Layar Terkembang untuk Hak Gugat Organisasi, Class Action, dan Citizen Lawsuit
Mengupas Hukum Acara Perdata:

Layar Terkembang untuk Hak Gugat Organisasi, Class Action, dan Citizen Lawsuit

Hukum acara yang diamanatkan perundang-undangan nasional justru berbeda-beda. Ada yang menunggu Hukum Acara Perdata nasional, ada yang menyerahkan pada Perma.

Muhammad Yasin/AJI/ADY
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi gugatan class action. Ilustrator: HGW
Ilustrasi gugatan class action. Ilustrator: HGW

Perkembangan hukum acara perdata Indonesia dipengaruhi pula penyerapan  sistem hukum luar negeri akibat pergaulan dan hubungan hukum lintas negara. Praktek hukum luar negeri dicoba untuk diterapkan di Indonesia melalui mekanisme pengadilan. Tiga konsep hukum yang kuat pengaruhnya pada hukum acara perdata adalah hak gugat organisasi, class action, dan citizen lawsuit.

Hukum acara perdata yang diperbaharui (HIR) dan RBg belum mengatur ketiga konsep hukum ini. Alih-alih mengatur, konsep hukum ini kadang masih menimbulkan kontroversi dalam praktek. Salah satunya karena ketiadaan tata cara yang jelas. Tidak mengherankan, pengaturannya bergantung pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma), bukan pada Hukum Acara Perdata. Inilah yang membuat banyak orang tertarik untuk menelusuri ketiga konsep hukum ini, sekaligus menjawab ‘teka-teki’ mekanisme gugatannya.

Fajar Winarni, salah seorang yang mendalami hak gugat organisasi, dan berhasil mempertahankan disertasi mengenai topik ini (Kajian Yuridis Legal Standing Organisasi Lingkungan Hidup di Indonesia) pada Desember tahun lalu. Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta melakukan kajian tentang hak gugat organisasi lingkungan hidup yang disebut legal standing dalam hukum Indonesia. “Pada awal pengajuannya ke pengadilan, legal standing organisasi lingkungan hidup selalu ditolak oleh hakim karena tidak ada peraturannya dalam hukum acara perdata yang berlaku,” jelas Winarni kepada hukumonline.

Baca juga:

· MK Tegaskan Legal Standing LSM Ajukan Praperadilan.

· Legal Standing Walhi Diakui dalam Yurisprudensi.

Perubahan justru terjadi paa 1988 ketika  mulai ada pergeseran paradigma hakim dalam memahami makna ‘partisipasi masyarakat’ dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pertama kalinya, perubahan paradigma itu tampak pada gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) terhadap PT Inti Indorayon Utama (IIU), Menteri Perindustrian, Menteri Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, dan Gubernur Sumatera Utara. Dalam putusan perkara ini, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengakui legal standing Walhi. “Kasus tersebut telah mengukir sejarah, karena legal standing Walhi diterima oleh hakim meskipun saat itu belum ada peraturannya,” ujar Winarni.

Setelah putusan itu, Pemerintah dan DPR akhirnya mengadopsi konsep legal standing dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pengakuan yang tegas juga dimasukkan dalam perubahan Undang-Undang tersebut, yakni UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Pasal 92 ayat (1) UU PPLH menegaskan ‘Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup”.

Organisasi lingkungan yang dapat mengajukan gugatan adalah organisasi yang memenuhi syarat: berbentuk badan hukum; menegaskan di dalam Anggaran Dasarnya bahwa organisasi itu didirikan untuk kepentingan pelestarian lingkungan hidup; dan telah melaksanakan kegiatan sesuai anggaran dasarnya paling singkat dua tahun. Persyaratan inilah yang diuji hakim dalam perkembangan gugatan legal standing pasca pengakuan terhadap konsep ini sejak 1997.

Peraturan perundang-undangan sektoral, kata Fajar, sebenarnya sudah banyak mengatur legal standing. Ia juga menepis pandangan bahwa pemberian hak gugat organisasi itu tidak bertentangan dengan asas point d’interest point d’action. Legal standing organisasi justru memperluas makna kepentingan dalam hukum. Dalam hukum perdata konvensional, kepentingan hukum itu adalah kepentingan yang berkaitan dengan kepemilikan atau kepentingan materiil berupa kerugian yang dialami secara langsung. Dalam legal standing organisasi lingkungan hidup, kepentingan hukumnya diartikan sebagai kepentingan pelestarian lingkungan hidup. Dengan demikian, organisasi lingkungan hidup tidak memiliki kepentingan kepemilikan atau mengalami kerugian secara langsung. “Inilah yang belum terakomodasi dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku,” jelasnya kepada hukumonline.

Dijelaskan Winarni, pemberian hak gugat bagi organisasi lingkungan hidup untuk beracara di pengadilan sebagai wali bagi lingkungan hidup, berarti bahwa lingkungan hidup secara implicit telah diakui memiliki hak. Legal standing organisasi lingkungan hidup itu penting bagi perlindungan ligkungan karena banyak faktor. Misalnya faktor kepentingan masyarakat luas, faktor penguasaan sumber daya alam oleh negara, serta organisasi lingkungan hidup menguasai dan memiliki pengetahuan dan wawasan tentang apa yang menjadi fokus kegiatannya.

Class action

Konsep class action, gugatan perwakilan, atau gugatan kelas masyarakat, berasal dari tradisi hukum Anglo Saxon, yang kemudian diterima berdasarkan praktek peradilan. Bahkan kemudian diatur dalam perundang-undangan. Semula, konsep class action dikenal dalam lingkup lingkungan hidup. Belakangan, berkembang ke bidang lain seperti perlindungan konsumen, perbankan, jasa jasa konstruksi.

Berdasarkan penelusuran yang pernah dilakukan, belasan Undang-Undang di Indonesia mengakomodasi hak warga negara mengajukan class action. Bahkan mungkin di luar perkiraan. Sekadar contoh, di bidang antariksa. Pasal 29 ayat (2) huruf h UU No. 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan menyebut peran serta masyarakat untuk melaksanakan gugatan perwakilan terhadap kegiatan keantariksaan yang mengganggu, merugikan, atau membahayakan kepentingan umum.

Pengaturan hukum acara class action termasuk yang menggambarkan ketidakharmonisan perundang-undangan. Dari 18 Undang-Undang yang memuat aturan class action, sebagian menyebutkan peraturan lebih lanjut mengenai class action diatur dalam perundang-undangan. Rumusan ini tak menyebut tegas dan detil, perundang-undangan dimaksud. Ini model pengaturan pertama.

Model pengaturan kedua adalah menyebutkan secara tegas. UU Jasa Konstruksi yang lama (UU No. 18 Tahun 1999) menyebutkan pengaturan lebih lanjut gugatan perwakilan kelompok mengacu pada Hukum Acara Perdata. Masalahnya, HIR/Rbg –hukum acara perdata yang masih berlaku kini, tak mengatur class action. Banyak pertanyaan yang muncul, termasuk bagaimana membuat surat gugatan perwakilan kelompok.

Untuk mengatasi kekosongan hukum itulah Mahkamah Agung pernah menerbitkan Perma No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Perma ini, sesuai judulnya, menjadi panduan hukum acara yang bersifat sementara. Dalam Konsiderans Perma disebutkan ‘Sambil menunggu peraturan perundang-undangan, dan dengan memperhatikan wewenang Mahkamah Agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan perundang-undangan, maka demi kepastian, ketertiban dan kelancaran dalam memeriksa, mengadili dan memutus gugatan perwakilan kelompok, dipandang perlu menetapkan suatu Peraturan Mahkamah Agung”.

Sifat kesementaraan Perma tersebut mengandung makna bahwa Mahkamah Agung pun sebenarnya menunggu selesainya Hukum Acara Perdata. Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Balitbang Kumdil Mahkamah Agung, Basuki Rekso Wibowo, mengatakan konsep-konsep baru dalam hukum itu perlu dimasukkan dalam hukum acara perdata nasional ke depan. Menurut dia, praktek peradilan yang selama ini banyak diisi lewat Perma sebaiknya dimaksukkan ke dalam RUU Hukum Acara Perdata.

Baca juga:

· Cara Pembagian Ganti Rugi dalam Gugatan Perwakilan Kelompok.

· Menggugat Tanggung Jawab Kementerian Agama Lewat Class Action dan PMH.

· Komisi Pembayaran Ganti Rugi Panggil Korban.

Gugatan permintaan ganti rugi dengan menggunakan mekanisme class action sudah banyak diajukan. Bukan hanya kasus kerusakan lingkungan hidup, tetapi juga kasus kecelakaan kereta api. Salah satu yang berhasil adalah gugatan korban tabrakan kereta api (KA) Empu Jaya dengan KA Gaya Baru Malam di Brebes. Kecelakaan yang menewaskan lebih dari 31 orang itu mendorong korban dan ahli waris menggugat secara class action PT KAI, Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN dan Menteri Keuangan untuk membayar ganti rugi kepada para korban. Mahkamah Agung mengabulkan gugatan itu, dan tergugat membayar ganti rugi sesuai putusan pengadilan.

Citizen Lawsuit (CLS)

Kemenangan 12 warga negara di tingkat kasasi melawan Pemprov DKI Jakarta dalam kasus swastanisasi air adalah contoh konkrit gugatan bernama citizen lawsuit (CLS). Dalam putusan No. 31 K/Pdt/2017, Mahkamah Agung menyatakan tergugat lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia atas air terhadap warga DKI Jakarta. Putusan ini juga memicu kaji ulang terhadap kontrak pengelolaan air minum antara Pemprov DKI Jakarta dengan perusahaan swasta.

Lepas dari masalah swastanisasi air, putusan Mahkamah Agung tersebut merupakan salah satu konsep hukum CLS yang berkembang dalam praktek. Sebelumnya, gugatan warga negara juga pernah diakomodasi dalam kasus ujian nasional (UN). CLS menjadi salah satu konsep hukum perdata yang berkembang sejak masuknya gugatan Tim Advokasi Tragedi Nunukan, sebuah gugatan model CLS terhadap instansi pemerintah terkait penanganan buruh migran di Nunukan, Kalimantan Timur.

Contoh Gugatan CLS di Indonesia

· Gugatan warga negara terhadap sejumlah instansi pemerintah dalam penanganan buruh migrant di Nunukan Kalimantan Timur (2003). PN Jakarta Pusat menerima gugatan, tetapi di tingkat banding penggugat kalah. Inilah CLS pertama di Indonesia. Gugatan CLS ini menginspirasi lahirnya UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

· Gugatan korban ujian nasional terhadap pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan Nasional. Mahkamah Agung mengabulkan gugatan, dan menghukum pemerintah melakukan perbaikan.

· Gugatan warga negara atas swastanisasi air di Jakarta. Diterima Mahkamah Agung.

· Gugatan rakyat miskin terhadap pemerintah yang melakukan operasi yustisi atau operasi kependudukan di Jakarta. Gugatan ini ditolak.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung sendiri sudah pernah melakukan kajian terhadap CLS, dan hasil kajian itu diterbitkan pada tahun (2009). Dalam penelitian itu disebutkan CLS adalah perwujudan akses individu/orang perorangan warga negara untuk kepentingan keseluruhan warga negara atau kepentingan publik. Setiap warga negara dapat mengajukan gugatan terhadap tindakan atau pembiaran (omisi) oleh negara terhadap hak-hak warga negaranya. Intinya, CLS adalah mekanisme bagi warga negara meminta tanggung jawab penyelengara negara atas kewajiban hukumnya.

Seperti halnya class action, CLS juga diadopsi dari sistem hukum Common Law di Anglo Saxon. Modelnya mirip gugatan action popularis dalam Civil Law. Perkembangan awalnya juga ditetemukan dalam kasus lingkungan, meskipun kini sudah meluas. Namun, persoalan yang dihadapi dalam CLS lebih pelik dibandingkan legal standing organisasi dan class action karena CLS tak diatur sekali dalam perundang-undangan. Selama ini, hakim menerima CLS antara lain mendasarkan pada prinsip pengadilan tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada hukumnya dan prinsip hakim wajib menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Baca juga:

· Majelis Hakim Kabulkan Sebagian Gugatan Swastanisasi Air.

· MK Batalkan UU Sumber Daya Air.

· Citizen Law Suit Tragedi Nunukan Kalah di Tingkat Banding.

Penelitian Puslitbang MA juga menggarisbawahi tentang pentingnya mengatur tata cara CLS terutama berkaitan dengan penentuan hak gugat (standing) dari subjek hukum penggugat, kriteria tergugat, kriteria materi gugatan, dan perlunya notifikasi. Perlunya pengaturan lebih lanjut juga didasari kenyataan bahwa belum semua hakim punya pandangan yang sama tentang CLS. Penelitian Puslitbang MA merekomendasikan pembuatan Perma tentang Citizen Lawsuit.

Advokat publik LBH Jakarta, Matthew Michelle, percaya perbedaan perspektif hakim dalam CLS tak lepas dari ketiadaan hukum acara yang mengaturnya. Jika tak diatur segera, ia khawatir hakim tak punya standar baku, sehingga putusan pengadilan berbeda-beda. “Hambatannya nanti di perspektif hakim ke depan yang menilai. Pengadilan harus strict pada hukum acara,” ujarnya kepada hukumonline.

Kini, tinggal menunggu bagaimana Hukum Acara Perdata nasional mengaturnya. Sebuah teka-teki yang tak bisa dijawab kepastiannya.

Tags:

Berita Terkait