LBH Jakarta: 2012 Tahun Kriminalisasi Pekerja
Berita

LBH Jakarta: 2012 Tahun Kriminalisasi Pekerja

Banyak pekerja yang dikriminalisasi karena menuntut haknya.

ADY
Bacaan 2 Menit
Sepanjang tahun 2012, LBH Jakarta menilai aparatur negara belum berkomitmen tegakkan hukum. Foto: Sgp
Sepanjang tahun 2012, LBH Jakarta menilai aparatur negara belum berkomitmen tegakkan hukum. Foto: Sgp

Sepanjang tahun 2012, LBH Jakarta menilai aparatur negara belum berkomitmen menegakkan hukum dengan baik. Pasalnya, banyak norma hukum dan peraturan yang belum dilaksanakan.

Di sektor ketenagakerjaan misalnya, LBH Jakarta mencatat pemerintah berjanji untuk berkomitmen menjamin hak-hak pekerja seperti upah layak, jaminan kerja, keamanan kerja dan kebebasan berserikat.

Kenyataannya masih banyak pekerja yang dibayar di bawah upah minimum, melegitimasi buruh kontrak dan outsourcing. Malah, pria yang akrab disapa Mayong itu mengatakan, saat ini kriminalisasi terhadap pengurus serikat pekerja marak terjadi pasca serikat pekerja melakukan aksi mogok kerja nasional beberapa waktu lalu. Padahal, serikat pekerja sedang memperjuangkan haknya yang tak terpenuhi.

Ironisnya, lanjut Mayong, dalam kurun waktu setahun ini, belum ada satu pun pengusaha yang diproses secara hukum atas tindakannya yang anti serikat pekerja.

Secara umum, dalam waktu satu tahun ini, LBH Jakarta menerima 917 pengaduan langsung dari masyarakat. Dari pengaduan itu terdapat 28.693 orang pencari keadilan. Peringkat pertama pengaduan adalah kasus yang sifatnya non struktural. Jumlahnya mencapai 464 pengaduan dengan 836 pencari keadilan. Kasus non struktural meliputi kasus pidana umum seperti pencurian dan perdata seperti masalah ahli waris.

Posisi kedua pengaduan terbanyak meliputi kasus keluarga, jumlahnya 154 pengaduan dengan 154 pencari keadilan.

Peringkat ketiga tertinggi yang diadukan adalah kasus ketenagakerjan, jumlahnya 141 kasus dengan 8.232 pencari keadilan. Khusus kasus ketenagakerjaan, LBH Jakarta mencatat mayoritas kasus berkaitan dengan pemutusan hubungan kerja (PHK), pelanggaran hak normatif seperti upah dan kebebasan berserikat.

Untuk PHK, kasus yang ditangani sepanjang 2012 mencapai 74 kasus dengan 4.680 pencari keadilan. Terkait hak normatif ada 44 kasus dengan 475 pencari keadilan dan pemberangusan serikat pekerja ada tiga kasus dengan 2.835 pencari keadilan. Untuk kasus menyangkut kriminalisasi pengurus serikat pekerja yang ditangani LBH Jakarta ada 4 kasus.

Mayong mengingatkan, dalam menangani kasus ketenagakerjaan, pada satu kasus terdapat lebih dari satu jenis pelanggaran. LBH Jakarta menyebutnya dengan pelanggaran hak atau kejahatan berlapis. Contohnya, kasus PHK 1.300 pekerja perusahaan yang memproduksi sepatu kualitas ekspor di Tangerang. Awalnya ribuan pekerja itu hak normatifnya tak dipenuhi pengusaha, lalu pekerja membentuk serikat pekerja. Saat memperjuangkan hak-haknya lewat serikat pekerja, ribuan pekerja itu di-PHK dan dikriminalisasi.

Pada kesempatan yang sama, advokat publik LBH Jakarta, Pratiwi, mengatakan lemahnya pengawas ketenagakerjaan menyebabkan hak pekerja kerap dilanggar. Tanpa adanya tindakan tegas dari aparat berwenang, Tiwi mengatakan pelanggaran itu akan terus terjadi. Ujungnya, pekerja harus memperjuangkan haknya sampai proses persidangan di pengadilan hubungan industrial (PHI).

Padahal, selama ini LBH Jakarta berupaya menghindari mekanisme penyelesian perselisihan ketenagakerjaan di PHI. Pasalnya, prosesnya berbelit dan pekerja kerap terjebak dalam ketidakpastian hukum. "Peran pengawas ketenagakerjaan tak berfungsi," ujarnya.

Untuk membenahi kebijakan pemerintah di bidang ketenagakerjaan dalam rangka menjamin hak-hak pekerja, LBH Jakarta menerbitkan rekomendasi untuk pemerintah di tingkat pusat dan daerah. Yaitu menuntut pemerintah menegakkan hukum ketenagakerjaan atas pelanggaran hak-hak normatif pekerja yang dilakukan pengusaha. Juga merekomendasikan pemerintah menghapus sistem outsourcing dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

Untuk meningkatkan kualitas dinas tenaga kerja (Disnaker), LBH Jakarta mengimbau pemerintah untuk membangun sistem yang dapat mencegah penyelewengan kekuasaaan aparat Disnaker. Misalnya, melakukan audit kerja dan melaporkan kinerja disnaker kepada publik minimal setahun sekali. Tak kalah penting pemerintah didesak untuk tidak mengalihkan laporan pelanggaran hak yang diadukan pekerja menjadi perselisihan hubungan industrial.

Sebelumnya, Dirjen Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan, Mudji Handaya, mengaku masih terdapat kelemahan dalam kinerja pengawas ketenagakerjaan. Dia berjanji akan berupaya untuk membenahi berbagai kelemahan yang ada. Dia menegaskan, jika terdapat pengawas ketenagakerjaan yang tidak melakukan perannya dengan baik di lapangan maka masyarakat harus aktif melaporkannya ke Kemenakertrans.

Menurut Mudji, tindakan serius dapat diambil untuk memberi peringatan kepada petugas pengawas ketenagakerjaan yang bersangkutan. “Laporkan ke saya,” ujarnya dalam acara diskusi tentang revisi UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) yang diselenggarakan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) di Jakarta, Rabu (19/12).

Tags:

Berita Terkait