Legalitas Virtual Currency dan Risiko Penggunaannya dalam Pendanaan Terorisme
Kolom

Legalitas Virtual Currency dan Risiko Penggunaannya dalam Pendanaan Terorisme

Selama pemerintah Indonesia tidak mengakui adanya Bitcoin, maka penerapan Know Your Customer tidak ada artinya sepanjang belum diatur oleh pihak yang berwenang di Indonesia.

Bacaan 2 Menit
Juwita Patty Pasaribu. Foto: Istimewa
Juwita Patty Pasaribu. Foto: Istimewa

Pada saat ini telah berkembang alat pembayaran baru (New Payment Method-NPM) yang meliputi penggunaan jasa pembayaran berbasis internet (Internet-Based Payment Services), seperti virtual currency,termasuk Bitcoin.[1] Berdasarkan laporan dari Financial Action Task Force (FATF) pada tahun 2014, virtual currency adalah:[2]

 

is a digital representation of value that can be digitally traded and functions as: (1) a medium of exchange; and/or (2) a unit of account; and/or (3) a store of value, but does not have legal tender status (i.e., when tendered to a creditor, is a valid and legal offer of payment) in any jurisdiction. It is neither issued nor guaranteed by any jurisdiction, and fulfils the above functions only by agreement within the community of users. Virtual currency is distinguished from fiat currency. It is also distinct from e-money, which is a digital representation of fiat currency used to electronically transfer value denominated in fiat currency.

 

Pengertian di atas berbeda dengan pengertian yang dijelaskan oleh The European Central Bank (ECB) pada 2012, yang mengartikan virtual currency “as a type of unregulated, digital money, which is issued and usually controlled by its developers, and used and accepted among the members of a specific virtual community.”[3]

 

Sedangkan berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran, pengertian virtual currency adalah:uang digital yang diterbitkan oleh pihak selain otoritas moneter yang diperoleh dengan cara mining, pembelian, atau transfer pemberian (reward) antara lain Bitcoin, BlackCoin, Dash, Dogecoin, Litecoin, Namecoin, Nxt, Peercoin, Primecoin, Ripple, dan Ven. Tidak termasuk dalam pengertian virtual currency adalah uang elektronik.

 

Contoh dari virtual currency adalah termasuk Bitcoin, Litecoin, Stellar, dll. Saat ini diperkirakan sekitar 1568 skema virtual currency beredar di publik. Banyak skema virtual currency beredar dalam jangka waktu yang singkat dan kemudian hilang.[4] Penggunaan virtual currency sebagai metode pembayaran telah meningkat secara tajam.

 

Dari semua virtual currency yang digunakan, Bitcoin merupakan jenis yang paling banyak diminati oleh para pelaku usaha karena dapat melakukan transaksi dengan cepat tanpa terhalang oleh libur bank-bank nasional dan tidak ada batas negara dalam mengirim dan menerima, serta biaya yang dikeluarkan lebih murah bila dibandingkan dengan transaksi menggunakan penyedia jasa keuangan.

 

Selain itu, Bitcoinmenggunakan teknologi blockchain yang memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada dalam melakukan transaksi, yang tidak terdapat pada industri keuangan. Teknologi blockchain membuat semua transaksi finansial dilakukan dalam sebuah buku besar (ledger) secara digital dan tidak dikelola oleh satu organisasi atau pihak tertentu. Catatan buku besar ini disebarluaskan secara publik dan dikelola oleh ribuan komputer di dunia dalam waktu yang bersamaan, sehingga semua orang dapat mengetahui bahwa suatu transaksi telah terjadi dan tidak ada seorang pun yang dapat melawan fakta tersebut. Hal-hal tersebut menyebabkan Bitcoin menjadi yang paling diminati.[5] 

 

Bitcoin baru dikembangkan pada 2009 oleh seseorang dengan nama samaran Satoshi Nakamoto, sehingga sampai saat ini identitas asli dari penemu Bitcoin tidak pernah diketahui.

