Kurang Alat Bukti Penyebab Investigasi Predatory Pricing Tiket Pesawat Murah Terhambat
Berita

Kurang Alat Bukti Penyebab Investigasi Predatory Pricing Tiket Pesawat Murah Terhambat

Dalam satu kasus predatory harus dibuktikan betul ada atau tidaknya niat pelaku untuk membunuh maskapai lain. Selama KPPU tidak bisa membuktikan itu, maka kasus tidak akan bisa ditindaklanjuti.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Seminar bertajuk Polemik Harga Tiket Pesawat dalam Perspektif Hukum, Bisnis dan Investasi, yang diselenggarakan Perhimpunan Advokat Indonesia Dewan Pimpinan Cabang Jakarta Pusat, Jumat (9/8). Foto: RES
Seminar bertajuk Polemik Harga Tiket Pesawat dalam Perspektif Hukum, Bisnis dan Investasi, yang diselenggarakan Perhimpunan Advokat Indonesia Dewan Pimpinan Cabang Jakarta Pusat, Jumat (9/8). Foto: RES

Direktur Kebijakan Persaingan KPPU, Taufik Ahmad menyanggah jika KPPU disebut absen dalam menelisik dugaan predatory pricing masa lalu terkait harga tiket pesawat yang dilakukan oleh maskapai. Ia mengungkapkan bahwa KPPU telah membidik maskapai yang disinyalir melakukan praktik predatory pricing jauh semenjak era harga tiket pesawat murah. Sayangnya, kurangnya alat bukti mengakibatkan proses investigasi atas kasus itu tidak berlanjut.

 

“KPPU disebut kemana saja? Justru kita sudah amati ketika dugaan itu muncul, banyak maskapai telpon kita. Cuma pembuktian predatory pricing itu tidak mudah,” tukasnya.

 

Dalam satu kasus predatory, lanjutnya, harus dibuktikan betul ada atau tidaknya niat pelaku untuk membunuh maskapai lain. Selama KPPU tidak bisa membuktikan itu, maka kasus tidak akan bisa ditindaklanjuti.

 

Beda cerita dengan kasus melonjaknya harga tiket pesawat akhir-akhir ini. Ini bukan lagi soal predatory pricing. Pihaknya menduga keras adanya praktik kartel yang dilakukan maskapai untuk mengontrol pasar. Hal itu tampak terang semenjak Garuda Indonesia melakukan kerja sama KSO dengan Sriwijaya di tahun 2018. Semenjak itu, pasar menjadi sangat terkonsentrasi dengan dua penguasa besar. Struktur pasar yang demikian mengakibatkan kontrol harga menjadi sangat mudah.

 

Di pasar, duopoly atau bahkan monopoli pun sebetulnya tidak dilarang, tapi yang dilarang adalah penyalahgunaan posisi dominan itu. Misalnya dengan kartel, berunding dan mengontrol harga pasar. Ketika harga meroket, di situ KPPU masuk dan menelisik, adakah indikasi penyalahgunaan posisi dominan yang akibatkan naiknya harga tiket.

 

“Itulah pembatas tegasnya. UU 5/1999 tak melarang untuk menguasai sampai 100 persen sekalipun. Tapi kalau harga tiket naik KPPU lihat penyebabnya pelaku usaha itu atau bukan? Kalo bukan ya engga masalah. Kalau iya tentu kita persoalkan,” tukasnya.

 

Ia menjabarkan betapa kuatnya konsentrasi pasar di Industri penerbangan Indonesia. Rata-rata konsentrasinya sebesar 4253 Herfiendahl Hiersmann-Index (HHI) dengan nilai minimal 2008 HHI dan nilai maksimal 10.000 HHI. Untuk diketahui, batasan spektruk HHI konsentrasi rendah dan tinggi di Indonesia adalah sebesar 1800 HHI. Artinya, nilai konsentrasi pasar industri penerbangan di Indonesia saat ini berada pada spectrum II berkonsentrasi tinggi.

