Langgar Syarat Formil, Perppu Ciptaker Harus Dicabut!
Utama

Langgar Syarat Formil, Perppu Ciptaker Harus Dicabut!

Persetujuan dalam Rapat Kerja Baleg-Pemerintah belum dapat dikatakan sebagai persetujuan DPR karena keputusan tertinggi DPR secara kelembagaan ada pada Rapat Paripurna, bukan rapat Baleg. Sementara masa persidangan DPR yang berikut atau terdekat dari pengesahan itu adalah pada Masa Persidangan III Tahun Sidang 2022-2023 yang dimulai pada 10 Januari hingga 16 Februari 2023 atau sudah lewat, sehingga masuk dalam kategori tidak mendapat persetujuan DPR.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit

Alur berpikir yang sama juga terdapat dalam ketentuan mengenai pengesahan Undang-Undang (UU). Pasal 20 ayat (5) UUD NRI 1945 mengatur bahwa dalam hal Rancangan Undang-Undang (RUU) yang telah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, maka RUU sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Pasal 20 ayat (5) itu juga merupakan bentuk dari kepastian hukum keberlakuan suatu UU, sekaligus perimbangan kewenangan DPR dan Presiden mengingat dalam prosesnya, RUU sudah melewati tahap persetujuan bersama DPR dan Presiden. Dalam pelaksanaannya, Pasal 20 ayat (5) tidak memerlukan Presiden yang secara aktif menyatakan tidak setuju pada suatu rancangan undang-undang. Posisi Presiden yang yang tidak mengesahkan RUU pada suatu tempo waktu tertentu pun sudah memenuhi syarat bahwa RUU itu sudah dianggap sah dan harus diundangkan.

Fajri juga meminta DPR untuk stop ugal-ugalan praktik legislasi. Menurutnya, Perppu Ciptaker sudah kontroversial sejak diundangkan pada tanggal 30 Desember 2022. Perppu ini terindikasi mengkhianati amanah Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 yang pada kesimpulannya menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional. Alih-alih memperbaiki proses, Perppu Ciptaker justru dibentuk dengan mengulangi kesalahan yang sama dan tidak memenuhi ruang partisipasi publik yang bermakna.

“Bentuk hukum Perppu sendiri merupakan simbol bahwa Presiden ingin memutuskan secara cepat dan sepihak dengan dalih hal ihwal kegentingan yang memaksa,” kata Fajri.

Permasalahan lain yang patut mendapat sorotan publik adalah abainya Presiden dalam menerapkan batasan untuk menggunakan Perppu sebagai produk hukum dan menginterpretasikan alasan “hal ihwal kegentingan yang memaksa”. Pengaturan mengenai Perppu terdapat dalam dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 dan sudah mendapatkan batasannya dalam Putusan MK 138/PUU-VII/2009.

Seharusnya DPR bersikap kritis dan menggunakan perannya untuk mengimbangi kekuasaan Presiden, mampu dan mau menolak Perppu Ciptaker karena tidak memenuhi batasan yang sudah digariskan MK dalam Putusan MK No.138/PUU-VII/2009 tersebut. Publik perlu mencatat praktik ugal ugalan ini sebagai bagian dari kinerja DPR 2019-2024 yang gagal menjalankan peran esensial sebagai lembaga perwakilan rakyat dan penyeimbang kekuasaan Presiden.

“Ke depan, publik dapat menjadikanya dasar pertimbangan dalam menggunakan hak suaranya dalam Pemilu 2024 kelak,” pesannya.  

Untuk itu, PSHK mendesak: pertama, DPR dan Presiden patuh terhadap Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945, dan tidak memaksakan kehendak untuk tidak mencabut Perppu Ciptaker; kedua Presiden segera mencabut Perppu Ciptaker sebagai kelengkapan administrasi melaksanakan ketentuan Pasal 22 ayat (3) UUD NRI 1945; ketiga Presiden agar tertib dalam menjalankan perannya dengan tidak mudah membentuk Perppu, dan mampu lebih menaati batasan pembentukan Perppu ke depan berdasarkan Putusan MK No.138/PUU-VII/2009; keempat DPR dan Presiden tidak bermanuver ugal ugalan kembali dalam melaksanakan amanat Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 dengan fokus kepada melaksanakan partisipasi masyarakat yang bermakna dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan.

Tags:

Berita Terkait