Lagi, BIN dan TNI Diberi Kewenangan Menangkap
Berita

Lagi, BIN dan TNI Diberi Kewenangan Menangkap

Sama seperti RUU Intelijen, RUU Keamanan Nasional yang diserahkan pemerintah ke DPR ternyata juga memberi kewenangan kepada BIN untuk melakukan penyadapan dan penangkapan.

Ali
Bacaan 2 Menit
Menhan Purnomo Yusgiantoro (kiri) katakan kewenangan  intelijen<br> menyadap dan menangkap dibutuhkan dalam pemberantasan<br> kasus terorisme. Foto: SGP
Menhan Purnomo Yusgiantoro (kiri) katakan kewenangan intelijen<br> menyadap dan menangkap dibutuhkan dalam pemberantasan<br> kasus terorisme. Foto: SGP

Belum selesai perdebatan kewenangan penyadapan dan penangkapan oleh Badan Intelijen Negara (BIN) dalam RUU Intelijen, kali ini kewenangan serupa juga ada dalam RUU Keamanan Nasional. “Drafnya sudah selesai digodok pemerintah, sekarang sudah ada di tangan parlemen,” ujar Direktur Program Imparsial Al Araf di Jakarta, Jumat (25/6).

 

Al Araf menunjuk Penjelasan Pasal 54 huruf e RUU Keamanan Nasional yang memberikan kewenangan penangkapan dan penyadapan sekaligus kepada BIN. Bukan hanya kepada BIN, Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga diberi kewenangan yang seharusnya hanya dimiliki oleh penegak hukum itu.  

 

Penjelasan Pasal 54 huruf e menyatakan Kuasa khusus yang dimiliki oleh unsur Keamanan Nasional berupa hak menyadap, memeriksa, menangkap dan melakukan tindakan paksa sah lainnya pengawasannnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Lalu siapa yang dimaksud sebagai unsur keamanan nasional dalam RUU ini?

 

Pasal 20 menyebutkan unsur keamanan nasional adalah Kementerian, TNI, Polri, Kejagung, BIN, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Narkotika (BNN), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Lembaga Pemerintah non Kementerian Terkait. Al Araf menyoroti adanya TNI dan BIN yang berwenang menyadap dan menangkap itu.

 

“Pasca reformasi kan sudah jelas bahwa tugas TNI itu menyangkut bidang pertahanan, sedangkan penegakan hukum diserahkan ke Polri dan Kejaksaan. Dengan memberikan kewenangan kepada TNI (dan BIN) untuk menyadap dan menangkap berarti ada upaya ingin mengembalikan ke era orde baru,” ujarnya.

 

Lebih lanjut, Al Araf menegaskan bahwa penyadapan dan penangkapan merupakan wilayah penegakan hukum. Sehingga, tidak tepat bila lembaga seperti TNI dan BIN memiliki kewenangan seperti ini. “Kalau Polri dan Kejaksaan boleh lah, kan mereka lembaga penegak hukum,” tuturnya.

 

Koordinator Riset Imparsial Batara Ibnu Reza mengkhawatirkan terlalu luasnya unsur keamanan nasional yang bisa melakukan penyadapan dan penangkapan. Ia menunjuk Lembaga Pemerintah non Kementerian Terkait sebagai salah satu unsur keamanan nasional yang bisa mendapatkan kewenangan itu. “Nanti bisa ditafsirkan Satpol PP berwenang menyadap dan menangkap. Ini kan kebablasan,” ujarnya.

 

“Kami meminta DPR mencermati dan menolak RUU Keamanan Nasional yang telah diajukan oleh pemerintah ini,” tegas Batara.

 

Sekadar mengingatkan, pembahasan RUU Intelijen yang sedang berlangsung di DPR masih berlarut-larut. Pasalnya, sejumlah fraksi menolak kewenangan penyadapan dan penangkapan yang dilakukan oleh BIN. Alasannya, karena penyadapan dan penangkapan wilayah penegakan hukum.

 

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi I dari Fraksi PDIP Tubagus Hasanuddin menegaskan fraksinya secara tegas menolak kewenangan intelijen menangkap. Bila kewenangan dalam RUU Intelijen ini tetap dipaksakan melalui voting, ia menegaskan Fraksi PDIP akan walk out (meninggalkan sidang). Sementara, Menteri Pertahanan (Menhan) Purnomo Yusgiantoro mengatakan kewenangan penyadapan dan penangkapan oleh intelijen sangat dibutuhkan dalam pemberantasan kasus terorisme.

Tags: