Restorative justice memiliki tujuan yang baik untuk mengembalikan kondisi semula setelah terjadinya suatu tindak pidana. Namun dalam perkara kasus kekerasan seksual, banyak hal yang dirugikan khususnya bagi korban yang dapat menghantuinya seumur hidup.
Pemerintah telah menerbitkan UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Imeplementasi UU TPKS tidak hanya sekadar memberi jaminan terhadap penanganan kasus kekerasan seksual, lebih dari itu berfungsi dalam hal pencegahan, perlindungan, dan pemulihan untuk korban.
Kasus kekerasan seksual tidak bisa dilakukan di luar pengadilan, hal ini dikarenakan kasus kekerasan seksual merupakan tindak pidana yang harus diselesaikan melalui jalur hukum di pengadilan.
Baca Juga:
- Alasan Restorative Justice Tidak Bisa Dilaksanakan Dalam Kasus Kekerasan Seksual
- MengenalRestorative Justice
Disahkannya UU TPKS menjadi momentum bagi negara untuk hadir bagi kekerasan seksual. Namun, penerapan di lapangan masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa kekerasan seksual bukan kekerasan luar biasa bahkan beberapa oknum penyidik melakukan mediasi antara korban dan pelaku kekerasan seksual untuk berdamai.
“Sebelum disahkannya UU TPKS nampaknya lazim dilakukan pertemuan penyidik memanggil orang tua korban untuk memberikan sejumlah uang yang mana memprovokasi korban untuk melakukan pencabutan permohonan,” ungkap Ratna Batara Munti selaku Direktur LBH APIK Jabar dalam sesi diskusi secara daring pada, Senin (12/12).
Selain memprovokasi korban, sikap dan etika penyidik juga melarang korban didampingi oleh keluarga dan tidak diberi akses pendampingan hukum bahkan sampai terjadi pernikahan antara korban dan pelaku kekerasan seksual.