LBH Jakarta: Pengesahan UU P3 Menunjukkan Watak Represif Otoriter Pemerintahan
Terbaru

LBH Jakarta: Pengesahan UU P3 Menunjukkan Watak Represif Otoriter Pemerintahan

“LBH Jakarta mendesak kepada Presiden untuk membatalkan revisi UU P3 tersebut dan menyerukan kepada publik untuk mengadvokasi penolakan terhadap pengesahan UU a quo dan berbagai regulasi inkonstitusional lainnya.”

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Pimpinan DPR dalam rapat paripurna pengesahan RUU menjadi UU. Foto: RES
Pimpinan DPR dalam rapat paripurna pengesahan RUU menjadi UU. Foto: RES

Pengesahan revisi UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) oleh DPR Selasa (24/5/2022) kemarin dikecam berbagai kalangan masyarakat sipil. Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana, mengatakan lembaganya menyesalkan dan mengkritik keras langkah pemerintah dan DPR yang mengesahkan revisi UU P3.

Pengesahan itu menambah preseden penyusunan UU tidak transparan, minim partisipasi publik, dan terburu-buru oleh pemerintah dan DPR. Preseden itu dimulai dari proses revisi UU KPK, UU MK, UU Minerba, UU Cipta Kerja, dan UU IKN. “UU P3 ini penting karena sebagai aturan main dalam pembentukan peraturan perundang-undangan,” kata Arif dalam keterangan tertulis, Rabu (25/5/2022).

Melihat preseden buruk itu, Arif berpendapat praktik penyusunan UU yang tertutup, ugal-ugalan atau tergesa-gesa dan melanggar prinsip partisipasi yang bermakna seolah mendapat pembenaran. Regulasi yang dihasilkan dari proses tersebut akan berbahaya bagi demokrasi dan prinsip negara hukum karena aturan tersebut berkarakter represif konservatif.

“Pengesahan Revisi UU P3 oleh DPR hari ini kembali menunjukkan bahwa watak pemerintahan yang berkuasa hari ini adalah rezim represif otoriter yang dalam hal membuat kebijakan maupun peraturan tidak lagi berpijak pada prinsip konstitusi dan aturan main negara demokrasi,” ujar Arif.

Baca Juga:

Pada saat kesalahan ada pada kebijakan dan UU yang dibuat, tapi yang menjadi solusi justru bukan membenahi kebijakan dan UU tersebut tapi malah mengubah aturan mainnya melalui revisi UU P3. Hal ini jelas menunjukan pemerintah dan DPR hanya ingin melegitimasi metode omnibus law dalam pembentukan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Sebagaimana diketahui putusan MK menyatakan UU No.11 Tahun 2020 inkonstitusional bersyarat. Seharusnya pemerintah dan DPR menjalankan mandat putusan tersebut dan membenahi tata kelola regulasi di Indonesia.

Revisi UU P3 harusnya mengatur dan membatasi kewenangan pembuat UU agar menyusun regulasi yang demokratis dan responsif untuk kepentingan masyarakat. Sayangnya, dalam membuat aturan yang dibatasi malah hak partisipasi warga negara.

“LBH Jakarta mendesak kepada Presiden untuk membatalkan revisi UU P3 tersebut dan menyerukan kepada publik untuk mengadvokasi penolakan terhadap pengesahan UU a quo dan berbagai regulasi inkonstitusional lainnya,” tegas Arif.

Sebelumnya, Rapat Paripurna DPR yang digelar Selasa (24/05/2022) sepakat mengesahkan revisi itu menjadi UU. Rencananya hasil revisi UU P3 itu menjadi landasan hukum untuk membenahi UU No.11 Tahun 2020. "Kami akan menanyakan kepada Anggota apakah Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dapat disetujui disahkan menjadi UU?" tanya Ketua DPR RI Puan Maharani kepada peserta Rapat Paripurna di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Selasa (24/5/2022) sebagaimana dilansir laman dpr.go.id. Seluruh anggota rapat menyatakan setuju.

Sebelum disahkan, Wakil Ketua Baleg DPR RI, M Nurdin, menyampaikan laporan hasil pembahasan RUU P3 dalam rapat tersebut. Dia menyebut hasil pembahasan tingkat satu disetujui 8 fraksi dan 1 fraksi yakni PKS menolak. "Setelah melakukan pembahasan 365 DIM dengan pemerintah, pada 13 April 2022 malam hari, Baleg menggelar raker bersama pemerintah dan DPR RI, pemerintah diwakili fisik Menko Perekonomian, Menko Polhukam, dan perwakilan Kemenkumham," kata Nurdin.

Tags:

Berita Terkait