 

“Minimal saja HHI-nya 2008 bahkan sampai 10.000. Sementara di KPPU kalau nilai HHI-nya udah 1800 saja sudah patut dicurigai,” tukasnya.

 

Baca:

 

Sekalipun kini pemerintah telah mengatur Tarif Batas Atas agar harga tidak meroket tajam melalui Kepmenhub No. 106 Tahun 2019 tentang TBA Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Niaga Berjadwal Dalam Negeri, itu tak menutup kemungkinan KPPU menyelidiki dugaan kartel bila disinyalir ada perundingan soal harga tiket oleh maskapai dalam rentang tarif TBA dan TBB itu. Beda soal kalau maskapai menaikkan tarif sesuai biaya operasional dan berada pada koridor peraturan menteri itu, maka KPPU memang tak bisa menjangkau.

 

“Tapi kalau mereka lakukan kerjasama pengaturan tarif dalam rentang TBA dan TBB itu, tetap aja masalah dalam persaingan. Karena itu potensial kartelnya,” tukasnya.

 

Berdasarkan data jumlah penumpang angkutan niaga berjadwal domestik, katanya, pasar penerbangan domestic Indonesia dikuasai oleh 2 Group Besar, yakni Lion Group dan Garuda Group. Lion Group disebutnya memiliki pangsa pasar terbesar domestic dengan penguasaan market share mencapai 50%, sedangkan Garuda Indonesia Group memiliki market share 46%.

 

Sebelumnya, Penasehat Kebijakan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Lin Che Wei mengkategorikan era murahnya harga tiket pesawat LCC masa lalu sebagai harga yang predatory. Ia mempertanyakan absennya fungsi KPPU dalam menelisik dugaan predatory ketika itu. Terbukti, sebelum era predatory itu hanya 16 juta dari 200 jutaan rakyat Indonesia yang naik pesawat. Ketika semua maskapai berkompetisi menjatuhkan harga akhirnya angka penumpang pesawat Indonesia melonjak hingga 80 persen.

 

Padahal harga murah yang ketika itu berlaku, tak bisa dipertemukan antara variable cost dengan fixed cost-nya. Berkat harga yang begitu murah, akhirnya banyak perusahaan penerbangan merugi, Garuda Indonesia misalnya yang sudah tiga tahun merugi akibat persaingan harga yang begitu predatory.

 

“Cuma waktu itu KPPU enggak pernah ribut. Semua konsumen menikmati harga murah sekali, sementara maskapai banyak yang merugi,” tukasnya.

 

TBA dan TBB Dari Sisi Persaingan

Mengenai keterlibatan pemerintah dalam mengatur harga pasar melalui TBA dan TBB, Taufik mengatakan, pernah menjadi perdebatan. Negatifnya, pengaturan TBB dinilai akan menjadi entry barrier bagi pelaku usaha yang bisa menawarkan tariff di bawah TBB. Sementara, ada kalanya terdapat prosentase tertentu dari seat pesawat yang dapat dijual dengan tariff rendah.

 

“Sehingga menjadi disinsentif bagi inovasi di Industri penerbangan yang bermuara pada munculnya besaran tariff dibawah TBB,” jelasnya.

 

Positifnya, lanjut Taufik, TBB dan TBA dapat mencegah agar jumlah maskapai yang bersaing di Industri penerbangan tetap terjaga pada level tertentu sehingga persaingan tetap terjadi. Dengan begitu, maskapai sebagai korban persaingan dengan strategi tariff subsidi silang atau predatory pricing dapat dicegah sejak awal.

 

Ia juga menilai TBA dalam persaingan sangat tepat diatur untuk rute-rute dengan struktur pasar yang terkonsentrasi seperti Indonesia yang merupakan negara dengan duopoly penguasaan pangsa pasar penerbangan. “Hal ini untuk mencegah penyalahgunaan duopoly tadi,” Imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait