Langkah Law Firm Menjadi ‘Besar’ dengan Reputasi Internasional
Corporate Law Firms Ranking 2019

Langkah Law Firm Menjadi ‘Besar’ dengan Reputasi Internasional

​​​​​​​Antara berasosiasi dengan law firm internasional atau menggaji advokat asing. Cara untuk berkembang dalam kualitas layanan dan akses pasar seluas-luasnya.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Berbagai kantor hukum mencari jalan untuk menghadapi persaingan pasar yang kian kompetitif. Klien akan berburu layanan jasa hukum terbaik yang sebanding dengan biayanya. Korporasi yang menjadi pasar bagi corporate law firm pun melakukan hal tersebut.

 

Mengupayakan efisiensi adalah sikap alami dalam berbisnis. Sangat wajar jika korporasi selektif dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk suatu layanan jasa hukum dari law firm. Apalagi dengan semakin banyak corporate law firm yang hadir di Indonesia membuat pilihan yang lebih beragam bagi klien.

 

Jumlah corporate law firm yang kian banyak itu mendorong masing-masing untuk menyajikan kualitas layanan terbaik dengan kredibilitas tinggi. Salah satu cara yang tampak dilakukan banyak corporate law firm adalah berasosiasi dengan law firm internasional atau merekrut advokat asing. Kedua langkah ini menjadi cara untuk memperoleh nama besar di mata klien.

 

Asosiasi dengan Law Firm Internasional

Setidaknya ada 18 corporate law firm skala besar dan menengah yang menyatakan diri berasosiasi dengan law firm internasional. Sebaran wilayah law firm internasional meliputi negara ASEAN, US, UK, Australia, Mesir, Korea Selatan, dan Jepang. Enam dari 18 law firm tersebut menempati posisi 10 teratas dari peringkat Top 30 Largest Indonesia Corporate Law Firms 2019 yaitu Assegaf Hamzah & Partners (AHP), HHP Law Firm, Dentons HPRP, Hiswara Bunjamin & Tandjung (HBT), Ginting & Reksodiputro, dan Soemadipradja & Taher (S&T).

 

Rahmat Sadeli Soebagia Soemadipradja, partner sekaligus pendiri S&T, menjelaskan bahwa asosiasi dengan law firm internasional sebagai cara meningkatkan kemahiran para lawyer di kantornya. Para lawyer memiliki kesempatan lebih banyak belajar untuk memberikan layanan jasa hukum berkualitas internasional. Hal ini difasilitasi oleh pelatihan bersama yang diselenggarakan mitra asosiasi. Bahkan bisa juga terjadi penugasan kerja berkala ke kantor law firm mitra asosiasi di luar negeri.

 

Manfaat lainnya adalah sebagai sarana memperluas pasar. “Untuk mendapatkan klien itu kami mencari dari jaringan law firm internasional yang terafiliasi dengan kami,” katanya. Terakhir, Rahmat mengakui bahwa asosiasi semacam ini akan memberikan reputasi internasional kepada corporate law firm.

 

Tidak hanya dengan satu law firm, S&T yang berdiri sejak 1991 itu tercatat memiliki empat asosiasi dengan law firm internasional. Masing-masing dengan Allen & Gledhill (Singapura), Freshfields Bruckhaus Deringer (UK/Global Firm), Corrs, Chambers & Westgarth (Australia), dan Nagashima Ohno & Tsunematsu (Jepang). Secara unik, S&T tidak pernah mengikuti seleksi untuk berasosiasi karena keempatnya melamar secara khusus untuk bekerja sama. Rahmat mengaku kuncinya adalah membangun kredibilitas sebaik mungkin.

 

Asosiasi ini dibangun secara terpisah antara S&T dengan masing-masing law firm internasional tersebut. Rahmat mengaku bahwa masing-masing mitra asosiasinya memiliki segmentasi pasar berbeda. Oleh karena itu, tidak ada keberatan dari setiap mitranya ketika ia meminta persetujuan untuk menambah mitra asosiasi kedua hingga keempat.

 

Hukumonline.com

 

Anangga Wardhana Roosdiono, partner pendiri Roosdiono & Partners sejak 1999, punya cerita berbeda. Kesadaran soal manfaat dan nilai pentingnya berjejaring dengan law firm internasional diwujudkannya dengan membentuk jaringan regional Asia Tenggara. Bersama dengan firma hukum Malaysia Zaid Ibrahim & Co, Anangga merintis terbentuknya jaringan kerja sama law firm internasional di seluruh negara Asia Tenggara.

 

Jaringan ini diberi nama ZICO Law yang diluncurkan tahun 2011. Pada awalnya Roosdiono & Partners berasosiasi dengan Zaid Ibrahim & Co sejak tahun 2005. Asosiasi ini dikembangkan menjadi jaringan dengan nama bersama setelah memiliki keanggotaan di lima negara Asia Tenggara, namun masing-masing law firm tetap bersifat otonom. Saat ini ZICO Law bisa dikatakan satu-satunya jaringan law firm internasional yang berdiri atas inisiatif law firm Indonesia yaitu Roosdiono & Partners.

 

Menurut Anangga, masing-masing anggota tetap bebas bekerja sama dengan klien atau firma hukum lain selama tidak ada konflik kepentingan dengan anggota jaringan. “Masing-masing anggota itu independen,” ujarnya. ZICO Law mengembangkan standar bersama di antara anggotanya yang eksklusif hanya satu law firm di setiap negara Asia Tenggara.

