KY: Masalah Internal MA Tutupi Kinerja Bagus
Berita

KY: Masalah Internal MA Tutupi Kinerja Bagus

Kepercayaan publik belum pulih.

ASH
Bacaan 2 Menit
Acara Seminar
Acara Seminar "Mengembalikan Keagungan Mahkamah Agung" di Dewan Pers, Rabu (21/5). Foto: RES
Ketua KY Suparman Marzuki menilai dalam perkembangan kinerja MA dari masa ke masa mengalami kemajuan. Namun, sayangnya kemajuan ini tidak nampak ke permukaan karena masalah di internal lembaga peradilan  itu sendiri jauh lebih besar.

“Jadi hingga saat ini kepercayaan publik kepada institusi lembaga peradilan atau MA masih belum pulih,” kata Suparman dalam acara diskusi bertajuk “Mengembalikan Keagungan Mahkamah Agung”, di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Rabu (21/5).

Selain menampilkan Suparman Marzuki, diskusi yang diselenggarakan Alumni Lintas Perguruan Tinggi ini juga menampilkan narasumber lain yakni Ketua Dewan Pers Prof Bagir Manan, mantan Jaksa Agung Abdul Rachman Saleh, mantan Hakim Agung Prof Laica Marzuki, Mantan Hakim Teladan Asep Iwan Iriawan, dan Deputi IV UKP4 Mas Ahmad Santosa.   

Suparman melanjutkan indikator belum pulihnya kepercayaan publik itu seringkali putusan pengadilan dicurigai dan dilaporkan masyarakat yang merasa dirugikan ke KY terkait proses pengadilan negeri, pengadilan tinggi hingga MA. Misalnya, setiap bulannya KY menerima rata-rata sekitar 200-250 pengaduan yang sebagian besar menyangkut putusan bermasalah, selain proses persidangan dan perilaku murni.

“Masalahnya sangat besar, sehingga sekarang bagaimana lembaga peradilan harus terus menerus membangun trust (kepercayaan) masyarakat,” sarannya.

Deputi IV Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Mas Ahmad Santosa menilai dalam sepuluh tahun terakhir kinerja MA mengalami kemajuan sejak diterbitkannya cetak biru MA tahun 2003 dalam upaya memperbaiki sistem peradilan di Indonesia. Misalnya, perbaikan pengawasan hakim, mengurangi tunggakan perkara, keterbukaan informasi pengadilan, sertipikasi hakim khusus.  

“Tetapi, masih banyak pekerjaan rumah masih tertunda terutama menyangkut putusan pengadilan yang sering dipersoalkan publik,” kata Mas Ahmad Santosa.

Pria yang akrab disapa Ota ini menyebutkan satu persoalan krusial yakni sulitnya mengadili putusan pengadilan. Hal ini potensial menimbulkan kesalahan karena putusan pengadilan berisi fakta hukum yang diputus berdasarkan keyakinan hakim; informasi yang diberitakan media seringkali bias; kurangnya pertimbangan sebuah putusan.

Selain itu, persoalan minimnya integritas di kalangan hakim yang menimbulkan kecurigaan publik. “Bisa jadi karena adanya faktor suap, tekanan atasan, tekanan media,” kata Ota.           

Hakim Bukan ‘Algojo’
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Pers Bagir Manan menegaskan hakim  yang memiliki kewenangan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara bukanlah “algojo”. Dalam arti, hakim hanya kecenderungannya menghukum setiap terdakwa.  “Hakim harus bertindak sebagai penegak keadilan,” kata Bagir.

Mantan Ketua MA Bagir ini menegaskan seorang hakim juga bukanlah algojo, melainkan orang yang semestinya memberikan dan menegakkan keadilan. Artinya bila memang yang tertuduh itu tidak bersalah, maka sebaiknya dia dibebaskan, bukan tetap memberikan hukuman lantaran gengsi.

Dia mencontohkan kasus dugaan korupsi yang membelit Ahmad Fathanah. Fathanah ditangkap KPK karena menerima uang suap yang niatnya untuk diberikan kepada Luthfi Hasan Ishaq. Menurut Bagir itu bukan merupakan uang negara karena diberikan oleh swasta. Korupsi itu merupakan bentuk tindakan yang merugikan keuangan negara.

Lagipula, uang yang dipegang Fathanah itu, katanya akan diberikan kepada Luthfi. Ini artinya baru niat, dan hukum tidak mengadili niat. “Hakim itu memberikan keadilan, kalau dia bebas ya harus bebas, bukan karena gengsi (beri hukuman),” katanya.

Pengadilan Khusus Dikritik
Secara institusional tatanan lembaga peradilan di Indonesia dinilai juga sudah rusak, sehingga perlu dibenahi agar menjadi lebih baik. Salah satunya, banyak pengadilan khusus yang dibentuk tidak didasarkan undang-undang.   

“KPK dan Pengadilan Tipikor itu sudah benar, tetapi pengadilan niaga, pengadilan perikanan, itu pengadilan yang tidak berdasar undang-undang,” kata Mantan Hakim Teladan, Asep Iwan Iriawan dalam acara diskusi bertajuk “Mengembalikan Keagungan Mahkamah Agung”, di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Rabu (21/5).

Asep mengatakan MA merupakan lembaga peradilan tertinggi, dimana presiden itu dulu disumpah di hadapan Ketua MA. “Sekarang MA sudah menjadi Mahkamah Asep atau Mahkamah Arogansi,” sindir Asep.  

Dia tegaskan banyak pengadilan khusus yang dibentuk berdiri tanpa dibuatkan undang-undang tersendiri, hanya menginduk dari undang-undang.Tak heran saat ini bermunculan berbagai pengadilan khusus, seperti pengadilan lingkungan hidup, pengadilan HAM, pengadilan perikanan, dan lain-lain. Padahal, berbagai pengadilan itu dibuat tidak ada hakimnya.

Akibatnya, sambung Asep, saat ini pengadilan tipikor itu sulit untuk mencari hakim ad hoc tipikor. Kebanyakan job seeker yang merupakan pengacara ‘kampung’ yang dulu menangani penceraian. “Tak heran, banyak hakim-hakim itu yang terlibat berbagai kasus, seperti di Pengadilan Tipikor Semarang,” ungkapnya.
Tags:

Berita Terkait