Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang berproses di DPR banyak dikritik kalangan masyarakat sipil termasuk akademisi. Kendati demikian DPR maupun pemerintah masih bergeming.
Ketua Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya (Persada UB), Fachrizal Afandi, mengatakan banyak hal yang perlu dicermati dalam substansi RUU Polri. Ketentuan yang diatur dalam RUU tak sekedar berdampak terhadap institusi Polri tapi juga hukum acara pidana.
Proses revisi UU 2/2002 dan revisi UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI yang dilakukan setelah perhelatan pemilu 2024 terlihat buru-buru. Ada indikasi bakal dikebut sebelum masa jabatan DPR, Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024 berakhir Oktober 2024. Pembahasan RUU yang dilakukan secara terburu-buru itu menimbulkan trauma bagi masyarakat, karena hasilnya jauh dari harapan masyarakat.
Seperti yang terjadi dalam proses pembahasan RUU KPK tahun 2019 yang ujungnya lembaga anti rasuah itu tak efektif lagi memberantas korupsi karena terlilit masalah internal. Pembahasan RUU Polri dan RUU TNI situasinya mirip seperti revisi UU KPK yang dilakukan pada masa peralihan masa jabatan DPR, Presiden dan Wakil Presiden 2014-2019.
Baca juga:
- Guru Besar Hukum FH Universitas Al-Azhar Indonesia Sorot 3 Pasal RUU Polri
- Pembahasan RUU Polri dan RUU TNI Jangan Terburu-buru
- RUU Polri Beri Kewenangan Sangat Luas, tapi Minim Pengawasan
Tak masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tapi bisa masuk dan terkesan dibahas buru-buru. Padahal banyak pengalaman pembahasan RUU tergesa-gesa substansinya cenderung bermasalah.
“Naskah akademik (RUU Polri,-red) agak ajaib, pengaturannya problematis. Mulai dari UU Cipta Kerja, RUU Polri, RUU Minerba dan lain-lain, model legislasi cepat seperti ini perlu kita kawal,” kata Fachrizal dalam diskusi bertema Revisi UU Polri dan Dampaknya Terhadap Hukum Acara Pidana, Kamis (25/07/2024).