Lahan Eksplorasi Mineral PKP2B 100.000 Hektare
Berita

Lahan Eksplorasi Mineral PKP2B 100.000 Hektare

Tidak semua smelter dapat dibangun pada 2014 sesuai target renegosiasi kontrak karya.

RED/ANT
Bacaan 2 Menit
Lahan Eksplorasi Mineral PKP2B 100.000 Hektare
Hukumonline

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Thamrin Sihite menyebutkan lahan eksplorasi mineral dalam Kontrak Karya Pengusaha Pertambangan Batu Bara (PKP2B) maksimal 100.000 hektare.

"Wilayah yang ditentukan khusus untuk eksplorasi mineral maksimal 100.000 hektare. Kalau sudah operasi produksi jadi 25.000 hektare," kata Thamrin usai rapat koordinasi PKP2B dan Hilirisasi Pertambangan di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (12/7).

Lahan kontraknya masih eksplorasi tetapi sudah masuk ke tahap produksi. Namun, kata Thamrin, tetap seluas 25.000 hektare. "Yang jadi diskusi tadi, sebelumnya perusahaan tersebut sudah lebih dari 25.000 hektare tetapi dia sudah proses produksi. Nanti kita lihat berapa infrastuktur yang bisa dikurangi, operasi produksinya berapa," katanya.

Ia juga mengatakan bahwa kontrak kerja tersebut bisa diperpanjang dan nanti bentuknya berupa izin usaha pertambangan. "Nah, nanti kita lihat kontraknya bagaimana? Yang jelas harus dikembalikan ke negara menjadi pencadangan negara," ujarnya.

Thamrin juga mengatakan smelter (pengolahan pemurnian) wajib dilaksanakan pada tahun 2014 dan bisa berupa konsorsium, artinya perusahaan kontrakor bisa bergabung dengan perusahaan smelter.

Namun, dia menyebutkan yang baru diolah baru 30 persen dan belum sampai pada 70 persen dan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menyebutkan yang harus diolah dalam negeri batasnya 30 persen. "Kalau memang mereka berniat melakukan pemurnian, tergantung dalam negeri. Dengan batas tiga tahun, mereka sudah melakukan pemurnian, dari situ mungkin pemerintah akan melakukan kebijakan lain," katanya.

Ia mengatakan bahwa masih ada empat perusahaan yang masih sulit dalam renegosiasi PKP2B tersebut terkait dengan UU No. 4 Tahun 2009 yang menyebutkan dalam pemurnian harus meliputi operasinya.

Thamrin mengatakan bahwa keempat perusahaan tersebut belum menyetujui divestasi sebesar 51 persen, khusus untuk hulu sebagai representasi dari penguasaan negara untuk energi yang tak terbarukan. Ia merinci keempat perusahaan tersebut, yakni PT Freeport Indonesia, PT Vale Indonesia, PT Nusa Hamahera Mineral, dan PT Weda Bay Nickel.

"Keempatnya harus menerapkan divestasi 51 persen karena usaha pertambangan pasti ada hulunya. Kalau mereka tidak mau, melanggar peraturan," katanya.

Ia juga mengatakan bahwa royalti akan naik sesuai dengan PP No. 9 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak. "Penerimaan negara harus maksimal dan jangan dilihat dari royalti saja, tetapi juga dari iuran. Iuran produksi juga penerimaan negara. Royalti hanya bagian kecil dari pendapatan negara," katanya.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan tidak semua smelter dapat dibangun pada 2014 sesuai target renegosiasi kontrak karya pengusaha pertambangan batubara dan hilirisasi pertambangan.

"Semua ingin bangun smelter, tetapi tak terkejar pada 2014," kata Hatta.

Hatta menjelaskan sebagian laporan sudah selesai dan semua kontraktor sebagian besar mengikuti apa yang ada dalam ketentuan. Namun, dia mengakui ada beberapa kontraktor yang belum menyetujui ketentuan tersebut.

"Mereka mengikuti semua apa yang ada dalam ketentuan kita dan ada yang menerima, tetapi sebagian masih belum. Kalau kita sesuai undang-undang, semua smelter harus dibangun,' katanya.

Dia juga menegaskan tidak ada perusahaan yang menolak baik terkait smelter maupun royalti. "Tidak ada yang menolak, hanya masih berlangsung. Smelter semua setuju, royalti naik mau, hilirisasi mau, pengurangan lahan mau, lokal konten mau. Apalagi? Smelter itu kewajiban di 2014. Kemungkinan mereka tidak selesai tetapi mau," katanya.

Hatta menyebutkan beberapa perusahaan besar sudah menyatakan keinginannya, seperti PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara yang menyetujui divestasi sebesar 51 persen.

Karena itu, dia mengatakan akan mengkaji bagaimana langkah-langkah untuk memutuskan kebijakan renegosiasi kontrak karya tersebut sesuai UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. "Ini sedang dibahas tim ahli bagaimana treatment-nya," katanya.

Namun, dia menegaskan pemerintah tetap meminta menaikkan royalti untuk meningkatkan penerimaan negara. "Semua setuju angka royalti. Yang lama sebesar 1 persen, sekarang kita naikkan tetapi ini masih dalam renegosiasi," katanya.

Dia mengatakan rezimnya harus jelas, yakni terkait hulu yang memegang penuh Kementerian ESDM, sementara untuk hilir diserahkan kepada Kementerian Perindustrian.

Sebelumnya, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) akan memperjuangkan agar perusahaan pertambangan batubara baik pemegang kontrak karya pemegang izin PKP2B maupun perusahaan izin usaha tambang IUP untuk membayar royalti minimal 25 persen.

Menurut Ketua Apkasi, Isran Noor, selama ini kontrak karya pemegang izin PKP2B membayar royalti kepada negara sebesar 13,5 persen dan perusahaan izin usaha tambang IUP bervariasi antara 3-7 persen. “Perjuangan Apkasi berikutnya adalah perusahaan pertambangan batubara PKP2B dan IUP wajib membahyar minimal 20 persen royalti kepada Negara,” kata Isran.

Isran mengatakan, dari 13,5 persen royalti yang dibayar kepada negara, pemerintah daerah hanya memperoleh 3 persen dan pemerintah pusat menerima 10,5 persen. Menurutnya, ini harus direvisi karena tidak sesuai dengan amanat UUD 1945 dan konstitusi negara, bahwa seluruh kekayaan yang terkandung didalamnya, air, bumi laut dan yang terkandung didalamnya dikuasai dan dikelola negara dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat.

“Royalti PKP2B hanya 13,5 persen dan IUP bervariasi 3-7 persen, itu tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat jika dibandingkan dengan dampak yang diakibatkan aktivitas tambang,” ujar Isran.

Tags: