Kurator Telkomsel Sayangkan Sanksi MA
Berita

Kurator Telkomsel Sayangkan Sanksi MA

Keadilan bersifat semu. Undang-Undang harus memuat nilai-nilai keadilan dan suasana kebatinan masyarakat.

HRS
Bacaan 2 Menit
Kurator Telkomsel Sayangkan Sanksi MA
Hukumonline

Kisruh kepailitan PT Telekomunikasi Selular Tbk (Telkomsel) berakhir tragis. Empat majelis hakim yang terlibat dalam perkara pailit Telkomsel di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dijatuhi sanksi mutasi dan pencabutan status hakim niaga oleh Mahkamah Agung.

Mahkamah Agung berpandangan empat hakim tersebut telah melanggar salah satu kode etik hakim yang mengharuskan hakim memberikan keadilan bagi semua pihak dan tidak beriktikad semata-mata untuk menghukum.

Keputusan MA tersebut menuai perdebatan. Edino Girsang misalnya, salah satu kurator Telkomsel kala itu. Edino mempertanyakan tolok ukur Mahkamah Agung menjatuhkan sanksi tersebut kepada empat hakim di Pengadilan Niaga Jakarta. Edino tidak mengetahui apakah sanksi dikenakan lantaran perilaku hakim tersebut tercela atau karena substansi putusan termasuk gara-gara besaran imbalan jasa kurator semata.

Apabila sanksi Mahkamah Agung karena putusan yang dijatuhkan hakim tingkatpertama, Edino merasa sanksi tersebut tindak pantas diterapkan. Menurutnya, majelis Pengadilan Niaga telah memutus berdasarkan bukti-bukti dan berkas-berkas yang ada selama persidangan. Apabila tidak sepakat dengan putusan tersebut, para pihak dapat mengajukan upaya hukum. Disparitasputusan antara pengadilan tingkat pertama dengan tingkat terakhir adalah wajar karena wewenang pengadilan yang lebih tinggi memperbaiki atau mengubahputusan pengadilan lebih rendah.

“Saya tidak pernah mengetahui ada majelis hakim yang diberikan sanksi karena disparisi putusan. Soalnya, majelis tersebut telah memutus berdasarkan pengetahuannya dan keadilannya sendiri,” pungkas Edino.

Apabila dijatuhkannya sanksi karena perilaku hakim, Edino berani memastikan tidak ada kongkalikong antara kurator dan majelis untuk merampok uang negara. Bahkan Edino menantang untuk melihat jejak rekamnya. “Justru kamiini (tim kurator Telkomsel, red) paling takut dengan hukum. Anda bisa cek track record saya,” tutur Edino ketika dihubungi hukumonline, Selasa (16/4).

Terkait dengan jumlah fee kurator yang harus dibayar Telkomsel senilai Rp146,8 miliar dinilai tidak adil dan terlalu banyak, Edino mempertanyakan parameter dari tidak pantas dan tidak adilnya hal tersebut. Tidak ada parameter yang jelas untuk menilai suatu keadilan. Bagi debitor, imbalan jasa kurator yang dinilai adil adalah serendah-rendahnya,sedangkan bagi kurator adalah setinggi-tingginya. Subjektivitas mengukur rasa keadilan itu tinggi.

Demi membatasi dua kubu ini, rasa keadilan tersebut tentu harus dikembalikan ke peraturannya. Dari peraturannya sendiri, yaitu Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.09-HT.05.10 Tahun 1998 mengatakan apabila status pailit dicabut di tingkat kasasi, Keputusan Menteri tersebut mengatur imbalan jasa maksimal 2% dari aset debitor meskipun tidak ada pemberesan yang dilakukan kurator. Sedangkan itu, majelis juga telah mengurangi permohonan kurator dari 1% menjadi 0,5% dari aset debitor.

Ketua DPC Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Jakarta Pusat, Jamaslin Purba,mengatakan meskipun peraturannya mengatakan maksimal 2% dari aset, hakim tidak seharusnya menerapkan peraturan tersebut tanpa memperhatikan aspek lainnya. Pria yang biasa disapa James ini mengatakan seharusnya majelis tidak perlu menerapkan angka 0,5% yang jika dinominalkan mencapai ratusan miliarkalau tidak ada upaya pemberesan yang dilakukan kurator sehingga tingkat kerumitannya tidak terlalu berat.

Menanggapi hal tersebut, Edino mengingatkan untuk tidak hanya melihat dari total nominal, tetapi juga lihat status debitor. Menurutnya,  kasus Telkomsel ini adalah kasus yang jarang terjadi di Indonesia dimana debitornya memiliki harta. Jadi, normal saja jika kurator mendapat banyak imbalan meskipun hanya menerapkan 0,5% dari aset debitor. Juga, Edino menegaskan agar publik tidak hanya melihat utang yang diderita Telkomsel sebanyak Rp5,3 miliar semata, tetapi Telkomsel mempunyai tagihan senilai Rp13 triliun dengan 78 kreditor.

 “Kami hanya minta 0,25 dari Telkomsel. Itu saja masih dibilang tidak pantas. Kalau lebih rendah lagi daripada itu, giliran kurator nanti yang berteriak. Jadi, subjektivitas keadilan itu tinggi,” tukas Edino.

Sementara itu, pengajar Hukum Kepailitan Universitas Indonesia Teddy Anggoro juga tidak melihat kesalahan yang dilakukan majelis hakim dan hakim pengawas dari perkara Telkomsel ini. Teddy berpendapat majelis hakim dan hakim pengawas tidak dapat disalahkan.

Atas hal ini, Teddy berpandangan Mahkamah Agung telah tutup mata dalam memutuskan persoalan ini. Teddy melihat Mahkamah Agung tidak memosisikan dirinya sebagai hakim di tingkat pertama. Soalnya, majelis hakim di pengadilan niaga memutus perkara berdasarkan judex factie, berdasarkan fakta-fakta yang ada di persidangan. Hal ini memiliki kompleksitas yang berbeda ketika judex factie dibenturkan dengan undang-undang.

Lebih lagi, majelis hakim di tingkat pertama tidak memiliki keleluasaan untuk menemukan hukum. Pasalnya, Indonesia adalah negara yang menganut sistem hukum Civil Law, dimana sistem hukumnya menempatkan hakim sebagai corong undang-undang.

“Hukum kita itu bukan judge made law. Hakim di tingkat pertama itu hanya berdasarkan judex factie,” tutur Teddy ketika dihubungi hukumonline, Senin (15/4).

Kendati demikian, Teddy memang sepakat jika besaran fee kurator yang ditetapkan majelis hakim sejumlah Rp293.616 miliar yang dibayar bersama pemohon pailit PT Prima Jaya Informatika dinilai terlalu banyak. Untuk diketahui, angka tersebut didapat berdasarkan perhitungan 0,5 persen dikalikan total aset Telkomsel sekitar Rp58,723. Meskipun nominalnya banyak, Teddy menilai penetapan majelis atas fee kurator telah tepat berdasarkan Keputusan Menteri.

Namun, jika dikaitkan dengan keadilan, keadilan tersebut bersifat semu. Kendati demikian, hal yang patut dikritisi terlebih dahulu adalah peraturannya. Seharusnya, peraturan adalah cermin nilai-nilai keadilan dan kebatinan masyarakat. Sehingga, ketika hakim telah menegakkan undang-undang, hakim telah menegakkan keadilan.

“Kalau disebut tidak adil, memang tidak adil. Akan tetapi, majelis melakukannya karena celah dari peraturan itu sendiri,” pungkas Teddy.

Tags:

Berita Terkait