 

Bitcoin adalah mata uang virtual web dan merupakan sebuah eksperimen ekonomi yang menarik di mana banyak orang sekarang menggunakannya untuk membeli barang (real item). Secara sederhana, Bitcoin adalah uang tunai di internet, yang tidak memerlukan bank, kartu kredit, biaya, atau kekhawatiran akan pencurian identitas seperti yang marak terjadi di dunia online. Sebagian orang menyebutnya cash for the internet. Bitcoin adalah mata uang peer-to-peer (P2P) digital terbaru yang dapat digunakan untuk menggantikan uang tunai dalam transaksi jual beli online.[6]

 

Tidak seperti mata uang online lainnya yang berhubungan dengan bank dan mengunakan sistem pembayaran seperti PayPal, Bitcoin secara langsung didistribusikan antara pengguna tanpa diperlukan perantara. Bitcoin mengkombinasikan kriptografi dan arsitektur peer-to-peer untuk menghindari pengawasan otoritas keuangan. Dengan demikian, transaksi dengan menggunakan Bitcoin tidak meninggalkan jejak karena tidak perlu melewati lembaga perantara seperti bank.[7]

 

Bitcoin bisa ditransfer ke negara mana saja di dunia jika terhubung dengan internet. Bitcoin akan disimpan ke dalam bitcoin wallet. Aplikasi wallet tersebut harus terpasang (installed) di gawai kedua belah pihak dengan personal computer atau laptop, tablet ataupun smartphone. Setelah memasang aplikasi wallet, maka pengguna akan mendapatkan bitcoin address.[8]

 

Saat ini, penggunaan Bitcoin bebas beroperasi dan telah digunakan oleh banyak negara, baik sebagai komoditas maupun disamakan kedudukannya seperti mata uang dalam melakukan transaksi. Namun, Bitcoin sering disalahgunakan oleh pelaku kejahatan untuk melakukan aksi-aksi kejahatan.

 

Di Indonesia, Bitcoin marak digunakan oleh para pelaku bisnis dalam berinvestasi dan bahkan karena sifatnya yang pseudonym (tidak menggunakan identitas asli) serta terdesentralisasi (tidak ada otoritas keuangan atau pihak ketiga yang mengawasi dan mengontrol transaksi) sehingga sering digunakan oleh pelaku-pelaku kejahatan dalam melakukan tindak pidana. Seperti, pencucian uang (suatu proses di mana hasil tindak pidana kemudian ditransformasi seakan menjadi seperti uang bersih atau dibelikan aset)[9], pendanaan terorisme (memberikan dana untuk kegiatan terorisme)[10], dan tindak pidana lainnya yang menggunakan media Bitcoin dalam bertransaksi. Hal tersebut menjadi permasalahan suatu negara dalam memberantas tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme.[11]

 

Memang belum ada aturan atau standar internasional yang berlaku secara global terkait dengan virtual currency,khususnya Bitcoin. Namun beberapa negara saat ini sedang mencoba untuk mengatur mengenai virtual currency dan ada juga negara lain, seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Jepang, yang sudah mengaturnya.

 

Berdasarkan rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) Nomor 15 diatur bahwa setiap negara diwajibkan untuk membuat aturan yang komprehensif mengenai New Payment Method (NPM) termasuk Internet-Based Payment Services (FATF 2015) dan setiap negara diharuskan menerapkan a risk assessment sebelum mendirikan bisnis terkait teknologi NPM (FATF 2012). Perlunya melihat kebijakan atau aturan yang dibuat oleh negara lain serta rekomendasi FATF adalah untuk mengetahui apa dan bagaimana cara mengatur virtual currency di Indonesia. 

 

Peraturan yang berlaku di Indonesia terkait dengan virtual currency hanyalah bersifat pelarangan, yaitu mengacu kepada Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran. Pada Pasal 34 huruf a Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan bahwa Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) dilarang melakukan pemrosesan transaksi pembayaran dengan menggunakan virtual currency.Dengan kata lain, Bank Indonesia (BI) tidak melarang penggunaan virtual currency, tetapi melarang PJSP yang telah memperoleh izin dari BI untuk memproses transaksi pembayaran dengan menggunakan virtual currency.

 

Adapun virtual currency, khususnya Bitcoin, bukan merupakan alat pembayaran yang sah di Indonesia seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dan BI tidak bertanggung jawab atas risiko yang timbul dari penggunaan virtual currency oleh masyarakat. Peraturan ini tidak mengatur mengenai risiko penggunaan virtual currency dalam tindak pidana pendanaan terorisme serta tindak pidana lainnya yang menggunakan Bitcoin sebagai media transaksi sehingga menjadi celah bagi para teroris dan pelaku kejahatan lainnya dalam melakukan aksi kejahatan mereka.

 

Selain itu, juga telah dikeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Pada Pasal 8 ayat (2) peraturan ini dinyatakan bahwa, “Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara Teknologi Finansial dilarang melakukan kegiatan sistem pembayaran dengan menggunakan virtual currency.” Larangan melakukan kegiatan sistem pembayaran dengan menggunakan virtual currency ini dikarenakan virtual currency bukan merupakan alat pembayaran yang sah di Indonesia.

 

Telah terdapat Bitcoin Exchange di Indonesia yang menjadi pihak intermediaries antara pembeli dan penjual Bitcoin yang dapat melakukan transaksi online melalui situs indodax.com (sebelumnya: bitcoin.co.id) serta memungkinkan seseorang untuk menarik rupiah dari akun bitcoin wallet miliknya.

 

Bitcoin Exchange di Indonesia menyediakan jasa penukaran Bitcoin dalam bentuk rupiah, begitu juga sebaliknya, meskipun belum ada aturan yang mengaturnya sehingga menjadi daya tarik bagi pelaku teroris dan pelaku kajahatan lainnya dalam melakukan pendanaan terorisme dan tindak pidana lainnya. Selain itu, sifatnya yang pseudonym dan borderless transaction menjadi daya tarik tersendiri karena pelaku terorisme dapat mentransfer Bitcoin secara lintas negara dengan mudah dan cepat tanpa dapat dilacak identitasnya.

 

Melihat fakta ini, apabila tidak menjadi perhatian pemerintah dari segi peraturan, maka akan sulit untuk memberantas pendanaan terorisme dan kejahatan lainnya karena mereka dengan leluasa menggunakan jaringan internet yang dipakai oleh Bitcoin Exchange dan websites trading Bitcoin platform untuk melakukan kejahatan dan tidak ada kewajiban bagi Bitcoin Exchange untuk melaporkan setiap transaksi yang mencurigakan serta tidak ada kewajiban untuk menerapkan Know Your Customer (KYC). Sehingga, selama pemerintah Indonesia tidak mengakui adanya Bitcoin, maka penerapan KYC tidak ada artinya sepanjang belum diatur oleh pihak yang berwenang di Indonesia.

 

Sudah ada beberapa kasus yang terjadi di Indonesia terkait dengan penggunaan Bitcoin sebagai alat untuk melakukan kejahatan, yaitu tindak pidana narkotika dan terorisme. Penggunaan Bitcoin untuk melancarkan tindak pidana pendanaan terorisme sudah menjadi perhatian sejak lama oleh para penegak hukum di seluruh dunia. Terlebih lagi sejak adanya pemberontakan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) di Suriah banyak transaksi Bitcoin yang digunakan oleh kelompok ISIS untuk mendanai aksi-aksi terorisme. Bitcoin juga banyak digunakan oleh pelaku terorisme sebagai media transfer untuk mendanai kegiatan terorisme di Indonesia dan mendanai teroris asing yang ingin bergabung dengan ISIS.[12]

 

Contoh kasus terorisme terkait dengan Bitcoin yang sudah diputus oleh Pengadilan Negeri Tangerang pada 2016 adalah atas nama Leopard Wisnu Kumala, tersangka pelaku peledakan bom di Mal Alam Sutera, yang memeras pengelola mal dengan permintaan uang dalam bentuk Bitcoin. Ia mengirim e-mail ke pengelola mal untuk meminta uang sejumlah Rp300 juta dalam bentuk Bitcoin. Oleh karena pengelola mal hanya mengirim sebagian kecil bitcoin ke rekening tersangka kemudian tersangka meledakkan Mal Alam Sutera.

