KY Minta Hakim Ultra Petita Demi Keadilan
Berita

KY Minta Hakim Ultra Petita Demi Keadilan

MA pernah membuat putusan yang bersifat ultra petita dalam kasus Kedung Ombo.

ASH
Bacaan 2 Menit
Ketua KY Eman Suparman (tengah) memimpin acara tahapan seleksi wawancara calon hakim agung. Foto: Sgp
Ketua KY Eman Suparman (tengah) memimpin acara tahapan seleksi wawancara calon hakim agung. Foto: Sgp

Hari ini, Senin (26/11), KY memulai tahap seleksi wawancara calon hakim agung. Dalam salah satu sesi wawancara, Ketua KY Eman Suparman menyatakan seorang hakim dalam menjalankan tugas seyogyanya tidak selalu menjadi corong undang-undang.

Menurut Eman, larangan ultra petita (putusan yang melebihi apa yang diminta penggugat, red) yang dikenal dalam hukum acara perdata seharusnya tidak selalu bisa diterapkan. Apalagi, ketika nilai keadilan dikorbankan.        

Hamdi, salah seorang calon hakim agung, menyatakan tidak setuju dengan pendapat Ketua KY. “Saya tidak setuju mengabulkan ultra petita karena memang undang-undang melarang hakim menjatuhkan putusan ultra petita, ini diatur dalam HIR,” kata Hamdi yang saat ini berstatus hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi Yogyakarta.

Merespon jawaban Hamdi, Eman mengatakan putusan ultra petita dalam perkara perdata pernah terjadi di Indonesia. Bahkan, putusan itu dibuat oleh MA. Kala itu, Hakim Agung Prof Asikin Kusumah Atmadja (alm) membuat putusan ultra petita dalam perkara sengketa tanah di Kedung Ombo.

“Kalau ultra petita dilarang akan menimbulkan ketidakadilan masyarakat Kedung Ombo karena harga tanah Rp1.000 per meter tetap dihargai segitu. Padahal 10 tahun kemudian harga tanah sudah naik 20 kali lipat (Rp20 ribu). Semestinya, dalam kasus ini ultra petita dibolehkan demi keadilan dan kemanfaatan masyarakat Kedung Ombo,” ujar Eman.      

Menurut dia, hakim dituntut untuk memberikan keadilan substansial kepada masyarakat pencari keadilan agar tidak terkesan hakim hanya sebagai corong undang-undang. “Ini ‘bekal’ buat Bapak kalau nanti terpilih sebagai hakim agung, tolong perhatikan kebutuhan masyarakat agar bisa menjadi hakim progresif,” kata Eman berpesan.

Eman menjamin apabila ada seorang hakim yang membuat putusan ultra petita dengan pertimbangan seperti kasus Kedung Ombo, maka hakim tersebut tidak akan dianggap melanggar kode etik dan perilaku. “Jika ada gugatan seperti itu, Bapak boleh menjatuhkan putusan ultra petita, Bapak tidak akan diperiksa KY dan MA,” ujarnya.       

Pada giliran hari pertama, selain Hamdi, calon hakim agung yang menjalani seleksi wawancara antara lain Cicut Situarso (Dirjen Badilum), Yakup Ginting (Hakim PT Makassar), Anthon R Saragih (Kadimilti II Jakarta), dan Chairil Anwar (Hakim PT DKI). Para calon hakim agung tersebut, semuanya berasal dari jalur karier.

Seleksi wawancara dilakukan oleh tujuh komisioner KY dibantu dua panelis dari luar yakni Hakim Agung Atja Sondjaja dan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Prof Saldi Isra. 

Tak Paham Concurring
Kejadian menarik muncul ketika Prof Saldi Isra bertanya soal concurring opinon (alasan berbeda). Hamdi terkesan tidak paham istilah itu. Dengan alasan concurring opinion adalah istilah baru baginya, Hamdi hanya mengatakan apabila dalam majelis ada salah satu hakim yang tidak setuju dengan putusan majelis.

“Yang saya tanya bukan dissenting opinion (pendapat berbeda), tetapi concurring,” kata Saldi mengingatkan. Hamdi mengaku istilah itu baru baginya.

Seperti halnya Hamdi, Yakup Ginting juga terkesan juga tak paham tentang istilah concurring opinion. Ia mengaku sama sekali tak mengerti dengan istilah itu. “Saya tidak mengerti sama sekali istilah concurring,” kata Ginting.

Akhirnya, Saldi menjelaskan concurring opinion adalah ketika salah seorang anggota majelis menyatakan alasan yang berbeda dalam putusan, tetapi kesimpulan pendapatnya sama dengan anggota majelis yang lain. “Jadi istilah concurring juga dikenal selaindissenting,” imbuhnya.

Sebagai catatan, istilah concurring opinion memang tidak lazim diterapkan dalam putusan-putusan pengadian umum di bawah MA. Istilah ini justru sering diterapkan dalam putusan-putusan MK.

Tags: