Larangan Eks Napi Nyaleg, Bentuk Penyelenggaraan Negara yang Bersih
Berita

Larangan Eks Napi Nyaleg, Bentuk Penyelenggaraan Negara yang Bersih

Sebagai upaya  menjamin  kualitas dan integritas dari orang-orang yang bakal dipilih oleh masyarakat.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Acara uji publik rancangan PKPU yang digelar di kantor KPU, Selasa (7/6). Foto: RES
Acara uji publik rancangan PKPU yang digelar di kantor KPU, Selasa (7/6). Foto: RES

Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersikukuh memasukan aturan pelarangan bagi mantan narapidana korupsi masuk dalam Peraturan KPU (PKPU). Alasannya, pengaturan tersebut  sebagai bentuk dari penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

 

“KPU bekerja tidak hanya berpedoman pada UU terkait dengan pemilu, tapi juga UU lain yang relevan. Salah satunya adalah UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepostime,” ujar komisioner KPU Wahyu Setiawan.

 

Dalam menyusun PKPU, lanjut Wahyu, pihaknya mendengar aspirasi publik perihal daya rusak yang luar biasa dari kejahatan tindak pidana korupsi. Atas dasar itu, dua alasan yakni menuju penyelenggaraan negara yang bersih dan daya rusak luar biasa dari kejahatan korupsi, yang melatari terbitnya larangan mantan narapidana korupsi menjadi calon legislatif.

 

Pasal 8 ayat (1) huruf j rancangan PKPU menyebutkan, Bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:…j. bukan Mantan Terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi;”.

 

Menurut Wahyu, meski mendapat penolakan dari kalangan parlemen dan pemerintah, keberadaan pasal tersebut tetap tercantum alias tidak mengalami perubahan. Ia mempersilakan bagi pihak yang merasa keberatan dengan pasal tersebut untuk menujinya ke Mahkamah Agung (MA). “Jadi siapapun dipersilakan jika akan melakukan pengujian PKPU,” ujarnya.

 

KPU sendiri telah menyiapkan argumentasi apabila PKPU tersebut diuji materi. Menurut Wahyu, dalam menyusun  PKPU ini, pihaknya telah melakukan diskusi dengan para akademisi, kelompok pemerhati penyelenggaraan pemilu yang bersih, ahli hukum pidana dan tata negara.

 

Sementara itu, Ketua Komisi II Zanudin Amali berpandangan dalam pembuatan PKPU mestinya tidak boleh bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Sebab PKPU menjadi bagian aturan dalam sistem peraturan perundang-undangan. Secara kedudukan hukum, PKPU mesti tunduk dengan aturan di atasnya, yakni UU Pemilu. Ditambah lagi KPU merupakan bagian dari eksekutif pelaksana UU.

 

Menurutnya, KPU dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemilu tetap harus mengacu pada UU Pemilu, bukan kepada UU Penyelenggaraan Negara yang bersih dari KKN. Apabila KPU membuat aturan melenceng dari aturan di atasnya, maka langkah utama yang dilakukan dengan terlebih dahulu mengubah UU Pemilu.

 

“Tidak bisa kalau kita tidak setuju kemudian kita memunculkan apa yang kita mau. Soal pemberantasan korupsi kita semuanya setuju, tapi kita tidak setuju kalau nabrak-nabrak (aturan di atasnya, red),” ujarnya.

 

Senada dengan Zainudi Amali, anggota Komisi II Achmad Baidowi menilai, tindakan KPU dalam membuat aturan tersebut khususnya pelarangan eks napi korupsi nyeleg bertentangan dengan UU. Meski begitu ia memahami maksud KPU dalam menyusun peraturan tersebut. KPU tidak ingin para mantan napi mengulangi perbuatannya jika terpilih kembali menjadi anggota dewan.

 

“Tapi kan UU tidak ada yang melarang, masalahnya di situ. Baik caleg DPR maupun DPRD itu jelas normanya di UU (UU Pemilu). Bahwa, syarat tidak pernah diancam hukuman 6 tahun penjara itu kan jelas clear tidak ada perbedaan. Kalau itu dilanggar berarti KPU melanggar undang-undang,” ujarnya.

 

Ia berharap KPU tidak membuat peraturan yang bertentangan dengan UU. Jika harapan ini tidak dilaksanakan, bisa jadi ke depan akan ada uji materi terhadap peraturan yang diterbitkan KPU tersebut. Menurutnya, jika KPU bersikukuh ingin pelarangan tersebut tetap masuk dalam R-PKPU, maka ubah terlebih dahulu UU-nya.

 

Baca:

 

Tak melanggar HAM

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik menilai, terdapat hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi. Misalnya, hukuman mati dan perbudakan yang tidak boleh dilakukan dalam perspektif HAM. Sementara hak politik  adalah HAM yang dapat dikurangi. Namun dalam rangka mengurangi hak politik itulah dibutuhkan putusan dari pengadilan atau UU.

 

“Itu dibenarkan dalam prinsip HAM. Tetapi secara prinsip itu tidak dilarang mengurangi hak-hak politik seseorang. Karena hak politik itu bukan HAM absolut,” ujarnya.

 

Menurutnya, pengaturan norma tersebut mesti menemui titik temu bakal disepakati atau tidaknya antara pemerintah, DPR, Bawaslu dan KPU.  Yang pasti, kata Damanik, sepanjang  KPU bisa membuktikan tidak adanya indikasi pelanggaran HAM dalam PKPU yang sedang dirancangnya, dan pula dalam rangka kepentingan yang lebih besar.

 

Misalnya, menjamin kualitas dan integritas dari orang-orang yang bakal dipilih oleh masyarakat. Yakni melalui mekanisme pelarangan eks napi maju pencalonan angota legislatif dalam pemilu. Menurutnya pengaturan larangan eks napi nyaleg mesti disepakati. Kendati belum menemui titik temu, Damanik menyarankan KPU melakukan komunikasi secara intensif dengan pemerintah dan DPR. “Supaya ada kesepakatan itu,” katanya.

 

Optimis

Mengenai Menkumham Yasonna H Laoly enggan menandantangani PKPU bila tetap terdapat aturan pelarangan eks napi nyaleg, Zainudin Amali menilai pejabat menteri terkait berhak memastikan aturan tersebut sesuai dengan UU. Sebab bila sebuah peraturan bertentangan UU di atasnya, maka Menkumham yang bisa disalahkan masyarakat.

 

Sementara Wahyu Setiawan masih optimis Menkumham bakal menandantangani R-PKPU. Sebab secara substansial PKPU tersebut sudah ditandatangani oleh Ketua KPU berdasarkan hasil rapat pleno. Hal tersebut sejatinya sudah sah dan menunggu diberlakukan dan diterapkan saja. Karena itulah pemerintah tidak dalam posisi menolak atau tidak menolak.

 

“Tapi tentu saja kan kita komunikasi dengan pemerintah, karena pemerintah adalah mitra kerja KPU sehingga wajar apabila kami juga berkomunikasi dengan pemerintah, DPR dan pihak lain yang jadi mitra kerja kami,” ujarnya.

 

KPU pun berencana bakal melakukan pertemuan dengan pihak Kemenkumham dalam rangka mendiskusikan terkait dengan R-PKPU tersebut. Yang pasti, kata Wahyu, pihaknya optimis rancangan PKPU tersebut bakal segera diundangkan sebagaimana ketentuan pihak Kemenkumham yang mengundangkan R-PKPU tersebut menjadi PKPU.

Tags:

Berita Terkait