LBH Kampus Minta PERADI Buat Edaran
Berita

LBH Kampus Minta PERADI Buat Edaran

Ada yang masih mengandalkan surat kartu beracara dari Pengadilan Tinggi.

Mys
Bacaan 2 Menit
LBH Kampus Minta PERADI Buat Edaran
Hukumonline

Kalangan lembaga bantuan hukum (LBH) kampus meminta agar Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) menerbitkan semacam surat edaran atau surat keputusan yang memperbolehkan dosen-dosen pengelola LBH kampus beracara di pengadilan. Edaran itu menjadi layaknya surat izin bagi dosen yang bukan advokat untuk membela klien di pengadilan.

 

Permintaan itu diungkapkan dalam seminar “Sosialisasi dan Kritisi Undang-Undang Bantuan Hukum” di Bandung, Kamis kemarin (24/11). Sudaryono, Ketua Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Solo mengungkapkan secara langsung permintaan itu di depan Ketua Umum DPN PERADI, Otto Hasibuan. Permintaan itu diamini sejumlah dosen yang hadir di seminar. “Kami minta PERADI mengeluarkan edaran atau keputusan,” tandas Sudaryono.

 

UU No 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum pada dasarnya memberi ruang kepada dosen dan paralegal untuk berpraktik, termasuk memberi jasa hukum di pengadilan. Kewenangan memberi ‘jasa hukum’ itulah yang dikritik Otto. Sebab, menurut UU No 18 Tahun 2003, hanya advokat yang boleh memberikan jasa hukum. Pasal 31 UU Advokat malah mengancam siapapun yang bukan advokat jika melakukan praktik advokat.

 

Ancaman pidana dalam Pasal 31 UU Advokat akhirnya dibatalkan. Selama ini, LBH kampus telah menjalankan fungsi dan tugas memberikan bantuan hukum kepada masyarakat miskin. Di lembaga ini pula mahasiswa bisa melihat dan mengalami langsung praktik beracara, sekaligus memupuk kepedulian terhadap masyarakat miskin. “Setelah Undang-Undang Advokat, LBH kampus seperti mati suri,” kata Artadji, dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung.

 

Agar kriminalisasi terhadap dosen dan paralegal di LBH kampus tidak terulang, Sudaryono meminta PERADI memuat regulasi yang jelas. Para dosen yang melakukan bantuan hukum secara cuma-cuma perlu dibekali kartu lampu hijau sebagai ‘advokat’ sementara.

 

Kekhawatiran Otto adalah jika yang bukan advokat menjalankan praktik advokat, mereka tak bisa dikenakan sanksi jika melakukan pelanggaran, khususnya terhadap kode etik advokat. “Kalau bantuan hukum diberikan oleh yang bukan advokat, nanti ada masalah,” ujarnya.

 

Untuk menepis kekhawatiran Otto, Sudaryono mengusulkan dua hal. Pertama, kepada dosen dan paralegal LBH kampus yang berpraktik di pengadilan bisa diberlakukan kode etik advokat. “Mereka juga terikat pada aturan kode etik,” tegasnya.

 

Kedua, selain mendapatkan izin dari PERADI, dosen dan paralegal LBH kampus wajib dibekali surat tugas dari kampusnya. Dengan demikian, dosen atau paralegal tersebut resmi mendapat tugas dari almamaternya. Cara ini bisa mengurangi potensi penyimpangan oleh dosen yang bukan advokat dan membela klien tanpa sepengetahuan LBH kampus.

 

Sebenarnya, tidak semua dosen terhambat menjalankan praktik advokat. Sebagian karena sudah mengantongi izin advokat dari PERADI. Malah seorang dosen menunjukkan kartu izin praktik yang dikeluarkan pengadilan tinggi. “Kartu ini baru saya perbarui,” kata dosen hukum pidana itu.

 

Menanggapi permintaan Sudaryono dan kawan-kawan, Ketua Umum DPN PERADI Otto Hasibuan menyatakan tak berkeberatan asalkan memenuhi syarat. PERADI, kata dia, sudah lama menggagas agar dosen-dosen dan mahasiswa di LBH kampus di-endorse oleh advokat. “Saya setuju dan boleh asalkan di-endorse oleh advokat,” kata Otto.

Tags:

Berita Terkait