 

Di sisi lain, SSEK pun sebenarnya memiliki asosiasi dengan law firm internasional melalui skema jaringan. Hal ini dijelaskan oleh Denny Rahmansyah selaku managing partner dari SSEK soal keanggotaan dalam beberapa jaringan perkumpulan law firm internasional. Dilansir dari laman SSEK, corporate law firm yang berdiri tahun 1992 ini bergabung dalam Law Firm Network, The Interlex Group, Transatlantic Law International, First Law International, dan Employment Law Alliance.

 

“Kami bukan bagian dari afiliasi, tapi anggota dari beberapa jaringan perkumpulan,” kata Denny. Menurutnya, afiliasi akan menempatkan posisi sebagai kepanjangan tangan dari law firm internasional. SSEK lebih memilih bergabung sebagai anggota dalam jaringan perkumpulan law firm internasional yang masing-masing tetap bersifat otonom.

 

Model keanggotaan pada jaringan seperti ini diakui Denny memberikan akses pada pasar internasional dengan syarat yang lebih longgar. “Kalau sudah terikat dengan afiliasi, ada batasan kerja dengan law firm lain di luar afiliasi,” ujarnya. Saat anggota jaringan membutuhkan mitra law firm lokal untuk menangani perkara, mereka akan mencari law firm yang sesama anggota. Di sisi lain, tidak ada pembatasan bagi para anggota untuk berjejaring atau berasosiasi dengan law firm lainnya.

 

Baca:

 

Mempekerjakan Advokat Asing

Jumlah tadi belum termasuk corporate law firm yang menyatakan diri mempekerjakan advokat asing tanpa berasosiasi dengan law firm internasional. Tercatat ada tujuh law firm yang mengakui memiliki advokat asing meskipun tidak berasosiasi dengan law firm internasional yaitu Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro (ABNR), Makarim & Taira S., SSEK, Mochtar Karuwin Komar (MKK), Bagus Enrico & Partners (BE Partners), Schinder Law Firm, serta Situmorang & Partners.

 

Ada juga empat corporate law firm yang berasosiasi dengan law firm internasional tanpa memiliki advokat asing bekerja di kantornya. Keempatnya adalah Dentons HPRP, Hermawan Juniarto & Partners, Law Office Yang & Co, dan HWMA Law Firm. Perlu diingat bahwa advokat asing yang bekerja di kantor hukum Indonesia diatur secara khusus oleh UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, Peraturan Menteri Hukum dan HAM, dan Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia.

 

Hukumonline.com

 

Salah satu partner ABNR, Freddy Karyadi, membenarkan bahwa kantor tempatnya bekerja  tidak berasosiasi dengan law firm internasional. Dilansir dari laman ABNR, corporate law firm tertua di Indonesia yang didirikan tahun 1967 ini bergabung dengan jaringan Lex Mundi. Model jaringan ini serupa dengan yang diikuti SSEK.

 

Menurut Freddy, pilihan untuk tidak berasosiasi memberikan peluang tersendiri untuk menerima tawaran kerja sama lepas dari berbagai law firm internasional. “Law firm internasional yang mencari law firm lokal independen juga banyak, mereka lebih nyaman kerja sama dengan yang tidak berafiliasi sehingga menjadi diferensiasi kami,” katanya.

 

Keberadaan advokat asing diakui Freddy sebagai cara untuk transfer keterampilan hukum sekaligus perangkat pemasaran. Reputasi sebagai law firm dengan kualitas internasional dapat ditunjang dengan keberadaan advokat asing yang dipekerjakan. Dengan demikian, ABNR tetap mampu menjanjikan layanan kelas internasional meskipun tanpa berasosiasi dengan law firm internasional.

 

Masih menurut Freddy, advokat asing yang dipekerjakan tentunya memiliki keahlian khusus dan pengalaman internasional yang sudah mumpuni. “Mereka membuat klien lebih yakin, meskipun kami tidak berafiliasi dengan internasional (law firm),” katanya.

 

Berasosiasi dengan law firm internasional atau merekrut advokat asing nampaknya adalah strategi yang masih efektif untuk membangun reputasi. Model yang bisa dilakukan untuk berasosiasi pun ada bermacam-macam pilihan. Mulai dari hubungan terikat antar law firm, jaringan perkumpulan terbatas skala regional, hingga jaringan terbuka skala global dapat dipertimbangkan.

 

Walaupun ada catatan menarik dari Mohamed Idwan Ganie, managing partner Lubis Ganie Surowidjojo (LGS). LGS yang didirikan sejak tahun 1985 tercatat tidak mempekerjakan advokat asing namun berasosiasi dengan Clyde & Co, sebuah law firm internasional yang berpusat di London, UK. Lawyer senior yang akrab disapa Kiki ini mengkritik ketergantungan pada tenaga advokat asing.

 

“Dulu butuh lawyer asing salah satunya karena ada kendala bahasa dengan klien asing,” ia menjelaskan. Menurut Kiki, kemampuan bahasa asing dan keahlian hukum yang makin mumpuni dari corporate lawyer Indonesia seharusnya membuat law firm makin percaya diri tanpa perlu mempekerjakan advokat asing. “Lawyer Indonesia juga sudah bisa, jadi kenapa?” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait