Layaknya Penegak Hukum, Organisasi Advokat Tunggal
Utama

Layaknya Penegak Hukum, Organisasi Advokat Tunggal

Ahli dari Peradi menganggap pengujian UU Advokat ini tidak menyangkut konstitusionalitas norma, tetapi menyangkut persoalan penerapan norma.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Ahli dari Peradi berpendapat wadah tunggal konstitusional.<br> Foto: Sgp
Ahli dari Peradi berpendapat wadah tunggal konstitusional.<br> Foto: Sgp

Lanjutan persidangan pengujian UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat di Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mendengarkan keterangan ahli. Untuk persidangan kali ini, Rabu (23/3), ahli yang dihadirkan adalah Prof Yusril Ihza Mahendra, Abdul Hakim Garuda Nusantara, dan Prof Philipus M Hardjon.

 

Semua ahli dihadirkan oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Khusus untuk Abdul Hakim, mantan Ketua Komnas HAM ini sebenarnya telah hadir pada persidangan sebelumnya. Namun, Abdul Hakim dihadirkan kembali untuk memberikan keterangan tambahan.

 

Persidangan ini dihadiri pula oleh sejumlah pengurus organisasi advokat di luar Peradi di antaranya Kongres Advokat Indonesia, Persatuan Advokat Indonesia, Ikatan Advokat Indonesia, Serikat Pengacara Indonesia, dan Asosiasi Advokat Indonesia selaku pihak terkait.

 

Pengujian undang-undang ini dimohonkan oleh Abraham Amos (advokat KAI), Frans Hendra Winata (Ketua Umum Peradin), dan Husen Pelu dkk (advokat KAI). Mereka menguji Pasal 28 ayat (1) terkait pembentukan wadah tunggal organisasi advokat, dan Pasal 30 ayat (2), 32 ayat (3) dan (4) UU Advokat terkait kewajiban advokat menjadi anggota organisasi advokat dan aturan peralihan sebelum wadah tunggal terbentuk.

 

Dalam persidangan, Yusril berpendapat keberadaan wadah tunggal organisasi advokat tidak dapat dikatakan bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Pasal dimaksud mengatur tentang hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

 

“Pembatasan hak berserikat dalam UU Advokat bukanlah HAM yang bersifat non-derogable (mutlak) yang tidak bisa dikurangi atau dibatasi seperti tercantum dalam Pasal 28I UUD 1945, sehingga tidak melanggar prinsip-prinsip HAM,” jelas mantan Menteri Hukum dan HAM ini.

 

Menurut Yusril, UUD 1945 membedakan kategori HAM yang bersifat absolut (non-derogable) dan HAM yang tidak absolut (derogable). Ketentuan HAM yang bersifat absolut ini diatur dalam Pasal 28I UUD 1945 seperti hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak beragama, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. “Ini HAM yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun,” tukasnya.

 

Karena itu, hak berserikat seperti diatur dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 tidak dikategorikan sebagai norma HAM yang bersifat absolut, sehingga harus tunduk pada pembatasan HAM seperti dirumuskan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

 

Yusril mengutip Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi. “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan undang-undang untuk menjamin pengakuan, penghormatan, hak/kebebasan orang lain serta memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

 

Menurutnya, organisasi advokat tidak bisa disamakan dengan organisasi politik atau organisasi kemasyarakatan yang diberikan kebebasan untuk membentuknya tanpa dibatasi undang-undang. Berbeda dengan organisasi advokat yang tidak diberi kebebasan penuh karena tunduk dengan syarat-syarat tertentu.

 

“Seperti tidak semua sarjana hukum dapat menjadi advokat, tetapi harus melalui pendidikan, ujian, magang, dilantik, dan disumpah sebagai advokat,” Yusril menambahkan.

 

Masalahnya, lanjut Yusril, ketika UU Advokat dibahas tidak ditegaskan apakah bentuknya harus federasi atau delapan organisasi advokat yang terlebih dahulu eksis harus melebur menjadi wadah tunggal? “Seperti apa akan mengacu model wadah tunggal organisasi advokat di Belanda atau federasi di Jepang atau Filipina,” katanya.

 

Yusril juga menilai materi pengujian undang-undang ini tidak ada kaitannya dengan masalah konstitusionalitas atau pertentangan antara norma yang diuji dengan norma UUD 1945. “Ini lebih merupakan pemahaman rumusan undang-undang dan bagaimana undang-undang itu dilaksanakan dalam praktiknya.”

 

Seperti penegak hukum

Ahli lainnya, Philipus M Hardjon berpendapat organisasi advokat memang seyogyanya tunggal. Pasalnya, Philipus memandang organisasi advokat merupakan salah satu badan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Selain itu, UU Advokat juga menegaskan status advokat sebagai penegak hukum. Makanya, menurut Philipus, organisasi advokat juga tunggal seperti halnya penegak hukum yang lain.  

 

Sementara, Abdul Hakim Garuda Nusantara mengatakan pertentangan sejumlah pasal dalam UU Advokat lebih banyak dipengaruhi kepentingan pihak tertentu. Rumusan pasal yang diatur dalam UU Advokat juga  tidak bertentangan dengan UUD 1945. Kalaupun banyak yang menggugat, maka penyelesaiannya seharusnya tidak lewat MK.

 

”Saya melihat tidak ada masalah konstitusionalitas dengan undang-undang (advokat)  ini. Jika dalam implementasi undang-undang ini punya masalah pintunya tidak lewat MK, tetapi melalui legislatif review di DPR,” kata Hakim.  

 

Abdul Hakim menganggap penafsiran pasal 28 ayat (1) UU Advokat tentang organisasi advokat yang diakui satu-satunya wadah organisasi advokat bukan dalam pengertian kewajiban berserikat, tetapi lebih untuk memberikan perlindungan atas profesi advokat itu sendiri dan masyarakat pencari keadilan.

 

”Itu sebenarnya soal kompetensi dan sertifikasi (advokat), harus diluruskan supaya tidak sesat logika. Jangan kacaukan kompetensi dan sertifikasi dengan hak atas pekerjaan yang layak,” katanya.

Tags: