KY Ingatkan ‘Hukum Tidak Tertulis’ Terkait Putusan Eks Koruptor Boleh Nyaleg
Berita

KY Ingatkan ‘Hukum Tidak Tertulis’ Terkait Putusan Eks Koruptor Boleh Nyaleg

Namun, putusan MA sekalipun begitu, dapat dipandang sebagai koreksi jaminan hak dimaksud oleh negara selama ini.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
KY Ingatkan ‘Hukum Tidak Tertulis’ Terkait Putusan Eks Koruptor Boleh Nyaleg
Hukumonline

Mahkamah Agung (MA) telah memutus uji materi Pasal 4 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/Kota pada Kamis (13/9/2018). MA mengabulkan Peraturan KPU tersebut yang melarang mantan narapidana bandar narkoba, pelaku kejahatan seksual terhadap anak, dan mantan koruptor menjadi calon legislator (caleg) dalam Pemilu 2019.

 

Majelis  Hakim Agung, yang diketuai Irfan Fachrudin beranggotakan Yodi Martono dan Supandi dengan nomor perkara 45 P/HUM/2018 yang dimohonkan Wa Ode Nurhayati, menilai Peraturan KPU tersebut bertentangan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan putusan MK yang telah memperbolehkan mantan narapidana (ancaman pidananya 5 tahun atau lebih) menjadi caleg sepanjang yang bersangkutan mengumumkan kepada publik bahwa dirinya merupakan mantan terpidana.

 

Sontak, putusan MA ini menimbukan beragam komentar dari sejumlah kalangan baik yang mengapresiasi maupun mengkritik terutama dari pegiat aktivis pemilu dan korupsi. Bahkan dikabarkan, sejumlah koalisi LSM bakal melakukan eksaminasi atas putusan uji materi Peraturan KPU tersebut. Tak terkecuali bagi Komisi Yudisial (KY) sebagai mitra MA dalam upaya menegakan kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH).        

 

“Bagi KY, putusan hakim bukan hanya dokumen publik berisi pertimbangan hukum, tetapi juga sebagai ‘mahkota’ hakim yang mencerminkan profesionalisme dan integritas hakim,” ujar Juru Bicara KY Farid Wajdi saat dikonfirmasi, Senin (17/9/2018). Baca Juga: MA Putuskan Mantan Narapidana Korupsi Boleh Nyaleg

 

Farid menerangkan putusan hakim juga bisa dipersepsikan sebagai keberpihakan nilai, sekaligus cara berpikir hakim. Melalui putusannya, seorang hakim bisa dinilai apakah berpikir positivis atau ikut turut juga menggali konten lain di luar aturan hukum positif atau yang lazim yang disebut menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.  

 

Menurutnya, polemik tentang boleh atau tidaknya mantan terpidana korupsi mencalonkan kembali sebagai anggota legislatif turut menguji kredibiltas dunia peradilan kita. Melalui isu ini, publik juga akhirnya dapat melihat bagaimana dan ke mana arah dunia peradilan kita berpihak.

 

Untuk dimensi ini, kata Farid, sesuai ketentuan Pasal 50 UU 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa sebuah pertimbangan hukum dalam putusan hakim harus memuat “Alasan dan dasar hukum baik yang bersumber dari hukum positif maupun hukum tidak tertulis."

 

Baginya, penyebutan “hukum tidak tertulis” sejalan dengan makna nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sekaligus kondisi yang secara sosiologis terjadi pada sebuah ruang dan waktu. Karena itu, hal ini terlalu jelas untuk dikesampingkan (oleh MA). Padahal, sejak tahun 2009, peradilan kita dikehendaki untuk tidak selalu jadi peradilan yang positivis.

 

“Tidak boleh ada vonis apakah ‘benar atau salah’ tentang putusan yang sudah diambil oleh Majelis MA dalam perkara ini. Yang tinggal adalah bagaimana sebetulnya keberpihakan dunia peradilan kita,” kata dia.

 

Dia menilai semangat larangan bagi terpidana korupsi untuk menjadi anggota legislatif adalah hal yang baik sebagai mekanisme jaminan negara untuk mendapatkan orang-orang yang baik. Namun, menurutnya putusan MA sekalipun begitu, dapat dipandang sebagai koreksi jaminan hak dimaksud oleh negara selama ini.

 

“Bisa jadi, melarang pencalonan memang betul tidak efektif atau cenderung ‘menabrak’ aturan dasar. Karena masih ada cara lain sebagai bentuk pendewasaan publik. Misalnya menandai/mendeklarasikan sejumlah calon sebagai mantan terpidana korupsi bisa jadi jauh lebih efektif,” tambahnya.

 

Sebelumnya, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyayangkan putusan MA tersebut yang dinilai masih memberi kesempatan bagi mantan narapidana kembali mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Padahal, dengan peraturan KPU sebelumnya yang melarang mantan narapidana korupsi maju sebagai caleg justru dapat memperbaiki kualitas caleg yang dihasilkan dalam Pemilu 2019.

 

“Meskipun di awal KPK sangat berharap adanya perbaikan sangat signifikan yang bisa dilakukan bersama-sama untuk menyaring caleg agar tidak terjadi lagi korupsi di DPR atau DPRD. Di mana untuk kasus yang diproses KPK untuk DPRD saja ada 1.146 anggota dan kemungkinan akan bertambah sepanjang ada bukti yang cukup. Dan juga ada lebih dari 70 anggota DPR. Dengan fenomena ini, harapannya parlemen bisa lebih bersih, sehingga bisa disaring sejak awal,” ungkap Febri.

 

Untuk diketahui, selain Wa Ode Nurhayati, ada sekitar 11 pemohon lain yang mengajukan uji materi Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 huruf g Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 dan Pasal 60 huruf j Peraturan KPU No. 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah. Intinya, mereka menilai kedua Peraturan KPU tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu.

Tags:

Berita Terkait