KY Masih Tunggu Salinan Putusan Lepas Syafruddin
Berita

KY Masih Tunggu Salinan Putusan Lepas Syafruddin

MA berharap dalam melakukan pemeriksaan, KY tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Kurnia Ramadhana (kiri) saat menyerahkan berkas laporan kepada Ketua KY Jaja Ahmad Jayus (kanan) di Gedung KY Jakarta, Selasa (23/7). Foto: RES
Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Kurnia Ramadhana (kiri) saat menyerahkan berkas laporan kepada Ketua KY Jaja Ahmad Jayus (kanan) di Gedung KY Jakarta, Selasa (23/7). Foto: RES

Komisi Yudisial (KY) masih menunggu salinan resmi putusan kasasi yang melepaskan Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) dari segala tuntutan hukum (ontslag van allerechtsvervolging) atas dugaan korupsi penghapusan piutang (tagihan) BLBI. Ini sehubungan adanya laporan Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari ICW, LBH Jakarta, YLBHI, melaporkan dua hakim agung yang memutus lepas Syarifuddin yakni Syamsul Rakan Chaniago dan Mohamad Askin.

 

Ketua KY Jaja Ahmad Jayus mengatakan KY masih memeriksa laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH) saat memutus lepas Syafruddin dalam kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang diduga merugikan keuangan negara Rp4,58 triliun.

 

“Kita masih menunggu salinan putusan kasasi yang memutus lepas Syafruddin,” kata Jaja Ahmad Jayus saat dihubungi Hukumonline, Senin (29/7/2019). Baca Juga: Terdakwa SKL BLBI Lepas, Ketua MA: Itu Teknis Yudisial

 

Jaja menjelaskan jangka waktu proses laporan  ini maksimal 60 hari. Tentunya, KY sedang mendalami dugaan pelanggaran KEPPH yang dilaporkan Koalisi. Jika nantinya ditemukan adanya pelanggaran KEPPH, pihaknya akan menjatuhkan sanksi terhadap dua hakim agung tersebut sesuai tingkat kesalahannya.   

 

"Tergantung nanti tingkat kualifikasi pelanggarannya. Sanksinya ada ringan sampai yang berat. Sanksi ringan diberikan teguran lisan, tertulis, pernyataan tidak puas. Sanksi sedang sampai ada nonpalu sampai 6 bulan. Kalau sanksi berat mulai sanksi nonpalu 6 bulan lebih hingga pemberhentian dengan tidak hormat," kata Jaja.

 

Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro mengaku belum mengetahui secara pasti apakah salinan putusan kasasi Syafruddin sudah selesai diminutasi. "Nanti saya cek dulu (di kepaniteraan MA)," kata Andi saat dihubungi.  

 

Menurutnya, laporan terhadap dua hakim agung itu merupakan hak mereka jika merasa dirugikan. “Jika memang ada pelanggaran kode etik dan perilaku hakim dibalik vonis lepasnya terdakwa SAT itu, ya silakan diproses. Itu urusan KY.” 

 

“Tapi, kita berharap dalam melakukan pemeriksaan, KY tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah. Apalagi objek pemeriksaan berhubungan dengan teknis yudisial,” katanya.

 

Sebelumnya, perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyampaikan beberapa alasan yang mendasari laporan dugaan pelanggaran KEPPH dua hakim agung itu pada Selasa (23/7/2019) lalu. Koalisi menilai putusan kasasi Syafruddin kurang tepat. Sebab, kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sudah memenuhi unsur korupsi karena merugikan negara sebesar Rp4,58 triliun.

 

Putusan sidang praperadilan sudah menyatakan penanganan perkara Syafruddin oleh KPK sudah sesuai prosedur hukum acara pidana. Koalisi juga menganggap putusan MA dalam perkara kasasi Syafruddin timpang atau jomplang dengan vonis pengadilan sebelumnya. Di pengadilan tingkat pertama Syafruddin divonis 13 tahun penjara dan putusan banding menambah hukuman itu menjadi 15 tahun penjara. Namun, anehnya di sidang kasasi, Syafruddin justru dilepaskan atau bebas.

 

Sayangnya, Ketua Majelis tidak menambah komposisi hakim saat terjadi dissenting opinion. Padahal, Pasal 15 UU No. 14 Tahun 1970 jo UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK menyebutkan setiap pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim, kecuali apabila undang-udang menentukan lain.

 

Aturan itu, bermakna tidak ada larangan sama sekali ketika Majelis menambah komposisi hakim saat terjadi dissenting opinion. Tapi Ketua Majelis tak berinisiatif menambah komposisi Majelis. Padahal dimungkinkan ketika ada deadlock putusan atau voting bisa menambah majelis agar pertimbangan lebih fair.

 

Koalisi mempersoalkan juga salah satu hakim perkara kasasi Syafruddin yang tercatat masih memiliki kantor advokat. Padahal, UU Kekuasaan Kehakiman melarang hakim rangkap jabatan sebagai advokat. Dia berharap KY aktif menindaklanjuti laporan Koalisi dan segera memanggil dua hakim agung tersebut untuk menjalani pemeriksaan. 

 

Pada Selasa (9/7) lalu, majelis kasasi yang terdiri atas Salman Luthan selaku ketua majelis bersama Syamsul Rakan Chaniago dan Mohamad Asikin selaku anggota, menjatuhkan vonis lepas Syafruddin. Dalam putusan kasasi bernomor 1555 K/PID.SUS/2019 tertanggal 9 Juli 2019 ini membatalkan dua putusan tingkat judex factie yang menghukum Syafruddin selama 13 tahun penjara dan 15 tahun penjara.      

 

Terdakwa Syafruddin dinilai terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan kepadanya. Akan tetapi, perbuatannya itu tidak merupakan suatu tindak pidana (korupsi). Dalam putusannya, Majelis juga memerintahkan Syafruddin dikeluarkan dari tahanan. Namun, putusan ini tidak bulat karena Hakim Agung Salman Luthan mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda).

 

Salman sependapat dengan putusan judex factie di tingkat banding yang menghukum Syafruddin selama 15 tahun penjara. Anggota Majelis Syamsul Rakan Chaniago menilai perbuatan Terdakwa bukan merupakan tindak pidana, melainkan perbuatan masuk dalam lingkup hukum perdata. Sedangkan, Anggota Majelis Mohamad Askin berpendapat perbuatan Terdakwa masuk dalam lingkup hukum administrasi (concurring opinion).  

Tags:

Berita Terkait