Kurator Telkomsel Sayangkan Sanksi MA
Berita

Kurator Telkomsel Sayangkan Sanksi MA

Keadilan bersifat semu. Undang-Undang harus memuat nilai-nilai keadilan dan suasana kebatinan masyarakat.

HRS
Bacaan 2 Menit

Demi membatasi dua kubu ini, rasa keadilan tersebut tentu harus dikembalikan ke peraturannya. Dari peraturannya sendiri, yaitu Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.09-HT.05.10 Tahun 1998 mengatakan apabila status pailit dicabut di tingkat kasasi, Keputusan Menteri tersebut mengatur imbalan jasa maksimal 2% dari aset debitor meskipun tidak ada pemberesan yang dilakukan kurator. Sedangkan itu, majelis juga telah mengurangi permohonan kurator dari 1% menjadi 0,5% dari aset debitor.

Ketua DPC Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Jakarta Pusat, Jamaslin Purba,mengatakan meskipun peraturannya mengatakan maksimal 2% dari aset, hakim tidak seharusnya menerapkan peraturan tersebut tanpa memperhatikan aspek lainnya. Pria yang biasa disapa James ini mengatakan seharusnya majelis tidak perlu menerapkan angka 0,5% yang jika dinominalkan mencapai ratusan miliarkalau tidak ada upaya pemberesan yang dilakukan kurator sehingga tingkat kerumitannya tidak terlalu berat.

Menanggapi hal tersebut, Edino mengingatkan untuk tidak hanya melihat dari total nominal, tetapi juga lihat status debitor. Menurutnya,  kasus Telkomsel ini adalah kasus yang jarang terjadi di Indonesia dimana debitornya memiliki harta. Jadi, normal saja jika kurator mendapat banyak imbalan meskipun hanya menerapkan 0,5% dari aset debitor. Juga, Edino menegaskan agar publik tidak hanya melihat utang yang diderita Telkomsel sebanyak Rp5,3 miliar semata, tetapi Telkomsel mempunyai tagihan senilai Rp13 triliun dengan 78 kreditor.

 “Kami hanya minta 0,25 dari Telkomsel. Itu saja masih dibilang tidak pantas. Kalau lebih rendah lagi daripada itu, giliran kurator nanti yang berteriak. Jadi, subjektivitas keadilan itu tinggi,” tukas Edino.

Sementara itu, pengajar Hukum Kepailitan Universitas Indonesia Teddy Anggoro juga tidak melihat kesalahan yang dilakukan majelis hakim dan hakim pengawas dari perkara Telkomsel ini. Teddy berpendapat majelis hakim dan hakim pengawas tidak dapat disalahkan.

Atas hal ini, Teddy berpandangan Mahkamah Agung telah tutup mata dalam memutuskan persoalan ini. Teddy melihat Mahkamah Agung tidak memosisikan dirinya sebagai hakim di tingkat pertama. Soalnya, majelis hakim di pengadilan niaga memutus perkara berdasarkan judex factie, berdasarkan fakta-fakta yang ada di persidangan. Hal ini memiliki kompleksitas yang berbeda ketika judex factie dibenturkan dengan undang-undang.

Lebih lagi, majelis hakim di tingkat pertama tidak memiliki keleluasaan untuk menemukan hukum. Pasalnya, Indonesia adalah negara yang menganut sistem hukum Civil Law, dimana sistem hukumnya menempatkan hakim sebagai corong undang-undang.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait