait layanan hukum, namun juga kerangka berpikir sebagai cabang keilmuan hukum. “Tujuan disertasi ini untuk membantu hukum mencapai tujuan tertingginya yaitu keadilan,” kata Rahmat menutup presentasinya pada sidang promosi doktor ini. Ia menyarankan teknologi hukum menjadi paradigma utama dalam proses pembentukan hukum mulai dari dunia pendidikan tinggi hukum hingga praktik legislasi oleh legislator.

Tags:

Berita Terkait