Lebih Berhati-hati untuk Jerat Korban dalam Kasus Video Asusila
Berita

Lebih Berhati-hati untuk Jerat Korban dalam Kasus Video Asusila

Penetapan Gisel dan MYD sebagai tersangka mencerminkan penggunaan tafsir, jika seseorang melakukan perekaman video asusila, maka dirinya juga bertanggung jawab atas tersebarnya rekaman tersebut.

Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit

Bagi Nefa, dalam hukum pidana penafsiran kata istilah atau pengertian dalam UU mengutamakan penafsiran otentik yaitu penafsiran yang telah ditetapkan pembuat UU sendiri. Dalam sebuah naskah UU, penafsiran ini dapat ditemukan pada bagian Penjelasan. Penjelasan UU berfungsi sebagai tafsir resmi atas ketentuan pasal dalam UU.

Menurutnya, penafsiran yang tepat atas rumusan-rumusan yang terdapat dalam UU sangat erat hubungannya dengan upaya memberi penghargaan yang setinggi-tingginya terhadap hak asasi manusia (HAM) dan menghindari tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum.

Karena itu, Nefa berpendapat apabila mengacu Penjelasan UU Pornografi itu, di luar lembaga yang diberikan kewenangan oleh undang-undang seperti lembaga sensor film, lembaga pengawas penyiaran, penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan atau terapi kesehatan seksual, dan lembaga pendidikan, mereka yang memiliki atau menyimpan pornografi untuk kepentingan pribadi sesungguhnya dilindungi UU.

“Maka, fokus penyidik seharusnya diarahkan pada pihak yang diduga menyebarluaskan video tersebut, bukan pada GA dan MYD,” kata dia,

Perdebatan lain, yang juga muncul dalam kasus ini ialah ketentuan UU Pornografi yang melarang orang baik dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model pornografi seperti disebutkan Pasal 8 UU Pornografi. Dalam Pasal 8 UU Pornografi disebutkan “Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.” Pelanggaran pasal ini diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak 5 miliar rupiah.

Menurutnya, Pasal 8 UU Pornografi itu terbatas hanya melindungi mereka yang dipaksa dengan ancaman atau diancam berada di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain untuk menjadi objek atau model pornografi. Karena itu, ketentuan ini harus dibaca dalam konteks model tidak dipaksa dengan ancaman atau diancam atau berada di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain.

“Model tersebut harus secara sadar mengetahui bahwa foto, video atau bentuk pornografi lainnya sejak awal memang ditujukan untuk disebarluaskan kepada publik dan bukan untuk kepentingan pribadi,” tegasnya.

Mengacu pada teori kehendak dalam ilmu hukum pidana, terduga pelaku (model pornografi) dapat dihukum jika mereka mengetahui dan menghendaki perbuatan merekam dan juga akibatnya dari tersebarnya rekaman tersebut. Lagi-lagi, kata Nefa, dalam kasus GA dan MYD, unsur ini tidak terjadi atau terpenuhi.

Dia melihat penetapan GA dan MYD sebagai tersangka mencerminkan penggunaan tafsir, jika seseorang melakukan perekaman video asusila, maka dirinya juga bertanggung jawab atas tersebarnya rekaman tersebut. Ia seharusnya mengetahui risiko yang mungkin terjadi apabila orang lain menyebarkan rekaman itu kepada publik. “Ini tafsir keliru yang sama sekali tidak memperhitungkan posisi korban. Kasus hampir serupa pernah menimpa Nazril ‘Ariel’ Irham yang divonis 3 tahun dan 6 bulan penjara serta denda Rp 250 juta pada Januari 2011.”

Nefa mengingatkan aparat penegak hukum seharusnya lebih berhati-hati dalam menetapkan status pelaku yang sebenarnya sebagai korban dalam kasus tindak pidana pornografi berupa penyebaran video asusila. “Jangan sampai sistem peradilan pidana memposisikan orang yang sepatutnya dilindungi, malah kemudian menerima hukuman,” katanya.

Tags:

Berita Terkait