 

Dengan adanya modus seperti itu, maka dikhawatirkan akan menjadi tren ancaman lanjutan dari para pelaku terorisme lainnya dan kemudian hasil dari transfer Bitcoin kepada pelaku terorisme akan digunakan untuk mendanai aksi-aksi terorisme di Indonesia, seperti melakukan pengeboman di wilayah Indonesia atau kegiatan terorisme lainnya. Hal tersebut merupakan mekanisme pendanaan terorisme melalui pengumpulan dana secara self-funded.

 

Baru-baru ini Menteri Perdagangan mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 Tahun 2018 Tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto (Crypto Asset). Dengan adanya aturan tersebut, maka bitcoin dan virtual currency lainnya merupakan komoditi yang layak diperdagangkan sebagai subjek kontrak berjangka Indonesia di Bursa Berjangka. Namun, apakah dengan adanya peraturan tersebut sudah cukup untuk mengatasi keadaan saat ini, di mana pelaku kejahatan menggunakan bitcoin dan virtual currency lainnya untuk melakukan aksi-aksi kejahatannya?

 

Belum adanya peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia terkait dengan virtual currency seperti Bitcoin akan memberikan celah bagi pelaku kejahatan dalam melakukan tindak kejahatan. Pelarangan menggunakan virtual currency di Indonesia hanyalah menimbulkan masalah dan tidak mendukung dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana seperti terorisme dan narkotika.

 

Selain itu, pelarangan Bitcoin di Indonesia menimbulkan kerugian dari segi perekonomian karena investor domestik akan membeli aset digital di luar negeri yang sudah melegalkan transaksi Bitcoin. Akhirnya, banyak aset dalam negeri yang mengalir ke negara lain. Teknologi terus berkembang dan tidak dapat dihindari.

 

Apabila mengacu kepada principle neutrality technology e-commerce yang berlaku secara global, teknologi dapat digunakan untuk tujuan yang berguna maupun untuk melakukan tindak pidana. Artinya, teknologi itu sendiri sifatnya tidak bersalah, yang bersalah adalah individu yang menggunakan teknologi tersebut untuk kegiatan yang ilegal.

 

Dengan demikian, perlu perhatian  pemerintah dari segi pengaturan virtual currency sehingga pemerintah bisa memonitor sekaligus memperoleh data transaksi uang digital yang nantinya dari data tersebut dapat digunakan untuk mencegah dan meminimalisir tindak pidana terorisme dan narkotika serta kejahatan lainnya terkait keuangan. Selain itu, pemerintah juga dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi perkembangan teknologi keuangan di masa mendatang.

 

*)Juwita Patty Pasaribu SH., M.H., adalah Kasubbag TU pada Direktorat TP. Narkotika dan Zat Adiktif Lainnya pada JAM PIDUM, Kejaksaan Agung. Penulis buku “Virtual Currency Dalam Tindak Pidana Pendanaan Terorisme di Indonesia”.

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

[1] Sylvia Windya Laksmi, Terrorism Financing and The Risk of Internet-Based Payment Services in Indonesia, Vol. 9, Issue 2, Februari 2017.

[2] Financial Action Task Force (FATF) Report on Virtual Currencies Key Definitions and Potential AML/CFT Risks, June 2014.

[3] C.f. Virtual Currency Schemes October 2012.

[4] C.f. Roger Ver Q & A “The Most Focused Man In Bitcoin” Talks Comparative Advantage, 7 September 2015.

[5] Allen & Overy, Virtual Currencies Mining the Possibilities, 2015.

[6] Tarandeep Bains,Bitcoin Digital Currency: A Portend for India’s National Security, CLAWS Journal, 2015.

[7] Satoshi Nakamoto, loc.cit.

[8] Allen & Overy, op.cit., hlm. 4.

[9] Angela S.M. Irwin dkk.,Money Laundering and Terrorism Financing in Virtual Environments: A Feasibility Study, Journal of Money Laundering Control, Vol. 17 No. 1, 2014.

[10] Ibid.

[11] Diana Mergenovna Sat dkk.,Investigation of Money Laundering Methods Through Cryptocurrency, Journal of Theoretical and Applied Information Technology 20th, January 2016, Vol. 83 No. 2.

[12] Informan dari Mr. X (anggota Densus 88 Anti Teror)

Tags:

Berita Terkait